“Tidak ada masalah yang serius, selain luka-luka yang lumayan parah. Tapi, dia memiliki luka batin yang begitu serius, hingga jiwanya terguncang,” ujar dokter Violetta sambil membetulkan posisi kacamatanya.
Jonatan menatap lekat ke arah Sasi. “Jo, aku tidak mau tahu apa yang sudah kau lakukan terhadap gadis malang ini. Namun, karena saat ini dia adalah pasienku, jadi sudah tanggung jawabku.” Jonatan menahan senyumnya. Wanita paruh baya yang sialnya dokter khusus yang ditugaskan untuknya itu, selalu ingin tahu banyak hal untuk kemudian diadukannya kepada Anthony Allard, dengan tambahan sedikit bumbu dramatis. “Kau tenang saja, Vio, karena tidak ada kejadian yang lebih untuk kau ketahui. Aku hanya menolongnya. Katakan pada Ayah, jika putranya ini sudah menjadi lebih dewasa dan baik.” Dokter Violetta terbatuk-batuk, kemudian wanita paruh baya tersebut kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Aku tidak pernah memberitahu apa pun tentangmu pada Anthony, Jo. Jadi, tolong jangan membuatku seolah-olah menjadi terlihat menjengkelkan.” Jonatan mencebik. “Kau bahkan tidak pernah sadar jika dirimu menyebalkan.” Ia mencondongkan tubuhnya ke arah dokter Violetta. “Sebulan lalu, siapa yang telah melaporkan pada ayah, jika aku terluka?” Dokter tua sialan itu tampak menaikkan kacamatanya. Gerakan tubuhnya gelisah, seolah-olah ingin segera menyudahi obrolannya dengan Jonatan. “Bahkan, hingga saat ini ayah melarangku mengendarai motor lagi. Demi Tuhan, Vio, saat itu aku terluka bukan karena ceroboh. Tapi karena ada seseorang yang menabrakku dan itu tidak sengaja. Orang suruhanku telah menyelidiki identitas penabrak itu dengan cukup terperinci. Dapat kupastikan dia bukan siapa pun. Bukan musuhku apalagi musuh ayah.” Jonatan cukup tahu perilaku Anthony. Meskipun mereka jarang berkomunikasi, pria paruh baya itu cukup protektif sebagai orang tua. Diam-diam selalu mengawasinya meskipun mereka tinggal di tempat yang berbeda. Anthony bahkan selalu mengatakan jika Jonatan adalah aset berharga, yang akan meneruskan seluruh perusahaannya. Jadi, pria paruh baya itu memang harus betul-betul menjaga sang putra. “Kau adalah aset berhargaku, Jo, yang akan meneruskan seluruh perusahaan. Jadi, aku harus menjagamu dengan baik.” Cukup menyakitkan, tapi tentu bukan itu saja inti dari perkataan Anthony. Tidak seperti yang terbuka pada perasaannya, dia adalah ayah yang cukup tertutup. Bahkan, Anthony tidak terlalu bisa menyampaikan perasaan sayangnya melalui kalimat. “Baiklah, aku akan jujur padamu. Memang aku yang telah melaporkan pada Anthony tentang keadaanmu saat itu. Tapi itu atas perintahnya dan karena aku juga khawatir terhadap keselamatan nyawamu, Jo.” Jonatan meremas kedua pundak dokter Violetta. “Rasa khawatirmu cukup balas dengan cara tidak mengadukan apa pun tentangku pada ayah,” ujarnya pelan. Sejurus kemudian, ia mengedikkan pundaknya ke arah Sasi yang masih meringkuk di pojok ranjang. “Tugasmu disini hanya mengobatinya, tanpa harus banyak tanda tanya. Paham?” Mungkin Jonatan terlalu sering tersenyum serta ramah. Pria itu tidak pernah letih untuk berbuat baik. Kehadirannya di bumi adalah sebuah bentuk anugerah bagi siapa pun yang mengenalnya. Sayang, hanya sedikit orang yang tahu jika saat-saat tertentu Jonatan bisa menyerupai iblis. Sedikit banyaknya sifat