Share

Bab 11

Penulis: Musim Gugur
Dosen pelajaran bahasa asing kali ini berasal dari luar negeri dengan wajah yang tampan. Chenny kerap bilang padanya kalau dosennya yang ini merupakan sosok idamannya yang sempurna.

Saat masuk ke dalam kelas, banyak mata yang memandang Sonia. Sepertinya mereka semua sudah melihat atau mendengar apa yang baru saja terjadi di lantai bawah. Tatapan semua orang terlihat ada yang kagum, menertawakan bahkan ada yang meremehkan sikap Sonia.

Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah perempuan itu. Dia dan Chenny memilih tempat duduk dan mengeluarkan peralatan kuliahnya sambil fokus mendengarkan pelajaran.

Setelah jam kuliah tersebut telah selesai, Chenny memanfaatkan kesempatan untuk bertanya pada sang dosen agar bisa mendekatkan dirinya dengan lelaki itu. Sedangkan Sonia hanya duduk di tempatnya sambil menunggu perempuan itu.

Sekitar sepuluh menit kemudian, tidak ada tanda-tanda Chenny yang akan menyudahi kegiatannya. Sonia memutuskan untuk berdiri dan pergi ke toilet dulu. Ketika dia baru keluar dari toilet dan hendak kembali ke kelas, Melia dan teman-temannya sedang berjalan ke arahnya dari depan.

Melia memandangi Sonia dengan tajam dan wajah berapi-api. Ketika jarak keduanya sudah dekat, perempuan itu menggunakan tubuhnya untuk menghalangi jalan yang akan dilewati oleh Sonia. Setelah itu dia memberikan peringatan, “Lain kali jauhi Andre!”

“Kamu bilang saja pada Andre,” balas Sonia dengan tenang.

Raut wajah Melia seketika berubah kaku. “Songong, ya, kamu?!”

Perempuan itu sudah terbiasa bersikap angkuh dan ingin membalaskan dendam beberapa hari yang lalu pada Sonia. Dia memanfaatkan kesempatan kali ini untuk melayangkan tamparan pada wajah Sonia dengan alasan untuk membela Andre.

Namun sebelum telapak tangan perempuan itu mendarat di wajahnya, Sonia sudah mengangkat kakinya dan melayangkan tendangannya di kaki kiri Melia hingga patah. Wajah polos Sonia membuat orang salah sangka dan mengira dia memiliki sifat yang lembut dan mudah ditindas.

Pada kenyataannya, caranya untuk menyelesaikan masalah sangat tidak basa-basi dan tidak banyak bicara.

Satu jam kemudian, Sonia terlihat sedang berdiri di depan ruang Pak Santo, Melia sudah dibawa ke rumah sakit. Saat ini, ayahnya Melia yang bernama Doni tengah marah besar di ruang kerjanya Pak Santo.

Bagian konseling mengatakan bahwa Sonia tidak bersalah karena dia hanya mencoba melindungi dirinya. Melia yang lebih dulu ingin menyerangnya dengan tamparan di wajah perempuan itu. Dengan emosi memuncak, Doni menunjuk lelaki itu dan berkata,

“Kenapa kamu begitu membela orang licik ini?! Dia yang merayu kekasihnya Melia! Jelas sekali dia bukan orang yang baik! Jangan-jangan kalian ada hubungan apa-apa lagi?!”

Kalimat tersebut membuat emosi sang petugas konseling memuncak dan berkata dengan nada tinggi, “Bapak jangan menyebar fitnah!"

“Pak, ucapan Bapak sepertinya sedikit keterlaluan. Bapak sudah menyebar berita fitnah, dan kami berhak untuk menggugat Bapak!” kata Santo dengan wajah menegang kaku.

Mendengar kalimat tersebut membuat Doni merasa malu dan juga marah. “Saya nggak peduli dengan urusan kalian, tapi kalian wajib kasih pertanggungjawaban buat Melia! Kalau nggak keluarkan gadis ini, saya akan tarik sumbangan 20 miliar yang sudah saya berikan!”

