Share

Sebuah Undangan

Menjauh dari Rudy tidaklah mudah apalagi kami tinggal di bawah atap yang sama. Walaupun fia berusaha menjaga jarak, kami tetap bertemu. Dia juga menghindari kontak mata denganku, tapi semua itu makin membuatku terpesona padanya.

2 hari setelah percakapan kami di pantai, aku melangkah memasuki dapur setelah memakan roti isi mentega kacangku dan kembali disambut oleh gadis setengah telanjang lain lagi. Rambutnya berantakan, dia adalah gadis yang cantik.

Gadis itu berbalik dan melihatku. Ekspresi terkejutnya dengan cepat berubah menjadi tidak suka. Dia berkacak pinggang, "Apakah kau baru saja keluar dari tempat penyimpanan?"

"Ya. Apakah kau baru saja turun dari tempat tidur Rudy?" Kataku. Itu keluar begitu saja dari mulutku sebelum aku dapat menghentikan diriku. Rudy sendiri sudah menegaskan bahwa kehidupan seksualnya sama sekali bukan urusanku. Aku seharusnya menutup mulutku.

Gadis itu menaikkan alisnya yang berbentuk sempurna kemudian senyum terlihat di bibirnya. "Tidak. Bukan berarti aku menolak naik ke tempat tidurnya, jika dia mengijinkan tapi jangan pernah beritahu Jafin." Dia mengibaskan tangannya seperti mengusir seekor lalat. "Lupakan, Jafin juga sepertinya sudah tahu."

Aku bingung. "Jadi kau baru turun dari tempat tidurnya Jafin?" Tanyaku. Itu bukan urusanku tapi Jafin tidak tinggal disini, aku jadi penasaran.

"Ya, atau lebih tepatnya tempat tidur lamanya."

"Tempat tidur lamanya?" 

Pergeakan di lorong membuat perhatianku teralihkan dan mataku menatap mata Rudy. Dia memperhatikanku dengan sebuah senyum sombong yang menghiasi bibirnya. Bagus. Dia mendengarku sedang mengorek informasi. Aku ingin membuang pandanganku dan berpura-pura tidak pernah bertanya apapun pada gadis itu. Tapi tatapan matanya memberitahuku bahwa itu tidak ada gunanya.

"Kumohon jangan biarkan aku menjadi penghalang, Aileen. Silahkan lanjutkan menginterogasi tamu Jafin. Aku yakin dia tidak keberatan." Kata Rudy dengan sengaja. Dia menyilangkan lengannya didada dan bersandar pada pintu seakan dia sangat merasa nyaman.

Aku menundukkan kepalaku dan berjalan ke arah tempat sampah untuk menyingkirkan remah roti dari jemariku. Aku tidak mau melanjutkan obrolan ini jika Rudy masih berdiri disana. Membuatku terlihat sangat tertarik padanya. Orang yang tidak dia inginkan ada di hidupnya.

"Selamat pagi Rudy, terima kasih sudah mengijinkan kami menginap disini semalam. Jafin minum terlalu banyak makanya tidak bisa mengemudi kembali ke rumahnya." Kata gadis itu.

Oh. Jadi begitu. Sial. kenapa aku membiarkan rasa ingin tahu  menguasai diriku?

"Jafin tahu dia punya kamar kalau dia ingin tinggal disini." Kata Rudy. Aku bisa melihat dengan menggunakan sudut mataku dia berjalan menjauh dari pintu menuju meja dapur. Menaruh perhatiannya padaku. Kenapa dia tidak melupakan hal ini? Aku ingin pergi diam-diam.

"Kalau begitu ku rasa aku akan kembali ke lantai atas." Suara gadis itu terdengar tidak yakin. Rudy tidak menjawab dan aku tidak menoleh untuk memandang salah satu dari mereka. Aku menunggu langkah gadis itu menaiki tangga sebelum aku berbalik memandang Rudy.

"Rasa ingin tahu bisa membuat seekor kucing terbunuh, Aileen yang manis." Bisik Rudy ketika dia berjalan kearahku. "Apakah tadi kau pikir aku punya teman tidur yang lain? Berusaha mencari tahu apakah dia berada di tempat tidurku semalaman?"

Aku tidak menjawab.

"Dengan siapa aku tidur itu bukan urusanmu. Bukankah kita pernah membicarakan ini sebelumnya?"

Aku mengangguk. Jika dia membiarkanku pergi aku tidak akan pernah berbicara lagi dengan gadis manapun yang datang ke rumah ini.

