Jonatan tidak tahu apakah perbudakan tempat Sasi berada, memaksa mereka makan dengan gaya anj*ng atau tidak, tetapi melihat bagaimana gaya Sasi makan, sepertinya tempat itu memang mengajarkan budak-budak mereka makan dengan gaya hewan.
Lelaki itu meringis. Ia merasa punya hewan dalam wujud manusia. Dia berjalan mendekati Sasi, berjongkok di hadapannya sembari tersenyum lembut. “Aku tidak akan mengambil makananmu, kau boleh makan sesukamu kapan pun kau mau, Sasi. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya makan yang baik dan benar.” Jonatan mengambil piring Sasi yang berada di lantai, membawanya kembali ke atas meja makan lalu mengedikkan dagunya untuk menyuruh gadis itu duduk di atas kursi. “Ini sendok, dan ini garpu. Kau harus memakainya saat. Seperti ini ….” Sasi tidak mengikutinya, gadis itu hanya memperhatikan dengan kedua bola mata membesar, dahinya berkerut sebelum wajahnya perlahan tampak berbinar. Seolah-olah ia kembali mengingat sesuatu yang pernah dilupakannya. Meskipun masih terlihat kaku, tapi Sasi menggunakan sendok beserta garpu dengan cukup baik, setidaknya tidak harus membuang waktu lama bagi Jonatan untuk mengajari gadis itu tentang bagaimana seharusnya menggunakan dua benda tersebut. Jonatan terkekeh pelan. Kemudian ia berjalan mendekat ke arah Sasi, memperhatikannya beberapa detik sebelum pada akhirnya mengelus lembut rambut yang menjuntai asal. Sasi kemudian sedikit mendongak hingga bertemu tatap dengan Jonatan. “Kau seperti bayi, cara makanmu sangat berantakan.” Jonatan sedikit menunduk, lalu mengecup ujung bibir Sasi yang terlihat merah, sebelum membersihkan sisa-sisa makanan yang berada di sana. “Aku senang karena kau menghabiskan semuanya. Kau makan dengan begitu lahap. Tapi aku ingin kau memperbaiki caramu makan.” Kali ini Jonatan menangkup kedua pipi Sasi, kemudian menatapnya dalam. Ia kembali mengecup bibir Sasi dengan begitu lembut dan sedikit lama. Hingga Sasi merasakan sensasi panas dalam dadanya. “Aku ingin dalam minggu ini, kau bisa memperbaiki apa yang pernah dirusak oleh mereka. Tapi, jika hal itu membuat mengingat siapa dirimu sebelum menjadi budak, maka … aku akan membawamu kembali ke sana.” Singkatnya, lelaki itu ingin membuat Sasi tetap berada disisinya. Merasa nyaman dengannya sampai kapan pun. Bahkan, ia tidak peduli jika suatu saat nanti dirinya menikah. Jonatan akan tetap membawa Sasi untuk tinggal bersama dengan istrinya. Satu hal yang pasti, Jonatan tidak akan membiarkan gadis itu menyukai pria lain. Sebab, itu akan membuat Sasi menjadi pemberontak lalu meninggalkannya. Sebetulnya secara tidak langsung, tetap saja Jonatan mengekang gadis malang itu. Sasi hanya menatap Jonatan dengan dahi mengerut. Namun, saat ia mengerti arti ‘sana’ yang dimaksud Jonatan, kedua matanya mulai membesar. Gadis itu menggeleng takut. Meremas kemeja Jonatan dengan tatapan memohon. Tentu saja lelaki itu tersenyum lebar sebelum menggendong tubuh Sasi untuk membawanya ke kamar, karena sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksa keadaannya. Sebuah keputusan yang bijak, menyuruh seorang dokter berjenis kelamin wanita untuk memeriksa keadaan Sasi. Mengingat gadis itu memiliki wajah yang begitu cantik menarik. Tubuhnya yang begitu putih dan bersih, jika saja tidak ada lebam serta luka yang ditorehkan oleh para algojo. Wajah yang cukup menarik, hingga Jonatan pun berpikir jika para lelaki melihatnya, mustahil tidak akan tertarik, pasti akan tergoda. Sejauh yang pernah dijual di pelelangan, Sasi Theresialah yang begitu cantik. Jonatan menangkup dua gundukan kenyal di atas dada Sasi. Mengukur ukurannya melalui kedua telapak tangannya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Mungkin jika tubuh gadis itu sedikit berisi, dadanya pun akan terlihat lebih sintal. Jonatan lantas mengerutkan dahinya, tampaknya bokong gadis itu juga kehilang dagingnya. Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat tubuh Sasi. Membuat gadis itu berdiri, kemudian ia menangkup bokong gadis tersebut dengan satu tangannya. Meremasnya pelan, sebelum akhirnya tersenyum puas. Seperti yang telah ia duga sebelumnya, bokong serta gundukan di dada Sasi bisa bertambah jika ia menambah berat badannya. “Apa kau bisa sedikit merenggangkan kedua kakimu?” bisiknya dengan suara serak. Sasi tidak memberontak, tapi kedua matanya membesar sempurna. Ia bahkan menuruti kata Jonatan, merenggangkan kedua kakinya hingga menyerupai huruf V yang terbalik. Ia mulai bergerak gelisah saat sebelah tangan Jonatan meraba area sensitif miliknya. Sasi bergerak gelisah, tidak nyaman atas perlakuan Jonatan. Jonatan menaikkan sebelah alisnya. “Apa kau malu?” Senyum miring terlukis di bibir Jonatan, ia memainkan jari-jarinya di bagian intim milik Sasi. Lelaki itu hendak melihat reaksi gadis tersebut. Sasi bergerak tidak nyaman, gadis itu lantas menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya meremas lengan Jonatan, sementara kedua skleranya bergerak gelisah. Seolah-olah bertanya, apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan bagaimana cara mengakhirinya. Sebelah tangan Jonatan mengusap bibir Sasi. “Jangan menggigitnya, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri.” Kemudian Jonatan terkekeh pelan, ia seperti tengah menggoda anak kecil. Dan entah kenapa, sepertinya menarik membuat gadis itu kebingungan dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia kembali mendaratkan bibirnya di bibir Sasi. Menggodanya dengan kecupan-kecupan kecil, tapi menggairahkan. Setelahnya, bibir nakal milik Juna berpindah pada leher jenjang gadis itu. Dapat dia rasakan tubuh Sasi mulai menegang. Remasan gadis tersebut pada lengannya semakin mengeras. “Kau basah,” bisik Jonatan. Sebelah tangannya yang sebelumnya memainkan intim Sasi, ia perlihatkan pada gadis itu. Sasi tidak merespon, ia seakan bingung harus menyudahi permainan Jonatan seperti apa. “Kau suka? Kau ingin aku berbuat lebih?” Tak ada jawaban apa pun. “Jika kau tidak menjawab, itu berarti kau menyetujuinya.” Suara Jonatan semakin serak dan parau. Jonatan mencium ceruk leher Sasi dengan begitu lembut. Sebelum menjauhkan wajahnya, lelaki itu menghisap leher Sasi dengan begitu kuat, hingga meninggalkan bekas merah di sana. Lelaki itu tersenyum puas karena telah membuat napas Sasi tersengal-sengal. “Sungguh kau tidak ingin bicara sedikit saja? Coba kau ucapkan namaku, Jonatan.” Sasi menggeleng. “Ucapkan.” Gadis itu tetap menggeleng. “Jika kau tidak mau, jangan salahkan aku jika kau kukembalikan pada tempatmu berasal.” Sasi menunduk, tapi tangan Jonatan segera menahannya. “Ucapkan, Sayang.” “Jo … Na … Tan….” Jonatan tersenyum lebar sambil mengecup kening Sasi. “Ucapkan lagi, kau pasti bisa lebih baik lagi.” Sasi menggeleng. “Kau pasti bisa, Sasi.” “Jo … Natan.” “Lagi.” Sasi bergeming. Jonatan membelai anak rambut Sasi dengan lembut. Sasi tidak merespon, tubuhnya berdiri kaku. Kemudian Jonatan mengangkat jarinya, menyembulkan jadi kelingking. “Aku berjanji, aku tidak akan mengirimmu kembali ke tempat itu.” Menatap