Keluarga Melia memang merupakan keluarga kaya raya. Tahun lalu Doni menyumbangkan uang ketika kampus mereka tengah membangun sebuah perpustakaan yang baru.

“Saya merupakan orang yang sudah berjasa bagi universitas ini! Sekarang kalian memperlakukan saya seperti ini demi seorang mahasiswi miskin?! Kembalikan uangnya sekarang!” kata Doni sambil berkacak pinggang dan mendongak angkuh.

“Kalau begitu mohon kelonggarannya untuk beberapa hari ke depan,” ujar Santo. Dia tidak bisa mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Akan tetapi, dia memiliki harga diri sehingga Santo memilih untuk mengabulkan permintaan Doni.

“Nggak ada tawar menawar! Kembalikan sekarang!” seru Doni tidak mau mengalah.

“Biar saya yang kembalikan!” sahut sebuah suara dingin dari arah sofa. Detik selanjutnya lelaki itu bangkit berdiri dan melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Doni.

Ekspresi lelaki itu seketika berubah kaku. Doni menatap lelaki tersebut dengan raut tercengang dan tidak percaya.

“Pa-Pak Reza?”

Sonia yang berdiri di belakang langsung mengangkat wajahnya dengan cepat.

Saat mereka sedang ribut, masih ada seseorang yang duduk di sofa. Hanya saja orang tersebut duduk membelakangi mereka, sehingga tidak ada yang melihat wajahnya dengan jelas.

Sebelumnya Sonia masih terlihat tenang, tetapi sekarang perasaannya berubah ragu dan gusar. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Reza di tempat ini dan di situasi seperti ini. Ucapan Doni tadi sudah pasti telah didengar semuanya oleh lelaki itu.

Doni sudah kehilangan keangkuhannya beberapa saat lalu. Bisnisnya selama ini selalu lancar dengan kekayaan yang mencapai puluhan triliun. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan keluarga Herdian, dia tidak ada apa-apanya.

Santo maju dan dengan tenang berkata, “Ini urusan kampus dengan orang tua murid. Reza, kamu jangan ikut campur.”

Dia dan ayahnya Reza memiliki hubungan yang cukup dekat. Lelaki itu mengundang Reza karena ada acara tahunan universitas. Oleh karena itu, Santo merasa tidak enak jika harus menerima bantuan dari lelaki itu.

Doni tidak menyangka kalau Santo ada hubungan dekat dengan Reza. Dengan cepat raut wajahnya berubah dan memasang senyum lebar sambil berkata, “Saya benar-benar nggak tahu kalau Pak Reza ada di sini. Uangnya nggak perlu kembali, saya hanya bercanda.”

Reza merupakan orang yang selalu memegang omongannya. Dia mengabaikan ucapan Doni dan mengeluarkan ponselnya untuk memerintah sekretaris di kantornya agar mengirimkan uang sebanyak empat miliar ke universitas. Setelah sambungan terputus, dia menoleh ke arah Santo dan berkata,

“Kembalikan uangnya pada dia beserta dengan bunganya!”

Wajah Doni tampak pucat pasi. Reza baru saja kembali tanpa sempat dia temui untuk mengambil hatinya, dirinya justru telah membuat lelaki itu tersinggung. Sampai pada tahap seperti ini, Santo juga tidak banyak berbicara lagi.

Tidak butuh waktu yang lama bagi pihak universitas menerima uang tersebut. Setelah itu, uang yang dikirim oleh sekretaris Reza langsung dikirim lagi ke rekening Doni. Lelaki itu pergi meninggalkan tempat tersebut dengan pikiran bagaimana cara mendapatkan kesan baik lagi dari Reza.

Santo dan petugas konseling mengantarkan Doni keluar hingga ruang kerja tersebut hanya tersisa Reza dan Sonia saja. Perempuan itu terlihat bingung dan serba salah. Dirinya saat ini memiliki status sebagai guru les keluarga Herdian, tepatnya sebagai guru les Tandy.

Namun sekarang dirinya justru berada di sini karena kasus berantem dan dibantu oleh Reza dengan mengeluarkan uang yang jumlahnya luar biasa banyak!

