Share

Kabar dari Lexa

Rey membaca baik-baik email dari Mas Kun. Aku menunggu responnya, tapi lama sekali. Dia tipe orang yang teliti dan tak gegabah. Dalam menyelidiki sesuatu, dia selalu memperhatikan detail dan menimbang dari segala sisi. Pembawaannya yang tenang dan kharismatik, menampilkan sisi kecerdasannya yang cemerlang. Pembawaan Rey sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai bodyguard berdarah dingin. Dia lebih cocok menjadi aktor top, atau pengacara kondang.

“Gimana, Rey? Kau tahu keganjilannya, kan?” tanyaku. 

Dia menyerahkan ponselku. Email itu sudah selesai dibacanya. “Nona terganggu dengan kata-kata ‘menarik kembali komplotanku’?” tanyanya.

“Ya, bukankah itu berarti mereka masih hidup?” Aku balik bertanya.

Rey tersenyum, kemudian menggeleng. “Itu artinya, Tuan Kun mengetahui kalau komplotannya sudah terbunuh. Dia menggunakan kata halus untuk mendeskripsikannya,” jawab Rey.

“Kau yakin, Rey?”

“Ya, Nona.”

Sebenarnya, aku merasakan dua hal yang berbanding terbalik. Senang, karena kini tak ada lagi yang mencoba menangkapku, komplotan yang dikirim Mas Kun telah disingkirkan oleh Rey. Namun, aku juga merasa takut jika Rey tak melakukannya dengan mulus dan meninggalkan jejak, perbuatannya akan diendus polisi dan aku pasti ikut terlibat.

“Tenang, Nona. Tidak akan ada polisi.” Rey meyakinkanku, seolah dia tahu apa yang sedang kutakutkan.

“Tak boleh ada lagi pembunuhan, Rey!” tegasku.

“Jika untuk melindungimu, maka harus!” tegasnya.

Aku menghembus napas, meminum the melati dari cangkirku, dan membuang pandangan ke arah lain. Sengaja menghindar dari Rey. Kurasa, dia berlebihan dalam menjagaku. Padahal bayaran yang kuberikan padanya tak sepadan jika dia sampai harus melakukan pembunuhan.

Restoran Lux berada di perbukitan. Dari sini aku dapat melihat warna hijau dari pepohonan di kejauhan, yang tampak dekat dengan warna biru di langit. Jalan raya yang tampak kecil sekali jika dilihat dari atas sini. Angin yang berhembus kencang menyibak rambut pendek Rey. 

Ah, aku mulai takut padamu, Rey ….

*

Kubuka jendela di ruang kerjaku. Sontak, angin sepoi mengayunkan rambut panjangku yang tergerai, diiringi semerbak wangi lavender dari pengharum ruangan yang kutempel di kaca jendela, mengembalikan mood-ku setelah bicara empat mata dengan Rey.

Kubuka blazer dan duduk di meja kerjaku. Kini, tinggal dres putih yang kukenakan. Saat melihat diriku di cermin, aku teringat Renata. Jika diperhatikan, dres yang kukenakan saat ini sama dengan yang dikenakannya kemarin waktu datang kesini, hanya berbeda warna saja.

Aku sempat bertanya, hubungan mereka selama sepuluh tahun apakah hanya sebatas perselingkuhan semata, ataukah mereka sudah mengikat hubungan mereka dalam pernikahan? Mustahil jika Mas Kun akan bertahan dengan sebuah hubungan hingga selama itu, biasanya dia akan cepat bosan. Pasti ada sesuatu dalam diri Renata, yang membuat Mas Kun begitu terikat padanya. Tapi aku yakin, ‘sesuatu’ itu bukan cinta.

Ah, ya … bagaimana kabar pelakor itu sekarang? Mengingat kemarin dia mengatakan bahwa komplotan yang mengejarnya hampir saja membunuhnya. Apakah kali ini dia selamat?

Tok! Tok! Tok!

Pintu diketuk, dan kemudian dibuka. Lexa datang dari arah sana, dengan senyum indah merekah di wajahnya.

Melihatnya, aku teringat waktu masa kuliah. Aku dan Lexa adalah teman dekat. Walau ia terlahir kaya dan aku terlahir miskin, namun nasibnya tak sebaik nasibku. Kami pernah menyukai lelaki yang sama yaitu Rendi, namun Rendi lebih memilihku daripada Lexa. Dalam hal jodoh, aku pun lebih beruntung darinya. Aku berkesempatan menjadi The Next Nyonya Hartadi, sementara dia masih bergantung pada harapan palsu teman kencannya. Jika dulu dia selalu tampil keren dengan barang serba branded, lihatlah sekarang … dia bahkan bekerja di bawah kepemimpinanku.

Memang, lebih baik terlahir beruntung daripada kaya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Tim poduksi sudah mulai kerja. Gue membuat beberapa desain untuk produk kita, dan mereka sudah bisa ngikutin arahan yang gue kasih. Walau masih ada beberapa karyawan yang ‘kurang’ kompeten, tapi secara keseluruhan it’s oke!” jawabnya.

“Good news!” jawabku. “Tapi gue yakin lo ke sini bukan untuk bicarain itu,” lanjutku, tatkala melihat dia meremas jari tangannya. Sebuah kondisi yang menunjukan kegelisahannya. Lexa selalu meremas jari tangan jika ada sesuatu mengganggu pikirannya 

Lexa mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Lo ingat waktu gue nelpon tadi malam?” bisinya di telingaku, aku mengangguk. “Gue lihat suami lo ngejar-ngejar Renata di Hotel Crown tadi malam,” lanjutnya.

“Maksud lo?!” tanyaku dengan sedikit membentak. Aku merasa tak perlu mendapatkan informasi apa-apa terkait bocah pelakor itu, walaupun ada sedikit rasa penasaran dalam benakki.

Lexa menutup mulutku dengan tangannya. Dia memintaku agar menurunkan volume suara. Sesuatu yang ‘gawat’ pasti telah dilihatnya semalam.

“Lo ngapain di sana?” lanjutku bertanya.

“Kebetulan gue lagi kencan sama Boy. Dan gue lihat mereka kejar-kejaran. Renata kayak ketakutan gitu. Lo ngerasa aneh gak, sih?” Lexa bertanya dengan ekspresi serius, kedua tangannya dilipat di dada dan dia menyandarkan pinggulnya ke meja kerjaku.

“Aneh apanya? Mereka kan pasangan selingkuh, mungkin lagi main kejar-kejaran kayak ABG,” jawabku ketus.

“Suami lo bawa pisau!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurul Fajar
lanjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status