Rudy mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutku dengan jarinya. "Kau tidak akan mau mengenalku."

Jika dia tidak sangat mempesona dan berada tepat didepanku maka itu akan lebih mudah. Tapi semakin dia menolakku semakin aku tertarik padanya.

"Kau bukan seperti yang ku pikirkan. Walau aku berharap sebaliknya. Mungkin itu akan mempermudah segalanya." Katanya dengan suara rendah lalu berbalik dan berjalan menjauh. Ketika pintu mengarah ke teras belakang tertutup aku menghembuskan napas yang dari tadi kutahan.

Apa maksudnya? Apa yang dia harapkan?

Keesokkan harinya aku membuka mata dan melihat kearah jam alarm kecil. Sudah lewat dari pukul 9 pagi. Tidurku nyenyak. meregangkan tubuhku,aku meraih tombol dan menyalakan lampu. Aku sudah mengumpulkan lebih dari tiga juta rupiah minggu ini. Aku putuskan untuk mulai mencari apartemen hari ini. Aku menyisir rambut dengan jariku mencoba merapikannya sebelum aku keluar. Aku ingin berjemur sebentar di pantai pagi ini. Hari ini aku akan menikmati laut dan sinar matahari.

Aku menarik keluar koperku dari bawah tempat tidur dan mencari bikini pinkku. Jujur saja, jarang kugunakan. Dan ketika aku memakainya, aku tersadar kalau bikininya sudah agak kecil. Atau tubuhku telah berubah. Kukeluarkan sebuah tank top untuk menutupi bikini yang yang ku kenakan dan memakai sunscreen.

Aku mematikan lampu dan memasuki dapur. 

"Sial. Siapa dia?" Seorang pria remaja bertanya dengan terkejut ke arahku. Aku menatap sekilas pada orang asing yang terperangah itu, aku mengalihkan pandangan ke arah kulkas dimana Jafin sedang berdiri sambil tersenyum.

"Apakah kau keluar dari kamar dengan pakaian seperti itu setiap hari?" Tanya Jafin.

"Tidak. Biasanya aku memakai seragam kerja." Jawabku dan sebuah siulan pelan datang dari pria lainnya. Dia mungkin berusia 14 tahun.

"Jangan pedulian hormon yang sedang menguasai idiot itu. Dia Billi. Ibunya dan tante Diva adalah kakak beradik. jadi dia adalah adik sepupuku. Dia datang kemari tadi malam setelah kabur untuk ratusan kalinya dan Rudy menghubungiku untuk datang menjemputnya dan menyeretnya pantatnya pulang."

Rudy. kenapa dengan mendengar nama itu membuat jantungku berdegup lebih kencang? "Senang bertemu denganmu Billi. Aku Aileen. Rudy kasihan padaku dan mengijinkannku tinggal sampai aku dapat mencari tempat tinggalku sendiri."

"Hei, Kau bisa ikut pulang denganku. Aku tidak  akan membiarkanmu tidur di bawah tangga." Tawar Billi.

Aku tersenyum.  "Terima kasih. Tapi aku pikir ibumu tidak akan mengijinkannya. Aku tidak masalah tidur di bawah tangga dan aku tidak perlu tidur dengan pistolku."

 Jafin tertawa dan Billi melotot. "Kau punya pistol?" Billi bertanya dengan nada kagum.

"Sekarang kau telah mengatakannya. Sebaiknya aku membawanya pergi sebelum dia jatuh cinta lagi." Kata Jafin, dia brjalan ke arah pintu. "Ayo Billi sebelum aku membangunkan Rudy dan kau harus menghadapi amarahnya."

Billi menatap sekilas pada Jafin lalu kembali menatapku seakan dia terluka. sangat menggemaskan.

"SEKARANG, BILLI." Jafin memerintah.

"Jafin." Aku memnaggilnya.

"Ya?" Dia berbalik untuk memandangku.

"Terima kasih untuk bensinnya. Aku akan mengganti uangmu secepatnya."

Jafin menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Aku akan mersa tersinggung. tapi terima kasih kembali." Dia berkedip padaku.

Aku melambaikan tangan pada Billi dan aku akan mencari cara mengganti uangnya tanpa membuatnya tersinggung. Sekarang, aku punya rencana lain. Aku melangkahkan kaki ke pintu yang mengarah keluar. Inilah waktunya aku menikmati hariku.

Kubentangkan handuk yang kuambil dari kamar mandi. Aku harus mencucinya nanti malam. Pantainya sepi. Aku melepaskan tank top dan memejamkan mataku, membiarkan suara ombak ditepi pantai menyeretku untuk kembali tidur.

