“Gak masuk akal!” kataku.
“Gue gak lagi ngomong kosong, Nit! Kun bawa pisau sambil ngejar Renata!” Lexa tetap dengan penuturannya.
“Mas Kun gak mungkin bertingkah sembarangan. Sebagai elite di negeri ini, dia akan menjaga sikap. Gak mungkin dia mengejar seorang wanita di depan umum, apalagi sambil bawa pisau. Walaupun kenyataannya dia berselingkuh, tapi gak mungkin dia berbuat se-mencolok itu, kan? Mungkin lo salah lihat,” sanggahku.
“Gue yakin dengan yang gue lihat, pria yang mengejar Renata itu adalah suami lo!”
*
Menjelang sore, aku masih duduk di tempat kerja, sementara para karyawanku tengah bersiap pulang. Mereka bekerja dengan baik di hari pertama produksi.
Selain menjual produkku sendiri di Official Store milik perusahaan ini, aku juga akan menjual produkku dengan sistem konsinyasi. Untuk itu, sore ini aku akan pulang terlambat karena harus mencari kontak pemilik butik dan toko baju yang ada di kota ini. Aku akan menghubungi mereka untuk m
Aku dan Lexa beradu pandang. Keheningan terjadi di antara kami, hanya suara TV yang terdengar. Tanganku gemetaran karena rasa takut, sementara Lexa meremas jari tangannya seperti biasa saat sedang gelisah.“T—tadi lo bilang, Renata masuk kamar 305?” tanyaku gemetar.Lexa mengangguk, dia masih shock. Kami punya pikiran yang sama. Wanita yang tewas ditusuk itu, pasti adalah Renata!“Lexa ….” Aku mencoba memanggilnya, namun dia bergeming. Matanya fokus menatap kosong pada layar televisi.Dengan tangan gemetar, segera kupencet tombol ‘off’ pada remote TV, agar Lexa tak melihat berita itu lagi dan dapat kembali sadar, sehingga bisa kuajak bicara. Ini bukan perkara main-main, Lexa mengatakan bahwa dia telah melihat suamiku mengejar Renata sambil membawa pisau, dan sekarang wanita itu tewas akibat luka tusukan.“Lexa!” teriakku histeris sambil mengguncang pundaknya. Aku juga berada dalam kondisi
*Aku tak tidur semalaman, hanya berguling di atas kasur dan terus memikirkan Renata. Melihat jasadnya di berita online membuatku bergidik ngeri. Kedua bola matanya hampir keluar, leher dan anggota tubuh lainnya bolong kena tusukan, darah membanjiri lantai.Mungkinkah Mas Kun pelakunya? Dia tak pernah kasar, dan tak suka melakukan kekerasan. Selama rumah tangga dengannya, tak pernah sekalipun dia melakukan KDRT. Andai dia harus menyingkirkan seseorang, dia tak akan melakukan dengan tangannya sendiri. Pasti membayar profesional untuk melakukannya.Kilasan wajah Renata terus tergambar di pikiranku. Ekspresi ‘gila’ nya ketika dia bilang telah melakukan aborsi berkali-kali, ekspresi wajahnya ketika menjerit ketakutan, dan teriakan minta tolong padaku waktu di kantor tempo hari. Semua itu masih terngiang di telingaku.“Kak, tolong aku, Kak! Tolooong!” Dia berteriak padaku ketika Rey membawanya keluar gedung“Bantu aku
Kuambil biskuit, dan menggigitnya sedikit. Dengan anggun, kusilangkan kakiku dan mulai menjawab pertanyaan Madame.“Orang bijak akan sibuk mengurusi dirinya sendiri ketimbang mengurusi hidup orang lain,” jawabku, menyindirnya.Dia menyelipkan rambut ke belakang telinga, menyadari aku tengah bicara tentang attitude-nya. Sontak, dia pun tertawa untuk membayar rasa malu.“Apa yang kau tawarkan pada butikku?” tanyanya.Aku berhasil membuatnya fokus bicara tentang pekerjaan. Memang, tak akan ada yang tahan dengan sikap satire-ku.“Aku memproduksi baju remaja, dewasa pria dan wanita. Lihat,” ucapku sambil menunjukan desain yang digambar Lexa, serta sample baju yang kumaksud.Madame memeriksa helai demi helai benang pada setiap model baju yang kutunjukan. Ia juga mengamati desainnya, dan memperkirakan kelayakan baju itu jika dijual di butiknya.“Good quality. Tapi produkmu tetap harus iku
