Share

Bab 2

Ada dua lembar uang seratus ribu di tangannya.

Wanita itu membayarnya setelah tidur dengannya. Wanita itu pikir dia ini apa?

Raut mukanya dingin. Dia berjalan menuju balkon dan melihat jendela di kamar itu memang terbuka.

Bangunan di sini tinggi. Lantai tiga setara dengan lantai empat di tempat lain. Bagaimana wanita itu bisa melompat turun?

Apa dia begitu menakutkan? Sampai-sampai wanita itu mempertaruhkan nyawanya supaya bisa melarikan diri darinya?

Angin bertiup masuk dari jendela, sejuk dan dingin, tetapi tidak bisa memadamkan api amarah di hati Reza. Wanita itu tidak hanya menghinanya dengan dua lembar seratus ribu, tapi juga melompat keluar jendela setelah bersetubuh dengannya. Jangan sampai dia menangkap wanita itu!

….

Sonia yang sedang naik taksi tiba-tiba bersin. Supir taksi itu melihat ke kaca spion, “Dik, apa kamu baik-baik saja?”

Supir itu berpikir. Wanita ini cantik, tapi seluruh tubuhnya basah kuyup. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya.

Sonia tersenyum lembut, “Nggak apa-apa.”

Sopir itu tersenyum, “Kamu masih pelajar, ‘kan? Kamu harus lebih berhati-hati saat sendirian di luar.”

“Iya, makasih, Pak,” jawab Sonia.

Lalu, dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik dengan cepat, “Cepat hancurkan rekaman CCTV sekitar jam 7 dan 9 malam ketika aku muncul di Celestial Hotel! Sampai hancur total!”

“Oke!” Orang di ujung telepon tidak bertanya apa-apa, hanya menuruti instruksinya.

Kata-kata kasar pria itu kembali terngiang di telinga Sonia. Sekarang ini, Sonia sudah tidak ingin memikirkan apakah dia harus menemui Reza hari ini. Dia hanya tidak ingin pria itu tahu kalau dia pernah datang ke hotel itu.

Sonia turun di Jalan Yunani. Dia membayar ongkos taksinya dua kali lipat karena membasahi kursi belakang taksi itu.

Ketika dia kembali ke vila, Bi Rati terkejut saat melihat pakaiannya yang basah, “Non, ada apa?”

“Ada sedikit masalah tadi. Aku naik ke atas dulu untuk mandi,” ujar Sonia, lalu naik ke lantai atas.

“Aku akan menyiapkan air mandi untuk Non Sonia.” Bi Rati tidak berani banyak bertanya dan buru-buru naik ke atas.

Beberapa menit kemudian, Sonia berendam di air hangat. Tubuhnya pun perlahan-lahan menjadi rileks.

Pikirannya agak kacau. Dia memaksa dirinya untuk tidak memikirkan apa yang terjadi malam ini dan membenamkan kepalanya ke dalam air.

Usai mandi dan berganti piyama bersih, Bi Rati mengeringkan rambutnya. Pada saat itu, ayahnya, Hendri Dikara, meneleponnya.

Ekspresi di wajah Sonia menjadi dingin. Dia meminta Bi Rati untuk keluar dulu, lalu pergi ke balkon untuk menjawab telepon itu.

Ketika dia mengangkat telepon, ayahnya buru-buru bertanya, “Sonia, kamu dimana? Apa kamu sempat bertemu Pak Reza?”

Tidak ada emosi pada nada suara Sonia ketika dia berkata, “Papa takut aku dan Pak Reza nggak bisa rukun, jadi Papa sengaja memberi obat untuknya?”

Hendri kaget, “Apa maksudmu? Obat? Memberi obat untuk siapa? Papa nggak melakukannya!”

"Nggak melakukannya?" Sonia tersenyum tipis, “Kalau begitu, Papa jelas-jelas membuat janji dengan Reza jam Sembilan. Kenapa Papa bilang padaku janjinya jam tujuh?”

Pria di ujung telepon hening. Hati Sonia hancur dan dia hendak menutup teleponnya.

