Keira melangkah masuk ke ruang wawancara dengan penuh percaya diri. Namun, di balik ketenangannya, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah membayangkan seperti apa reaksi pria itu nanti saat melihatnya. Namun, tetap saja… reaksi Andre di luar dugaannya.
Saat pintu terbuka dan Keira melangkah masuk, pria itu membeku. Sekian detik, ia menatap Keira tanpa kata. Bagi Keira, kejutan yang diberikannya pasti telah menghantam Andre begitu keras hingga ia lupa bernapas. Satu poin menuju keberhasilan rencananya telah dimulai. Keira tidak tersenyum lebar, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seolah ia tidak sadar betapa mendidihnya kemarahan di mata Andre saat ini. Oh, tapi dia sadar. Sangat sadar. Di bawah meja, jemari Keira saling bertaut erat, berusaha menahan getaran samar yang mungkin saja terlihat. Namun, di permukaan, ia tetap tampil sempurna—anggun, percaya diri, dan seolah-olah tidak ada satu hal pun yang mengganggunya. Sebaliknya, Andre? Rahang pria itu mengeras. Matanya tidak lagi hanya menampilkan keterkejutan, tapi juga sesuatu yang lebih tajam. Keira melihat sekilas cara Andre menekan lidahnya ke langit-langit mulut, ekspresi yang sama seperti malam itu—saat pria itu berusaha mengendalikan emosinya. Lucu. Sepertinya Andre tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Pria itu akhirnya bersandar ke kursinya, menautkan jemarinya di atas meja, seolah sedang menilai sesuatu yang tak berharga. "Silakan duduk," suara Andre terdengar datar, tapi Keira menangkap ketegangan di baliknya. Keira duduk tanpa ragu, menyilangkan kakinya dengan anggun. Tatapannya tak lari sedikit pun dari pria di hadapannya. Ia tahu Andre ingin mengintimidasinya, tapi itu tidak akan berhasil. "Jadi, kamu melamar posisi sekretaris, ya." Andre membuka berkas lamaran tanpa benar-benar melihatnya. Keira sudah menduga permainan ini. Dia tahu Andre akan mencoba membuatnya goyah. Tapi sayangnya, dia bukan gadis yang mudah digertak. "Saya memiliki pengalaman sebagai asisten manajer di perusahaan sebelumnya," jawab Keira dengan tenang. "Saya terbiasa menangani jadwal, rapat penting, serta koordinasi antar divisi." Andre menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan. "Menarik. Tapi aku punya pertanyaan lain." Tatapannya mengeras. "Apa kamu selalu menggunakan metode yang sama untuk mendapatkan pekerjaan?" Darah Keira berdesir, tapi ekspresinya tetap tak berubah. Ia hanya menaikkan alis sedikit, menunjukkan kebingungan yang dibuat-buat. "Saya tidak mengerti maksud Anda." Andre terkekeh pendek, tanpa humor. Keira tidak perlu menebak ke mana arah pembicaraan ini akan berjalan. Dia sudah tahu. Andre menggeser pandangannya ke arahnya dengan sorot mata yang lebih tajam. "Jangan pura-pura bodoh, Keira. Kamu pikir aku tak bisa melihat maksud sebenarnya?" Maksud sebenarnya? Keira nyaris ingin tertawa. Pria ini sungguh percaya diri. Sungguh percaya diri hingga berpikir bahwa semua yang terjadi berpusat padanya. Padahal, jika Andre tahu alasan sebenarnya kenapa Keira ada di sini… "Tuan Andre, saya melamar pekerjaan ini karena saya memenuhi kualifikasi," jawab Keira dengan tenang, tanpa sedikit pun membiarkan emosinya merembes keluar. Bohong. Andre pasti tahu itu bohong. Tapi Keira juga tahu satu hal tentang pria ini: dia tidak akan membuat keputusan tanpa bukti. Dan selama Keira tidak memberikan celah, Andre hanya bisa berspekulasi. "Kamu datang ke hotelku, menghabiskan malam denganku, lalu muncul di