Sasi yang tampak bingung, Jonatan pun meraih jemari Sasi dan mengaitkan anak jarinya ke jari gadis itu. “Kau ingin tinggal denganku untuk selamanya ‘kan?” Sasi mengangguk. “Kalau begitu, ucapkan namaku dengan lancar.” “Jonatan.” “Aku suka kau menyebut namaku.” Jonatan mengecup ujung hidung Sasi. Saat keduanya sedang fokus pada kegiatan perjanjian antara budak dan tuan, tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu. “Aku akan membuka pintu, pasti dokter yang akan memeriksamu sudah datang.” Baru saja Jonatan hendak melangkah, tangan Sasi menarik lengannya dengan tatapan penuh mohon. Gadis itu tak ingin ditinggal sendiri. “Hanya sebentar, tidak akan lama.” Sasi terisak, ia bahkan tidak ingin Jonatan meninggalkannya walau hanya sesaat. Jonatan mengecup kening Sasi. “Tidak akan lama, Sayang.” Cukup lama hingga akhirnya Sasi mengangguk. Gadis itu kini meringkuk di tepi ranjang, memeluk tubuhnya sendiri. Jonatan menganjur napas panjang, sebelum melangkah pergi untuk membukakan pintu dokter Violetta.Jonatan mengangkat kedua alisnya, sedikit gugup saat melihat Nathalie yang menajamkan pandangannya. “Kau bilang, kau menemukan gadis ini di tengah jalan? Jangan pikir aku tidak tahu siapa dia, Jo. Kau lupa, jika Brian punya kegemaran yang sama denganmu?” “Baiklah-baiklah.” Jonatan menggenggam kedua bahu Nathalie, mendorongnya masuk dalam kamar. “Kau tahu, jika aku tidak piawai dalam membohongimu, Nath. Dia adalah budak yang kubeli dari kelab. Kurasa suamimu juga tahu itu.” “Kau bahkan tidak pernah membeli budak sebelumnya, apalagi memeliharanya. Apa ….” Nathalie menggantung kalimatnya, kedua bola matanya menelisik ke arah Jonatan. “Jangan bilang karena masalah kita dulu, jadi kau memilih untuk memelihara budak, Jo.” Jonatan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tentu saja bukan, Naht. Aku hanya butuh barang untuk bermain-main. Akhir-akhir ini aku sedikit bekerja keras karena masalah Leo, dan aku butuh sesuatu untuk bisa membuat pikiranku lebih segar.” Nathalie bekacak ping
“Tidak ada masalah yang serius, selain luka-luka yang lumayan parah. Tapi, dia memiliki luka batin yang begitu serius, hingga jiwanya terguncang,” ujar dokter Violetta sambil membetulkan posisi kacamatanya. Jonatan menatap lekat ke arah Sasi. “Jo, aku tidak mau tahu apa yang sudah kau lakukan terhadap gadis malang ini. Namun, karena saat ini dia adalah pasienku, jadi sudah tanggung jawabku.” Jonatan menahan senyumnya. Wanita paruh baya yang sialnya dokter khusus yang ditugaskan untuknya itu, selalu ingin tahu banyak hal untuk kemudian diadukannya kepada Anthony Allard, dengan tambahan sedikit bumbu dramatis. “Kau tenang saja, Vio, karena tidak ada kejadian yang lebih untuk kau ketahui. Aku hanya menolongnya. Katakan pada Ayah, jika putranya ini sudah menjadi lebih dewasa dan baik.” Dokter Violetta terbatuk-batuk, kemudian wanita paruh baya tersebut kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Aku tidak pernah memberitahu apa pun tentangmu pada Anthony, Jo. Jadi, tolong jan