“Sonia!” Suara Hendri tiba-tiba terdengar lagi. Dia terdengar bersalah, “Ini memang salah Papa. Papa ingin kamu pergi menemui Pak Reza duluan, supaya kalian bisa berduaan untuk beberapa waktu. Dengan begitu, pria itu nggak akan menentang pernikahan kalian.”

Dia langsung bertanya lagi, “Ada apa? Apa yang terjadi?”

Sonia mendengar kepedulian yang tulus dari nada bicara ayahnya, jadi dia bertanya, “Benaran bukan Papa yang melakukannya?”

Hendri langsung berkata, “Tentu saja bukan. Walaupun Papa kesulitan, Papa juga nggak akan menggunakan cara serendah itu untuk mengorbankan putri Papa sendiri!”

Sonia tidak menjawab.

Hendri bertanya dengan hati-hati, “Sonia, kamu baik-baik saja, ‘kan?”

Sonia berkata dengan datar, “Nggak apa-apa. Aku nggak bertemu Reza tadi.”

Hendri tidak berani menanyakan secara detail, tetapi dia sepertinya menghela napas lega, “Bagaimanapun juga, Papa minta maaf padamu atas hal ini. Mulai sekarang, Papa nggak akan memintamu untuk bertemu dengannya lagi. Kalau kamu nggak ingin tinggal di vila di atas gunung, Papa akan menjemputmu pulang sekarang.”

Suara Sonia sedikit melembut, “Aku sudah tinggal di sini selama lebih dari dua tahun. Aku nggak keberatan tinggal di sini beberapa bulan lagi. Pa, jangan khawatir. Aku suka kok tinggal di sini.”

Vila ini adalah vila pribadi Reza. Sonia pindah ke sini setelah menikah dan tinggal di sana selama hampir tiga tahun.

Hendri lega dan tersenyum, “Oke, kalau begitu tinggal di sana beberapa bulan lagi. Begitu pernikahan kalian mencapai tiga tahun, Papa sendiri yang akan menjemput putri Papa pulang. Ngomong-ngomong ….”

Hendri berhenti sebentar dan berkata, “Sabtu ini adalah hari ulang tahun mamamu. Pulanglah. Apa yang dikatakan mamamu waktu kamu pulang terakhir kali itu nggak disengaja. Jangan dimasukkan ke dalam hati. Dia sudah menyesalinya, tapi dia masih nggak bisa mengalah dan meminta maaf padamu."

Sonia menjawab, “Aku ada kelas di Sabtu pagi. Aku akan pulang setelah kelas.”

“Baiklah. Telepon Papa kalau butuh sesuatu.”

Setelah menutup telepon, Sonia berpikir sejenak, lalu menghubungi nomor lain, “Nana, tolong siapkan satu set kalung dan anting terbaru season ini. Aku akan mengambilnya dua hari lagi.”

Orang di ujung telepon mengiyakan. Lalu, Sonia mematikan panggilan itu dan meletakkan ponselnya. Setiap kali mengingat apa yang terjadi hari ini, adegan dalam kegelapan itu tanpa sadar muncul di benaknya.

Napas berat pria itu seolah berhembus di telinganya ….

Dia menyandarkan tangannya di pagar batu dan membenamkan kepalanya ke antara kedua lengannya. Dia tidak tahu hati ini merasa gelisah atau benci.

Pukul sebelas malam, Reza meninggalkan Celestial Hotel. Asisten mengikuti dari belakang dan melapor dengan suara rendah, “Pak Reza, aku sudah menyelidikinya. Pak Panji dari Milena Group yang melakukannya. Dia awalnya ingin memberi obat itu untuk wanita yang dia bawa datang hari ini, tapi entah kenapa gelasnya bisa diberikan ke Bapak. Pak Panji sangat terkejut saat mengetahuinya, langsung melarikan diri dari Jembara malam ini dan pergi ke Samuderang.”

Tatapan di mata Reza terlihat galak, “Kalau memang sudah melarikan diri, jangan biarkan dia kembali lagi selamanya!”

Asisten itu menundukkan kepalanya, “Aku mengerti, Pak!”