sini melamar pekerjaan?" Andre mendekat sedikit, tatapannya tak lepas dari wajahnya. "Apa kamu berharap aku langsung menerimamu bekerja denganku?" Keira menahan napas sesaat, lalu mengangkat dagunya sedikit. "Saya tidak pernah berniat seperti itu," balasnya tanpa ragu. "Saya hanya mencari pekerjaan." "Benarkah?" Keira tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu, membiarkan kesunyian yang menggantung di antara mereka menekan suasana. Keira tahu sejak awal bahwa malam itu akan menjadi bagian dari rencananya. Setiap langkah yang ia ambil telah diperhitungkan dengan hati-hati—dari cara ia bertemu Andre di bar hotel, hingga bagaimana ia membiarkan pria itu membawanya ke kamar. Namun, apa yang tidak ia perhitungkan adalah bagaimana tatapan Andre malam itu terus menghantuinya. Bagaimana sentuhan pria itu membekas di kulitnya lebih lama dari yang seharusnya. Keira bisa melihatnya dengan jelas—cara Andre berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, seolah pertemuan ini tidak mengusiknya. Tapi Keira tahu lebih baik. Ia bisa melihat ketegangan di rahang pria itu, bagaimana jemarinya mengepal di atas meja, bagaimana sorot matanya sedikit menggelap setiap kali menatapnya. Keira tahu apa yang berputar di benak Andre saat ini. Malam itu. Ingatan itu pasti menghantamnya dengan keras. Napas Andre yang menggebu-gebu di lehernya, tangan pria itu yang menelusuri setiap inci kulitnya, seolah ingin menghafal bentuk tubuhnya dalam genggamannya. Saling bertaut dalam kehangatan yang deras dan terburu-buru, seakan dunia di sekitar mereka menghilang. Euforia itu masih melekat di benaknya—bagaimana tubuh mereka bersatu dalam ritme yang seakan sudah tertulis sejak lama. Desakan yang liar, ciuman yang rakus, panas yang menjalar dan memenuhi setiap celah yang ada di antara mereka. Keira tidak bisa menyangkal bahwa ia juga merasakannya saat itu. Kenikmatan yang intens, begitu dalam hingga nyaris menyesakkan. Tapi saat fajar menyingsing, ia pergi. Ia meninggalkan Andre yang masih terlelap, tubuh pria itu bersandar di ranjang dengan napas yang belum sepenuhnya stabil. Keira hanya menatapnya sesaat—sebuah momen singkat di mana pikirannya nyaris goyah—sebelum ia mengenakan kembali pakaiannya dan menghilang sebelum pagi benar-benar datang. Dan sekarang, saat ia duduk di depan pria yang sama, di ruangan yang jauh lebih terang dan formal daripada kamar hotel itu, Keira bisa merasakan hawa panas yang berbeda menyelimuti mereka. Ia tidak perlu melihat ke dalam mata Andre untuk tahu bahwa pria itu mengingat malam itu. Ia bisa merasakannya dari cara rahang Andre mengeras, dari cara pria itu menyandarkan tubuhnya dengan ekspresi menilai—seolah berusaha mencari celah dalam pertahanannya. Seolah Andre sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya sejak Keira melangkah masuk. "Jadi, setelah malam itu, kamu ingin aku percaya bahwa semua ini hanya kebetulan?" Andre mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya mengunci milik Keira. "Bahwa setelah malam itu, kamu memilih perusahaanku tanpa alasan lain?" Keira menautkan jemarinya di depan tubuhnya, suaranya tetap tenang. "Saya hanya mencari pekerjaan, Pak. Tidak lebih." Andre terkekeh pelan, tapi Keira bisa melihat sorot ketidakpercayaan di matanya. "Lucu sekali," gumamnya. "Biasanya orang yang ingin bekerja dengan saya datang dengan sikap penuh hormat dan rendah hati. Tapi kamu?" Andre menyipitkan mata. "Kamu bahkan tidak terlihat gentar." Keira tetap