Sonia merasa dirinya harus berkata dan menjelaskan sesuatu. Dia menatap lelaki itu dan hendak membuka mulutnya. Tetapi ucapannya terhenti karena lelaki itu yang berkata, “Nggak perlu berterima kasih, aku melakukannya bukan demi kamu.”

Ucapan perempuan itu tertahan di ujung lidahnya dan tidak jadi dikeluarkan. Dia sedari awal sudah menyadari betapa tajamnya ucapan lelaki itu. Dengan suara datar dia berkata, “Aku juga nggak berniat berterima kasih denganmu.”

Lelaki yang jauh lebih tinggi dari Sonia itu tampak menunduk dan menatapnya dalam, “Melihat caramu menendang Melia tadi, sepertinya kamu pernah berlatih?”

CCTV yang ada di koridor sudah diambil dan sudah dilihat oleh Reza. Kala itu Melia terlihat begitu berapi-api dan gerakannya ketika hendak memukul Sonia juga sangat cepat dan kuat. Akan tetapi, Sonia justru bisa menendang perempuan itu tanpa perlu mengedipkan matanya sedikit pun.

Selain itu, seorang perempuan normal seperti itu tidak mungkin bisa mematahkan kaki orang lain hanya dalam satu tendangan, bukan? Sebersit sorot cahaya gelap melintas di mata Sonia. Dengan tenang perempuan itu berkata, “Waktu kecil pernah belajar ilmu bela diri.”

Reza mengangguk dan berkata, “Tenang saja, aku orangnya berpikiran terbuka. Nggak akan memecatmu karena hal sepele seperti ini.”

Sonia yang baru saja hendak berbicara kembali mengurungkan niatnya ketika mendengar langkah kaki. Reza nyaris menyemburkan tawanya saat melihat sikap perempuan itu yang tiba-tiba berubah menjadi sok alim.

Santo masuk dan melihat Sonia dengan sorot seperti akan mengatakan sesuatu. Lelaki itu menarik napas dan berkata, “Sonia, saya percaya kamu adalah mahasiswi yang baik. Tetapi apa pun itu alasannya, seharusnya kamu nggak boleh main tangan dan mempengaruhi masa depanmu.”

Perempuan itu menunduk dan mengangguk dengan patuh sambil menjawab, “Baik. Terima kasih, Pak.”

“Nggak perlu terima kasih dengan saya. Seharusnya kamu berterima kasih dengan Pak Reza, beliau yang membantumu,” ujar Santo sambil tersenyum hangat.

Sonia menarik napas dalam-dalam dengan sangat jelas kemudian maju sebanyak dua langkah. Kepalanya terangkat dan bibir merah mudanya bergerak berkata, “Terima kasih, Pak Reza!”

Ekspresi Reza tidak berubah, mata hitam gelapnya seperti menyimpan sesuatu. Lelaki itu seakan tengah menertawakan Sonia yang baru beberapa waktu lalu berkata bahwa dirinya tidak akan mengucapkan terima kasih pada Reza.

“Nggak perlu terima kasih. Tetapi ….” Reza menggantung ucapannya beberapa detik dan lanjut berkata, “Sebagai seorang mahasiswi, sebaiknya kamu lebih jaga sikap. Jangan karena hal-hal nggak jelas seperti ini justru merusak nama baik universitas.”

Wajah Sonia tampak memucat. Dia menggigit bibirnya tanpa berbicara. Santo buru-buru menengahi dan mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Maaf sekali membuatmu menghabiskan uang empat miliar begitu saja. Uang-uang itu akan dibayar oleh pihak universitas.”

Reza melirik Sonia sekilas dan berkata, “Biarkan dia yang membayarnya!”

Sonia hanya bisa menahan napasnya dan menatap lelaki itu dengan sorot terkejut. Santo pikir Reza sedang bercanda saja, dia berkata pada Sonia sambil tertawa kecil, “Sudah sore, kamu juga harus pulang. Kamu nggak perlu mengurusi urusan Melia, pihak kampus akan bertanggung jawab.”

