Share

Bab 10

Pukul sepuluh malam hari, Tasya sudah tiba di rumahnya dan melihat sosok Reza yang duduk di sofa. Dia memutar bola matanya dan memberi kode melalui pandangan mata pada pelayannya yang tiba-tiba buru-buru naik ke lantai atas.

“Sini!” Lelaki itu bersandar pada punggung sofa dengan sebelah tangannya yang memegang sebuah buku. Detik selanjutnya Tasya tahu dia sudah tidak bisa menutupinya lagi. Lebih baik dia bersikap pura-pura tenang dan berjalan ke arah lelaki itu sambil bertanya,

“Om, kok belum tidur?”

Reza meliriknya dan berkata, “Pantasan begitu buru-buru mau cari guru les. Ternyata kamu ingin pergi berkencan? Sudah ada pacar?”

“Nggak!” sahut Tasya sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Aku hanya jalan sama temanku.”

“Pacarmu itu teman kampus?” tanya Reza lagi dengan nada suara lebih berat.

Perempuan itu tahu kalau dia tidak bisa membohongi pamannya yang cerdik ini. Dia duduk di hadapan Reza dan berkata jujur,

“Iya, aku memang sudah ada pacar. Aku juga tahu kalau keluarga kita sedikit lebih berbeda. Tapi Om nggak boleh cari tahu tentang dia dan mengawasi kami. Aku hanya ingin menjalin hubungan normal saja. Om tenang saja, dia orangnya sangat baik, aku juga nggak pernah kasih tahu dia keadaan keluarga kita.”

Reza meletakkan bukunya dan mengambil cangkir teh. Dia menyesapnya dengan perlahan dan berkata, “Sudah semester enam, wajar sekali kalau kamu berpacaran. Om bisa saja nggak mencari tahu, tetapi kamu harus tahu batasan. Orang tua kamu nggak ada di rumah, Om harus bertanggung jawab atas dirimu.”

Tasya menyungging senyum lebar dan berkata, “Terima kasih banyak, Om! Aku tahu Om Reza yang paling baik!”

“Nggak perlu memuji! Cepat naik dan tidur,” ujar Reza sambil tertawa.

“Oh iya, Tandy sudah menerima temanmu itu untuk jadi guru les. Minggu depan minta dia tetap datang,” lanjut Reza lagi.

“Benarkah?” tanya Tasya dengan senyuman yang kian lebar. Dia mengeluarkan ponselnya dan berbalik sambil berkata, “Aku kasih tahu dia sekarang juga!”

Reza dapat mendengar suara Tasya dari bagian tengah tangga yang berkata, “Sonia, kamu sudah tidur?”

Sepertinya dari seberang telepon tengah mengatakan sesuatu dan membuat Tasya tertawa sambil berkata lagi, “Kata Om aku kamu ngajarnya bagus, jadi kamu tetap menjadi guru les Tandy. Setiap hari sabtu minggu pagi hari, gimana?”

Lelaki itu menunduk dengan kening berkerut. Sejak kapan dirinya pernah mengatakan perempuan itu bagus?

Tasya sudah naik ke lantai atas bersamaan dengan suara perempuan itu yang perlahan-lahan menghilang. Reza sendiri memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lagi dan melanjutkan kegiatannya membaca buku.

Hari senin siang Sonia berangkat kuliah bersama dengan Chenny. Mendadak mereka bertemu dengan sekelompok orang yang tengah berlari ke arah mereka. Lelaki yang berada di posisi paling depan terlihat tinggi dan tampan. Tatapan lelaki tersebut tertuju lurus pada sosok Sonia.

“Itu Andre!” seru Chenny sambil menarik lengan baju Sonia dengan antusias.

Sonia melirik bunga mawar yang ada di tangan lelaki itu dengan kening yang berkerut tanpa sadar. Dia berbalik dan hendak pergi dari sana, tetapi di depannya ada Melia dan kawan-kawannya yang lain. Raut wajah mereka terlihat sangat keruh dan tidak senang.

Melia menyukai Andre, tetapi Andre menyukai Sonia. Semua orang di Universitas Jeramba mengetahui rahasia umum ini. Dalam waktu singkat, lelaki itu sudah ada di depannya dan menatapnya dengan dalam.

“Sonia, aku menyukaimu. Jadilah kekasihku!” pinta lelaki itu dengan suara lembut.

Chenny terlihat jauh lebih girang dibandingkan Sonia yang menjadi pemeran utamanya. Dia tidak henti mencubit lengan Sonia dan melayangkan lirikan menggoda pada perempuan itu agar menyetujui permintaan Andre.

Keluarga Andre kaya raya, dia juga memiliki wajah yang tampan dan merupakan ketua senat di kampus. Lelaki sempurna seperti Andre menyukai Sonia selama tiga tahun lamanya, lalu apa lagi yang kurang?

Orang-orang di sekeliling mereka mulai berseru dan membantu Andre dengan sorakan, “Terima! Terima!”

Suara-suara tersebut menggema, seorang lelaki yang lewat di gedung seberang juga ikut melirikkan matanya ketika mendengar suara teriakan tersebut. Langkah kakinya melambat ketika mendapati bayangan yang tidak asing.

Sonia menarik napasnya dalam-dalam. Dulu dia terbiasa dengan mengabaikan seluruh orang dan memisahkan dunianya dengan yang lain. Selama beberapa tahun ini, dirinya berusaha keras untuk dapat beradaptasi.

Namun orang-orang tersebut justru mulai membuatnya terganggu. Sonia menatap Andre dan berkata dengan raut serius, “Aku nggak suka denganmu!”