"Tolong katakan padaku kalau kau memakai sunscreen." Sebuah suara berat terdengar tidak asing. Aroma bersih sangat menggiurkan.

Membuka mataku, aku berkedip karena sinar matahari yang menyilaukan dan aku melihat Rudy yang sedang duduk disampingku. Matanya menatapku. "Kamu memakai sunscreen kan?"

Aku hanya mengangguk dan bangun untuk duduk.

"Bagus. Aku tidak suka melihat kulit mulusmu berubah menjadi pink."

Terdengar seperti sebuah pujian tapi aku tidak yakin mengucapkan terima kasih itu pantas. Dia terus menatapku. Aku melawan keinginanku untuk meraih tank top dan mengenakannya kembali.

"Kau tidak bekerja hari ini?" Akhirnya dia bertanya.

"Aku libur hari ini."

"Bagamana pekerjaanmu?"

Dia sedang bersikap baik. Setidaknya dia tidak menghindariku. Ada satu daya tarik yang menyeretku padanya yang tidak bisa kujelaskan. Semakin dia menjaga jarak semakin aku ingin mendekat. Dia memiringkan kepalanya dan menaikkan salah satu alisnya seolah sedang menantikan jawabanku.

Tunggu. Dia sedang bertanya padaku. "Baik. Aku menyukai pekerjaanku."

Rudy tersenyum. "Tentu saja."

Aku terdiam dan memikirkan komentarnya. "Apa maksudnya?"

Tatapan matanya turun mengamati tubuhkukemudian naik lagi. Sekarang kau menyesal karena tidak memakai kembali tank topku.

"Kau tahu bagaimana wajahmu,Aileen. Apalagi ketika kau tersenyum dengan manis, para pemain golf itu pasti memberikanmu banyak tip."

Dia benar mengenai uang tipnya. Dia juga membuatku merasa tidak enak karena memandangku seperti itu. Aku ingin dia menyukai apa yang dia lihat tapi kemudian aku takut dengan apa yang akan terjadi. Bagaimana jika dia mengubah keputusannya mengenai saling menjaga jarak? 

Kami duduk dalam diam selama beberapa saat. Aku yakin dia sedang memikirkan sesuatu. Rahangnya menegang dan ada garis kerutan yang terbentuk di dahinya.

"Sudah berapa lama ibumu meninggal?" Tanyanya sambil menatapku.

"36 hari yang lalu."

Dia terlihat tidak nyaman. "Apa ayahmu tahu kalau ibumu sakit?"

Pertanyaan lain yang tidak ingin aku jawab. "Ya. Ayahku tahu. Aku juga menghubunginya dihari ibuku meninggal. Dia tidak mengangkat telponnya. Aku hanya mengirimkan sebuah pesan." Kenyataan kalau ayahku tidak pernah membalas telponku terlalu sakit untuk kuakui.

"Apa kau membencinya?"

Aku ingin membencinya. Dia telah menyebabkan duka dalam hidupku sejak hari dimana saudara perempuanku meninggal. "Kadang-kadang."

Rudy mengangguk dan menjulurkan tangannya dan mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. Dia tidak berkata apapun. Satu koneksi kecil ini, entah kenapa sudah cukup mengatakan semuanya.

"Aku mengadakan sebuah pesta malam ini. Adikku Grizelle, berulang tahun. Aku selalu membuat pesta untuknya. Mungkin kau tidak terlalu bisa bergaul tapi kau diundang jika kau mau hadir."

Adiknya? Dia punya adik perempuan? Kupikir dia anak tunggal.

"Kau punya adik perempuan?"

Rudy mengangkat bahunya. "Ya."

"Jafin bilang, kau anak tunggal."

Rudy menegang. Kemudian menggelengkan kepalanya saat dia melepaskan jarinyadan berpaling untuk memandang ke laut.

"Jafin tidak punya hak untuk bercerita tentangku." Rudy berdiri dan memandangku lagi.

Aku mempunyai firasat ada sesuatu tentang Grizelle. Dan aku seharusnya menjadi orang yang tidak perlu tahu urusan orang lain. Aku berdiri dan berjalan menjuru air laut. Aku membutuhkan sesuatu untuk menyingkirkan Rudy dari benakku. Setiap kali aku merasa nyaman berada disekitarnya, dia mengingatkanku alasan mengapa aku harus tetap diam ditempat. Pria yang aneh. Seksi, tampan, sombong dan menggiurkan tapi aneh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status