Jonatan tidak tahu apakah perbudakan tempat Sasi berada, memaksa mereka makan dengan gaya anj*ng atau tidak, tetapi melihat bagaimana gaya Sasi makan, sepertinya tempat itu memang mengajarkan budak-budak mereka makan dengan gaya hewan. Lelaki itu meringis. Ia merasa punya hewan dalam wujud manusia. Dia berjalan mendekati Sasi, berjongkok di hadapannya sembari tersenyum lembut. “Aku tidak akan mengambil makananmu, kau boleh makan sesukamu kapan pun kau mau, Sasi. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya makan yang baik dan benar.” Jonatan mengambil piring Sasi yang berada di lantai, membawanya kembali ke atas meja makan lalu mengedikkan dagunya untuk menyuruh gadis itu duduk di atas kursi. “Ini sendok, dan ini garpu. Kau harus memakainya saat. Seperti ini ….” Sasi tidak mengikutinya, gadis itu hanya memperhatikan dengan kedua bola mata membesar, dahinya berkerut sebelum wajahnya perlahan tampak berbinar. Seolah-olah ia kembali mengingat sesuatu yang pernah dilupakannya. Me
Malam itu, Jonatan mengubah posisi tidurnya, berbalik ke kanan lima menit, lalu kembali telungkup. Tidak sampai satu menit, ia kembali mengubah gaya tidurnya menghadap ke kiri. Begitu terus sampai menjelang pagi. Sejak kejadian beberapa bulan lalu tidurnya selalu gelisah. Ia selalu teringat bagaimana dirinya meniduri seorang wanita yang dicintainya. Karena perbuatan Jonatan—Nathalie—memilih menikah dengan orang lain, yang membuat wanita itu tidak bahagia. Jonatan kemudian mengerang frustrasi. Mungkin hanya dirinya yang seperti saat ini, karena bisa saja sekarang Nathalie sedang tertidur nyenyak. Sahabatnya itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah terjadi. Sebetulnya mereka mempunyai perasaan yang sama. Yang berbeda hanya cara dalam memelihara rasa yang mereka miliki. Lalu Nathalie memilih menikah dengan orang lain. Jonatan menatap jam di ponselnya dengan malas, lalu mencari nomor Paman Leonard sebelum meneleponnya, tampaknya malam itu ia akan menghabiskan malam di seb
“Selamat ulang tahun, Sasi.” Sasi tersenyum lembut, kemudian gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Apa kau yang menyiapkan semua hadiah ini untukku?” tanyanya dengan suara pelan. Tom mengangguk, lalu mengecup dahi Sasi dengan sayang. Setidaknya itu yang dilihat Sasi kala itu. “Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.” Saat itu adalah ulang tahun Sasi ke 26 tahun. Tepat ketika Tom ingin melamarnya. Suasananya begitu meriah, hingga tak ada yang sadar semabuk apa Sasi malam itu. Para tamu pun mabuk, hingga tak sadar apa yang sudah terjadi. Sasi sendiri berdiri dengan keadaan kepala berdenyut, langkahnya menjadi tidak stabil. Sasi berusaha berjalan ke arah kamar yang telah dipesan oleh Tom untuk mereka dapat habiskan malam penuh cinta tersebut. Gadis itu tidak terlalu mengingatnya, ia hanya memasuki kamar yang cukup gelap, lalu mulutnya ditutup kain dengan aroma yang cukup menyengat, hingga gadis itu berontak. “Tom, kaukah itu?” lirihnya. Namun, tubuhnya
“Kau haus?” Sasi Theresia, gadis bernasib malang itu tampak mengangguk antusias. Lalu, pria berperawakan tinggi besar yang biasa dikenal sebagai salah satu Algojo itu tersenyum miring. Melepaskan cambuk dari tangannya. “Buka mulutmu!” Perintahnya dengan suara lantang dan keras. Sasi menggeleng. Kedua kelopak matanya sayu. “Aku akan memberimu minum. Cepat!” Sasi membelalakkan kedua bola matanya, kemudian langsung beringsut mundur sembari terus menggeleng-geleng takut. Air matanya mengancam keluar. Di antara puluhan wanita yang berada di sana, hanya dialah satu-satunya yang masih memiliki reaksi terhadap apa pun bentuk tindakan yang dilakukan kepada dirinya. Pasalnya, algojo itu bukan menawarinya minuman. Itu adalah hal terburuk yang akan Sasi ingat. Ruangan itu gelap serta lembab, bau busuk serta karat besi menguar menjadi satu. Terdengar suara nyaring antara besi bertemu dengan kulit, tapi tidak ada jeritan. Segala mimpi buruk seakan bersatu ada di tempat itu, mimpi yan