Senyuman di bibir Andre berubah kaku, tetapi lelaki itu tetap tidak ingin menyerah. Masa kuliahnya sudah akan berakhir dan dia sudah tidak memiliki waktu lagi. Andre menekukkan lututnya tanpa ragu. Wajah tampannya terlihat penuh keyakinan sambil berkata,

“Sonia, jangan mengujiku lagi. Aku tahu kamu menyukaiku!”

Andre merasa tidak ada alasan bagi Sonia untuk tidak menyukai dirinya. Lelaki itu merasa Sonia hanya sedang jual mahal saja sehingga tidak menerima dirinya.

“Aku nggak mengujimu, aku benar-benar nggak menyukaimu,” sahut Sonia dengan wajah datar.

Andre mendongak dan menatap perempuan itu lurus-lurus. Semua orang di sekitarnya juga mulai sunyi dan terasa begitu mencekam. Lelaki itu bangkit berdiri dengan perasaan luar biasa malu.

Untuk pertama kalinya selama dirinya hidup, dia menyatakan perasaannya sendiri di depan umum. Harga diri yang sudah dia pertaruhkan sebelumnya tidak dihargai sama sekali oleh Sonia.

Andre merasa marah dan kesal. Lelaki itu berusaha sekuat tenaga menahan emosinya dan berpura-pura menganggap tidak ada apa pun yang terjadi. “Sonia, kalau kamu nggak suka dilihat begitu banyak orang, kita bisa cari tempat yang lebih sepi untuk berbicara.”

“Aku sudah bilang dengan sangat jelas!” sahut Sonia dengan penuh penekanan. Perempuan itu merasa kalau dia tidak suka, maka dia harus menolaknya dengan terang-terangan dan tanpa basa-basi.

Wajah Andre menggelap seketika. “Kamu benar-benar nggak suka denganku?”

“Nggak suka!” kata Sonia tanpa ada keraguan dari nada suaranya.

Mawar yang ada di tangan Andre jatuh ke lantai, wajah lelaki itu tampak menggelap dan memandangi Sonia dengan tajam. Mendadak dia melihat ke arah Melia dan berkata, “Kamu mau jadian denganku?”

Melia tercenung sesaat dan menggigit bibir bagian dalamnya. Dia berjalan ke arah lelaki itu dengan cepat dan bertanya, “Apa maksud ucapanmu?”

Andre menatap Sonia dan merangkul bahu Melia. Dia mengangkat dagu perempuan itu dan mengecupnya dengan dalam-dalam. Seluruh orang di sekitar menahan napas mereka. Hanya Sonia sendiri yang merasa bosan dengan kejadian di depannya. Dia berbalik dan berjalan pergi dari sana. Chenny yang ada di belakangnya juga ikut tersadar dan melangkah cepat mengikuti Sonia.

“Sonia!” seru Andre dengan suara lantang.

Langkah kakinya terhenti tanpa memutar kepalanya ke arah lelaki itu.

“Kalau kamu melangkah sekali lagi, aku jamin kamu bakalan menyesal!” ujar lelaki itu dengan mata memerah. Dia menatap Sonia dengan tajam seakan ingin menembus punggung perempuan itu. Sonia melanjutkan langkahnya tanpa ragu dan tidak menoleh lagi ke belakang.

Wajah Melia pucat pasi ketika mendengar seruan lelaki itu. Dia mendorong lengan Andre dan berseru, “Kamu anggap aku apa?!”

Setelah mengatakan kalimat tersebut, tatapannya beralih ke arah Sonia dan berlari menghampiri perempuan itu.

Di lantai tiga, Reza berdiri dengan kedua tangannya yang berada di balik saku celana. Wajah lelaki itu terlihat datar ketika melihat pertunjukan yang ada di depannya ini.

“Reza!” seru Pak Santo dan berjalan menghampirinya.

“Kenapa kamu berdiri di sini? Masuk ke dalam, biar aku buatkan teh yang enak!” lanjut lelaki itu lagi.

Tatapan Reza menyapu perempuan yang sudah melangkah cukup jauh. Setelah itu dia tersenyum tipis dan berkata, “Di dalam sedikit pengap, jadi aku keluar buat cari angin.”

“Tadi ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan. Kita bicara di dalam saja,” kata Pak Santo sambil mempersilakan Reza masuk ke ruang kerjanya.

Andre yang berada di lantai bawah terlihat berbalik pergi dengan emosi menggebu. Kepergian lelaki itu membuat orang-orang lainnya juga membubarkan diri. Chenny menoleh ke belakang dan melihat punggung Andre dengan sorot kecewa.

“Apa yang kamu pikirkan? Andre itu tertarik padamu, tapi kamu justru menolaknya. Kamu suka sama siapa? Kalau Andre benar-benar pacaran dengan Melia, kamu akan menyesal!” kata Chenny dengan nada kesal.

Sonia terlihat pasrah dan berkata, “Aku benar-benar nggak suka dengan dia. Apa aku harus menerimanya meski aku nggak suka dengannya?”

“Terus kamu sukanya sama siapa?”

“Nggak suka siapa pun,” jawab Sonia setelah diam sejenak.

Chenny hanya mendelik dan bersungut-sungut mendengar jawaban perempuan itu. “Aku pikir kamu bakalan bilang suka denganku!”

Ucapan Chenny membuatnya terkejut dan berkata, “Hari ini kamu lupa bawa sesuatu karena terlalu buru-buru keluar?”

“Lupa bawa apa?”

“Lupa bawa urat malu!”

Chenny mencubit lengan Sonia dan berseru, “Dasar! Aku bilang begini demi kebaikanmu, tapi kamu berani ngatain aku!”

Keduanya cekikikan dan berlarian di koridor. “Sudah! Kita sudah mau telat masuk kelas berikutnya!”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status