Anthony menurun padanya. Bola matanya yang gelap akan terasa kelam jika menatap seseorang yang sudah melanggar batas privasinya. Seperti saat ini, hanya sebuah tatapan, tapi cukup mampu membuat dokter Violetta gemetar. Tidak butuh waktu lama sampai wanita itu mengangguk dan menyanggupi kata Jonatan. “Darimana asalnya gadis ini? Kenapa bisa ada perempuan dengan cacat mental di apartemenmu, Jo?” Menghela napas panjang, dokter Violetta mendekati Sasi yang langsung melangkah mundur sembari menggeleng ketakutan. Violetta tersenyum keibuan, mengulurkan tangannya untuk mengajak Sasi menyambutnya. “Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Mari kesini, aku akan memeriksamu.” Sasi menoleh ke arah Jonatan yang menganggukkan kepalanya sebagai bentuk persetujuan. Pria itu tersenyum, sambil mengedikkan dagunya agar Sasi menyambut Violetta. Dengan rasa ragu, Sasi mendekat. Violetta langsung memeriksanya. “Aku akan menunggumu di ruang tamu.” ^^^ Baru saja Jonatan mendaratkan bokongnya di atas sofa, suara klik dari pintu apartemennya terdengar. Sosok wanita cantik berbalut dress mahal melangkah masuk. “Kupikir, kau sudah menjadi mayat. Beberapa minggu ini kau tidak pernah menghubungiku, aku merindukanmu, kau tahu itu?” Nathalie, sahabat sekaligus wanita yang ia cintai itu turut duduk di atas sofa berdampingan dengannya. Kemudian memeluk manja dengan bibir mengerucut. “Jangan bilang kau masih merasa bersalah atas pernikahanku. Sudah kukatakan padamu, bahwa aku mengambil keputusan itu demi kebaikan kita berdua. Kau tidak perlu merasa bersalah Jo, aku masih mencintaimu.” Nathalie menarik punggung Jonatan. “Jo, aku bicara denganmu.” Jonatan terkekeh, memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Nathalie dan memandang wajahnya dengan lembut. “Aku dengar, Nath. Aku memang tidak menyetujui hubunganmu dengan Brian, tapi demi Tuhan aku bahkan memberkati pernikahan kalian. Aku hanya sedikit sibuk akhir-akhir ini.” Natalie menyipitkan mata. “Benarkah?” Wanita itu menatap Jonatan tajam, menilai keseluruhan wajah sang sahabat. “Tentu saja, kemarilah. Aku akan memelukmu.” Jonatan merentangkan kedua lengannya yang langsung disambut oleh Nathalie. “Apa kau bahagia dengannya, Nath?” Nathalie bergeming, wanita itu tenggelam dalam wangi tubuh Jonatan. Ia bahkan kembali mengingat saat dirinya pernah satu ranjang dengan Jonatan. “Nathalie.” “Emh, apa yang kau tanyakan? Maaf, aku sedikit kurang fokus. Pelukanmu begitu nyaman, sudah lama kita tidak serperti ini, semenjak aku menikah.” Jonatan mengacak anak rambut Nathalie. “Apa kau bahagia?” Ia mengulangi kalimat tanyanya lagi. Nathalie tersenyum getir. “Kau bahkan tahu jika sampai saat ini aku mencintaimu. Tapi, aku senang dengan perlakuan Brian. Dia baik.” “Kuharap kau akan betul-betul bahagia dengannya, kau bisa melupakan cinta kita.” Jonatan mengurai pelukannya. Dadanya sesak, ketika harus mendengar orang yang dicintainya tidak sepenuhnya bahagia dalam pernikahannya. “Ini masalah serius, Jo. Kurasa kau butuh perawatan intensif untuk gadismu itu. Aku sendiri tidak tahu cairan apa yang sudah ditanamkan di dalam pikirannya.” Tiba-tiba saja Violetta ke luar dari dalam kamar dengan wajah yang menyembulkan kepanikan. “Gadis?” Nathalie mengerutkan dahinya. “Nathalie, kapan kau datang?” Wajah Violetta mendadak