Hari sudah subuh ketika Reza pulang ke rumah keluarga Herdian. Kakek dan neneknya pergi ke London untuk mengadakan seminar bisnis, orang tuanya juga ikut pergi, sehingga hanya tinggal anak-anak di rumah.

Reza langsung naik ke lantai tiga. Setelah mandi, dia membungkus tubuhnya dengan jubah mandi dan duduk di kursi rotan di balkon. Dia mengambil sebatang rokok di meja dan menyalakannya.

Percikan api dari puntung rokok berkedip-kedip di bawah sinar bulan. Rambut hitamnya yang agak basah menjuntai di dahinya. Di bawah cahaya remang itu, lekukan wajahnya sangat sempurna, membuatnya terlihat tampan dan berwibawa.

Entah kenapa, dia memikirkan gadis itu lagi. Ketika berada di kamar mandi, dia melihat kegelisahan wanita itu dan takut menyakiti wanita itu apabila dia bergerak terlalu cepat, jadi dia mencium wanita itu untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya, wanita itu menyambut ciumannya, baru dia bergerak lebih lanjut. Wanita itu meraih lengannya dan namanya dengan cemas.

Saat itu, saraf di otaknya seolah terbakar, sehingga membuatnya linglung. Kalau dipikir-pikir sekarang, dia juga tidak ingat apa wanita itu ada memanggil namanya.

Reza mengeluarkan dua lembar seratus ribu itu. Uang keluaran terbaru, yang sudah basah sepenuhnya.

Sekarang pembayaran bisa dilakukan dengan menggunakan ponsel, hampir di seluruh negeri. Siapa yang masih membawa uang tunai?

Mengapa wanita itu bisa muncul di kamarnya?

Siapa dia?

Reza tiba-tiba menjadi penasaran.

Dia mengambil ponselnya dan menghubungi sebuah nomor, “Selidiki wanita yang melompat dari lantai tiga mala mini. Temukan dia!”

“Baik!” Robi, asistennya selalu menerima perintah dan tidak pernah beromong kosong.

Keesokan harinya, setelah kelas pagi, Sonia mendapat telepon dari dosennya, yang memintanya untuk merapikan berkas-berkas yang sudah dipersiapkan untuk mengajukan beasiswa dan mengantarkannya ke kantor.

Setelah merapikan berkas-berkas itu, belum lagi dia sempat mengantarkannya, dia mendapatkan pesan WhatsApp dari dosennya itu, “Sonia, saya ada urusan mendesak dan harus pergi ke ruang rapat lantai sembilan. Kamu langsung bawakan ke sini saja.”

Sonia membalas pesan itu dan berjalan ke arah gedung tempat dosennya berada.

Sebuah mobil Bentley hitam diparkir di pinggir jalan di luar gedung. Tepat ketika Sonia hendak berjalan menuju gedung itu, dia melihat sesosok tinggi keluar dari mobil.

Jantung Sonia langsung berdegup kencang ketika melihat wajah pria itu dari samping. Dia tanpa sadar langsung berbalik badan.

Lampunya tidak nyala semalam, jadi mungkin Reza tidak mengenalnya. Tapi, dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi pria itu.

Setelah mobil itu melaju pergi, Reza sudah berbelok untuk masuk ke gedung di depan. Sonia pun melanjutkan langkahnya.

Tak disangka, ketika dia berbelok di tikungan, dia melihat pria itu berdiri di sana sambil menelepon. Sonia juga berhenti, berpura-pura melihat ponselnya.

Ketika dia mendongak, Reza sudah berjalan jauh di depan. Sonia menghela napas panjang. Dia sedikit bingung. Mengapa Reza bisa ada di sini?

Dia memasuki gedung itu dan melihat pria itu sedang memasuki lift. Dia memperlambat langkahnya dan menunggu pintu lift tertutup, baru berjalan ke sana.

Ketika dia menekan tombol lift, pintu lift yang tadinya sudah tertutup itu terbuka lagi.

Sonia mengangkat kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa. Matanya bertemu dengan mata Reza yang dingin dan bingung.
Comments (1)
goodnovel comment avatar
MenikMai
seperti cerita film china, ....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status