“Aku tak mau lihat senyummu,” ucapku. Dia mengangguk dan menggigit bibir, mungkin merasa malu.“Kenapa, Rey?” lanjutku, bertanya karena ia mengernyitkan dahi saat melihat ponselnya.“Tewasnya Renata ditetapkan sebagai kasus bunuh diri,” jawabnya seraya menunjukkan sebuah situs berita online di ponselnya, yang memberitakan kematian Renata.Gerak tanganku terhenti, suapan terakhir mie ramenku tak jadi kumakan.Bunuh diri? Tapi Lexa melihat suamiku mengejarnya dengan pisau di tangan. Ah, semoga saja benar wanita itu bunuh diri!“Kau mengikuti perkembangan kasusnya?” tanyaku pada Rey.“Ya.”“Menurutmu, apakah dia benar bunuh diri?”Rey tak menjawab. Juga tak tersenyum. Dia bersikap seolah tak mendengar pertanyaanku yang terakhir itu.*Ponselku berdering ketika aku sibuk membaca report kerja keempat manajer divisiku. Tertera nama Mas Kun di
Menahan bibir yang gemetaran dan dada bergejolak saat mendengar nama ‘Renata Hartadi’, aku mengatur irama nafas agar bisa meredam emosi.Sengaja kuteguk secangkir moccachino dengan mengulur waktu, sambil memikirkan jawaban yang tepat. Sementara Lexa pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia yang tahu permasalahanku, terkesan tak mau menanggapi keheranan rekannya yang lain tentang nama itu.“Apa dia ada hubungan saudara dengan suamimu, Nona Bos?” Kay mendahuluiku dengan pertanyaan menohoknya.“Kulihat beberapa hari lalu dia datang ke kantor, aku melihatnya bersimpuh di kakimu sebelum kau ajak masuk ke dalam,” Maura mencoba mengingat lagi kejadian tempo hari. Beruntung, hanya Lexa dan Rey yang melihatku saat menendang Renata.“Apa maksud kedatangannya ke kantor kita?” Irene semakin serius ingin tahu.Haruskah kujawab keingintahuan mereka, atau pura-pura tak mendengar saja? Kebetulan aku sedang me
Rey mengangguk. “Ayo, Nona. Anda aman bersama saya,” ucapnya.“Kau tak perlu bersikap terlalu formal padaku.”Dari pertama bertemu, ia terkesan kaku. Ya, aku memang bosnya tapi kurasa tak perlu sekaku ini.“Baik, Nona,” responnya sambil membungkuk.“No, Rey! Itu masih kaku!”Dia malah terkekeh, lucu juga melihatnya seperti itu. “Oke,” jawabnya seraya mengacungkan ibu jarinya.“Good! Ayo kita berangkat, tapi kamu janji ya, harus membawaku kembali ke sini. Aku tak mau pulang ke rumah dan tinggal seatap dengan Mas Kun!”*Aku meminta Rey untuk mengambil jalan ke arah Barat, penasaran dengan Lux Fashion Store yang tadi meneleponku. Entahlah, rasanya ada yang janggal hingga aku ingin melihat tempatnya secara langsung.“Kok aku baru tahu ada toko itu di sana ya, apa kau juga sama, Rey?” tanyaku.“Tokonya sudah buka seja
Aku merasa jijik pada Mas Kun, terlebih saat ingat apa yang telah dilakukannya dengan Renata. Perbuatan biadab yang memaksa seorang wanita mengaborsi kandungannya! Jujur, dalam hal ini aku merasa kasihan pada Renata. Namun, itulah karma yang harus ditermanya karena telah menghancurkan rumahtanggaku.“Ayolah, Nita. Tak ada lagi nama itu dalam pernikahan kita, dia telah tiada,” bujuk Mas Kun.Tak sedikit pun kulihat kesedihan di wajahnya. Bisa-bisanya dia bersikap demikian, begitu tenang setelah membunuh selingkuhannya? Seandainya bukan dia yang membunuh, setidaknya ada perasaan duka saat mengetahui orang yang dicintainya tewas mengenaskan. Namun, tak kulihat ada rasa kehilangan di wajah Mas Kun. Ia hanya telihat lelah dan kurang tidur.Suster membuka pintu ruangan, ia selesai memberikan obat dan memeriksa Bobbi. Kuabaikan dulu Mas Kun selagi ngobrol dengan suster.“Anak Anda sudah bisa pulang besok pagi, panasnya sudah reda,&r
Saat kupejamkan mata karena terlalu takut, tiba-tiba saja tubuhku ada dalam rangkulan Rey. Dia menyelamatkanku dari ancaman Mas Kun. Kemudian, dengan cepat Rey membawaku pergi dari rumah sakit.Kini aku berada di dalam mobil. Tas dan semua barangku sudah ada di sini. Entah kapan Rey memindahkannya.“Rey, kenapa kau membawaku ke sini?” tanyaku saat Rey menyalakan mesin mobil.“Aku sedang menyelamatkanmu, Nona,” jawabnya.“Ta-tapi aku belum sempat melihat Bobbi dan berpamitan padanya. Bagaimana nanti jika dia mencariku ketika bangun dari tidurnya? Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Bobbi dengan cara seperti ini.”“Tuan Kun tidak akan mencelakai anaknya, tapi ia bisa saja mencelakaimu, Nona. Itulah mengapa kau harus menyelamatkan diri, dan tak perlu mengkhawatirkan Bobbi,” jawab Rey bersamaan dengan mobil yang mulai melaju kencang.Aku dapat melihat Mas Kun melalui kaca spion, ia ber