kusut. Ia tahu siapa wanita itu dan memiliki hubungan apa dengan Jonatan. “Barusan. Kau bilang gadis. Gadis siapa Vio?” Violetta melempar pandang ke arah Jonatan. Demi Tuhan, kali ini ia tak ingin disalahkan lagi. Nathalie ikut memandang Jonatan. “Gadis siapa, Jo?” “Gadis yang kutemui di jalan. Aku hampir menabraknya. Dia pingsan. Lalu aku membawanya ke sini untuk kurawat.” Natalie menyipitkan matanya, ia tahu jika Jonatan tengah berbohong. Mungkin nanti dia akan bertanya kenapa pria itu berbohong. Nathalie melangkah menuju kamar, matanya seketika membesar melihat wanita yang meringkuk di pojok kasur. “Bukankah gadis ini ….”Jonatan mengangkat kedua alisnya, sedikit gugup saat melihat Nathalie yang menajamkan pandangannya. “Kau bilang, kau menemukan gadis ini di tengah jalan? Jangan pikir aku tidak tahu siapa dia, Jo. Kau lupa, jika Brian punya kegemaran yang sama denganmu?” “Baiklah-baiklah.” Jonatan menggenggam kedua bahu Nathalie, mendorongnya masuk dalam kamar. “Kau tahu, jika aku tidak piawai dalam membohongimu, Nath. Dia adalah budak yang kubeli dari kelab. Kurasa suamimu juga tahu itu.” “Kau bahkan tidak pernah membeli budak sebelumnya, apalagi memeliharanya. Apa ….” Nathalie menggantung kalimatnya, kedua bola matanya menelisik ke arah Jonatan. “Jangan bilang karena masalah kita dulu, jadi kau memilih untuk memelihara budak, Jo.” Jonatan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tentu saja bukan, Naht. Aku hanya butuh barang untuk bermain-main. Akhir-akhir ini aku sedikit bekerja keras karena masalah Leo, dan aku butuh sesuatu untuk bisa membuat pikiranku lebih segar.” Nathalie bekacak ping
“Tidak ada masalah yang serius, selain luka-luka yang lumayan parah. Tapi, dia memiliki luka batin yang begitu serius, hingga jiwanya terguncang,” ujar dokter Violetta sambil membetulkan posisi kacamatanya. Jonatan menatap lekat ke arah Sasi. “Jo, aku tidak mau tahu apa yang sudah kau lakukan terhadap gadis malang ini. Namun, karena saat ini dia adalah pasienku, jadi sudah tanggung jawabku.” Jonatan menahan senyumnya. Wanita paruh baya yang sialnya dokter khusus yang ditugaskan untuknya itu, selalu ingin tahu banyak hal untuk kemudian diadukannya kepada Anthony Allard, dengan tambahan sedikit bumbu dramatis. “Kau tenang saja, Vio, karena tidak ada kejadian yang lebih untuk kau ketahui. Aku hanya menolongnya. Katakan pada Ayah, jika putranya ini sudah menjadi lebih dewasa dan baik.” Dokter Violetta terbatuk-batuk, kemudian wanita paruh baya tersebut kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Aku tidak pernah memberitahu apa pun tentangmu pada Anthony, Jo. Jadi, tolong jan
Jonatan tidak tahu apakah perbudakan tempat Sasi berada, memaksa mereka makan dengan gaya anj*ng atau tidak, tetapi melihat bagaimana gaya Sasi makan, sepertinya tempat itu memang mengajarkan budak-budak mereka makan dengan gaya hewan. Lelaki itu meringis. Ia merasa punya hewan dalam wujud manusia. Dia berjalan mendekati Sasi, berjongkok di hadapannya sembari tersenyum lembut. “Aku tidak akan mengambil makananmu, kau boleh makan sesukamu kapan pun kau mau, Sasi. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya makan yang baik dan benar.” Jonatan mengambil piring Sasi yang berada di lantai, membawanya kembali ke atas meja makan lalu mengedikkan dagunya untuk menyuruh gadis itu duduk di atas kursi. “Ini sendok, dan ini garpu. Kau harus memakainya saat. Seperti ini ….” Sasi tidak mengikutinya, gadis itu hanya memperhatikan dengan kedua bola mata membesar, dahinya berkerut sebelum wajahnya perlahan tampak berbinar. Seolah-olah ia kembali mengingat sesuatu yang pernah dilupakannya. Me