Dia mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Santo dan langsung keluar dari ruang tersebut tanpa menatap Reza lagi. Setelah Sonia keluar, barulah Santo mempersilakan Reza untuk duduk.

“Jangan takuti dia, dia masih anak kecil!” ujar lelaki itu sambil tertawa kecil.

Reza juga ikut tertawa dan berkata, “Aku lihat dia nggak ada takutnya sama sekali.” 
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2598

    Setelah bermain beberapa putaran, kali ini Theresia memegang kartu yang sangat bagus. Sepertinya kartu orang lain juga tergolong bagus. Setelah beberapa kali, Tiffany, Frida, dan yang lain juga belum keluar.Morgan tidak berbicara. Kali ini, Theresia merasa sangat yakin. Dia pun memasang taruhan dengan tenang. Pada saat ini, ponsel Theresia tiba-tiba berdering. Dia melirik sekilas dan dia tiba-tiba merasa gugup.Theresia meletakkan kartunya. “Aku pergi angkat telepon.”Saat Morgan melihat nama yang terlintas di atas layar ponsel tersebut, raut wajahnya langsung berubah muram. Dia tidak lanjut melakukan taruhan, langsung membuang kartu bagusnya.Theresia mendapat panggilan masuk dari Roger. Dia bertanya dengan suara lembut, “Apa kamu masih bersama dengan klien? Kapan selesainya? Biar aku jemput kamu.”“Nggak usah, aku bisa pulang sendiri.” Theresia berdiri di balkon. Saat kedengaran suara ricuh di dalam ruangan, hatinya benar-benar terasa berantakan.“Hari ini Nenek jatuh pingsan.” Suar

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2597

    Theresia pernah bermain sekali, setidaknya dia telah memiliki sedikit pengalaman. Saat ada kartu poker nomor tujuh, delapan, sepuluh, apalagi dengan motif yang berbeda, dia langsung membuangnya. Namun, dia berturut-turut beberapa kali mendapat kartu seperti itu, dan yang paling besar pun tidak pernah lewat dari sepuluh.Pada putaran berikutnya, kartunya memang sedikit lebih bagus. Nilai kartu terbesarnya adalah King motif sekop, tapi juga tidak tergolong terlalu bagus.“Boleh disimpan,” ucap Morgan yang berada di samping Theresia dengan suara datar.Tiba-tiba Theresia memiliki pemikiran pembangkang. Dia berlagak tidak kedengaran apa-apa, lalu membuang kartu itu.Pada putaran kali ini, yang berhasil bertahan ada Ranty dan Johan. Pada akhirnya, Ranty berhasil mengalahkan Johan dengan kartu J motif sekopnya.Ranty mengangkat alisnya dengan bangga. Di hadapan semua orang, dia menoleh untuk memberi kecupan manis kepada Matias. Semua orang yang berada di samping pun bersorak.Tentu saja, sua

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2596

    Setelah sebuah intro yang lembut, musik klasik mulai terdengar, semua orang menjadi hening.Lampu meredup, pandangan Bondan juga mendalam. Dia membuka mulutnya dengan perlahan. Suaranya terdengar rendah dan penuh perasaan, seolah-olah benar-benar sedang mencurahkan isi hati kepada seorang gadis.“Kan kucerita pada semua ….”“Kisah cinta antara kau dan aku ….”“Agar semua tahu ….”“Dan tak akan dekati dirimu ….”“Andainya mampu kan kuukir ….”“Namamu dan namaku di bulan ….”“Agar satu dunia melihat ….”“Restui cinta kita ….”…Tatapan Theresia menjadi linglung. Dia tidak sadar memalingkan kepalanya menatap ke sisi lain. Kebetulan Morgan juga menoleh. Kedua pasang mata saling bertatapan. Seketika mereka pun segera mengalihkannya.Seiring berjalannya waktu, rasa kompak di diri mereka membuat keduanya merasa pilu dan sedih. Di dalam kamar, cahaya lampu berkelap-kelip, membuat hati orang yang melihatnya terasa kalut. “Aku selalu tersenyum ….”“Bayangkan kita hidup berdua ….”“Berjalan ber