Malam itu, Jonatan mengubah posisi tidurnya, berbalik ke kanan lima menit, lalu kembali telungkup. Tidak sampai satu menit, ia kembali mengubah gaya tidurnya menghadap ke kiri. Begitu terus sampai menjelang pagi. Sejak kejadian beberapa bulan lalu tidurnya selalu gelisah. Ia selalu teringat bagaimana dirinya meniduri seorang wanita yang dicintainya. Karena perbuatan Jonatan—Nathalie—memilih menikah dengan orang lain, yang membuat wanita itu tidak bahagia. Jonatan kemudian mengerang frustrasi. Mungkin hanya dirinya yang seperti saat ini, karena bisa saja sekarang Nathalie sedang tertidur nyenyak. Sahabatnya itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah terjadi. Sebetulnya mereka mempunyai perasaan yang sama. Yang berbeda hanya cara dalam memelihara rasa yang mereka miliki. Lalu Nathalie memilih menikah dengan orang lain. Jonatan menatap jam di ponselnya dengan malas, lalu mencari nomor Paman Leonard sebelum meneleponnya, tampaknya malam itu ia akan menghabiskan malam di seb
“Selamat ulang tahun, Sasi.” Sasi tersenyum lembut, kemudian gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Apa kau yang menyiapkan semua hadiah ini untukku?” tanyanya dengan suara pelan. Tom mengangguk, lalu mengecup dahi Sasi dengan sayang. Setidaknya itu yang dilihat Sasi kala itu. “Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.” Saat itu adalah ulang tahun Sasi ke 26 tahun. Tepat ketika Tom ingin melamarnya. Suasananya begitu meriah, hingga tak ada yang sadar semabuk apa Sasi malam itu. Para tamu pun mabuk, hingga tak sadar apa yang sudah terjadi. Sasi sendiri berdiri dengan keadaan kepala berdenyut, langkahnya menjadi tidak stabil. Sasi berusaha berjalan ke arah kamar yang telah dipesan oleh Tom untuk mereka dapat habiskan malam penuh cinta tersebut. Gadis itu tidak terlalu mengingatnya, ia hanya memasuki kamar yang cukup gelap, lalu mulutnya ditutup kain dengan aroma yang cukup menyengat, hingga gadis itu berontak. “Tom, kaukah itu?” lirihnya. Namun, tubuhnya
“Kau haus?” Sasi Theresia, gadis bernasib malang itu tampak mengangguk antusias. Lalu, pria berperawakan tinggi besar yang biasa dikenal sebagai salah satu Algojo itu tersenyum miring. Melepaskan cambuk dari tangannya. “Buka mulutmu!” Perintahnya dengan suara lantang dan keras. Sasi menggeleng. Kedua kelopak matanya sayu. “Aku akan memberimu minum. Cepat!” Sasi membelalakkan kedua bola matanya, kemudian langsung beringsut mundur sembari terus menggeleng-geleng takut. Air matanya mengancam keluar. Di antara puluhan wanita yang berada di sana, hanya dialah satu-satunya yang masih memiliki reaksi terhadap apa pun bentuk tindakan yang dilakukan kepada dirinya. Pasalnya, algojo itu bukan menawarinya minuman. Itu adalah hal terburuk yang akan Sasi ingat. Ruangan itu gelap serta lembab, bau busuk serta karat besi menguar menjadi satu. Terdengar suara nyaring antara besi bertemu dengan kulit, tapi tidak ada jeritan. Segala mimpi buruk seakan bersatu ada di tempat itu, mimpi yan