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2595

    Ranty menggandeng tangan Theresia, lalu berkata pada Bondan, “Tuan Bondan, ada Tiffany di sini. Bukannya seharusnya kamu menyembunyikan kebiasaanmu yang suka menggoda cewek cantik?”Bondan yang berwajah tampan berkata dengan serius, “Apa yang kamu katakan? Kami hanya lagi bahas masalah pekerjaan dengan serius saja. Kenapa malah jadi lain di mulutmu?”Tiffany juga menunjukkan ekspresi serius. “Siapa suruh semua orang begitu memahamimu!”Bondan tersenyum tipis. “Itu berarti kamu belum benar-benar memahamiku. Jangan buru-buru, aku pasti akan beri kamu kesempatan itu.”Daun telinga Tiffany memanas. Dia malas meladeni Bindan.Semua orang pun tertawa. Reza melihat sosok Morgan yang sedang duduk di sofa. “Kamu tidak pergi menyapanya?”Morgan berkata dengan suara datar, “Nggak usah!”Ujung bibir Reza melengkung ke atas. “Semuanya lagi menyapanya. Kalau cuma kamu saja yang tidak sapa dia, malah akan terasa tidak wajar.”Morgan kelihatan acuh tak acuh. “Hubunganku dengan dia memang tidak pernah

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2594

    “Kalau tidak bisa nonton bersamamu, pergi atau tidak juga sia-sia saja.” Roger mengangkat-angkat pundaknya. “Tidak apa-apa. Kebetulan semalam adik sepupuku ngomel di grup, katanya dia tidak berhasil beli tiket konser itu. Waktu itu, aku punya rencanaku sendiri, jadi tidak kasih ke dia. Aku akan telepon dia sekarang, untuk suruh dia pergi nonton.”“Bagus juga. Kalau begitu, aku pergi dulu,” ucap Theresia.“Di mana kamu ketemuan dengan klienmu? Biar aku antar kamu ke sana!” ucap Roger dengan buru-buru.“Nggak usah. Waktunya agak mendesak. Lebih baik kamu segera antar tiket konser ke adik sepupumu. Aku bisa naik taksi saja.”“Kalau begitu, beri tahu aku setelah sampai nanti. Kalau ada apa-apa, kamu bisa telepon aku.”“Oke!” balas Theresia, lalu menghentikan taksi.Setelah Theresia pergi, Roger baru menelepon adik sepupunya, Agnes Manthana. Dia bertanya kepada Agnes apakah dia mau pergi menonton konser, Roger memiliki tiket.Saat mendengar kabar itu, Agnes sungguh merasa sangat gembira. Di

  • Jatuh Cinta Setelah Malam Pertama   Bab 2593

    Sebagai seorang kekasih, Roger sungguh perhatian.“Suara petir semalam bikin kaget saja. Tadinya aku ingin telepon kamu. Tapi, aku takut kamu bukan dibangunkan oleh suara petir, melainkan dibangunkan oleh suara dering teleponku!” Roger mengambilkan sayuran untuknya. “Saat mendengar kamu bilang tidurmu sangat nyenyak di pagi hari, aku pun merasa tenang.”Theresia tersenyum lembut. “Kamu nggak usah selalu memikirkanku. Aku bisa jaga diriku sendiri. Malam itu hanya sebuah kecelakaan saja.”Sebuah kecelakaan yang hanya akan terjadi sekali dalam beberapa tahun.Roger tersenyum tipis. “Merindukan seseorang itu refleks, bukan sesuatu yang bisa dikendalikan oleh kesadaran.”Theresia mengangkat alisnya, lalu menurunkan kelopak matanya untuk melanjutkan makannya.Roger mengambilkan sayuran dan juga mencedok sup kepada Theresia. Tatapannya kelihatan lembut. “Lusa hari nanti hari Sabtu. Aku mau pergi mengunjungi Nenek. Apa kamu mau ikut?”“Boleh, aku nggak ngapa-ngapain di hari Sabtu. Kalau ada ur

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status