diam. Seharusnya Andre tahu bahwa mencoba menekannya bukanlah langkah yang tepat. "Kalau begitu," Andre melanjutkan, "katakan padaku satu hal." Ia bersandar ke kursinya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Keira?" Keira tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. Andre pasti berpikir bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan dia benar. Tapi apa yang Andre tidak tahu adalah… Keira tidak datang untuknya. Keira datang untuk balas dendam. Bukan untuk seseorang, karena ia bahkan tidak tahu siapa yang telah merenggut nyawa ayahnya. Yang ia tahu hanyalah satu hal—kematian ayahnya bukan kecelakaan. Ayahnya adalah pria jujur yang tidak pernah bermain curang, seorang pekerja keras yang hanya ingin kehidupan yang layak untuk keluarganya. Tapi dunia bisnis yang kejam tidak memberi ruang bagi orang seperti itu. Ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat, atau mungkin mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Dan untuk itu, ia harus disingkirkan. Keira telah menghabiskan bertahun-tahun mencari jawaban. Semua jejak mengarah ke satu tempat—perusahaan ini. Tempat di mana ayahnya menghabiskan sebagian besar hidupnya. Masuk ke perusahaan ini bukan sekadar mencari pekerjaan. Ini adalah langkah pertamanya menuju kebenaran. Menuju pembalasan. Ia datang untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Dan ketika ia menemukannya… ia akan memastikan orang itu membayar harga yang setimpal. Ia hanya tersenyum tipis. “Saya hanya ingin bekerja, Tuan Andre. Itu saja.” Andre mengamatinya lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku akan memberikan keputusanku nanti. Cukup untuk hari ini." Keira mengangguk sopan sebelum berdiri. "Terima kasih atas kesempatannya." Saat ia melangkah keluar dari ruangan itu, ia tahu satu hal: Pertemuan ini adalah awal dari rencana yang lebih besar. To be continued…Keira menatapnya sejenak sebelum akhirnya duduk. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Gunawan?”Gunawan menyunggingkan senyum tipis. “Langsung saja ya. Saya ini orang yang tak suka membuang waktu. Saya tahu Andre telah mempekerjakanmu sebagai sekretarisnya.”Keira tidak menjawab, hanya mengangguk.“Anakku itu keras kepala. Tapi tetap saja, saya punya hak untuk tahu apa yang terjadi dengannya. Terutama jika menyangkut seseorang sepertimu.” Gunawan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya perlahan di atas meja.Keira melirik amplop itu. Ia mengira ini hanya pertemuan formal antara atasan dan bawahan.Gunawan menggesernya ke arah Keira. “Buka.”Dengan ragu, Keira meraih amplop itu, menarik napas, dan membukanya. Tangannya gemetar saat melihat isinya—foto-foto dari malam itu. Bukan sembarang foto. Malam di hotel. Dirinya dan Andre. Wajah Andre yang setengah tersembunyi, namun jelas baginya. Juga tubuhnya sendiri, dalam berbagai pose memalukan, terlihat seperti wan
Di tempat lain, Keira berdiri di roof top kantor, tangannya mencengkeram pagar besi hingga ujung jari-jarinya memutih. Malam berembus dingin, tetapi yang membakar dalam dirinya bukanlah suhu udara. Melainkan amarah yang mendidih pelan di dalam hatinya. Hari ini, ia kembali diingatkan akan sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Dendam itu.Nama Aditya Dihardja keluar dari mulut para direktur dengan nada sesal yang hampa. Seolah mereka benar-benar menyayangkan kepergiannya. Tapi di mana mereka saat ayahnya dihancurkan? Keira mengepalkan rahangnya. Mereka tidak melakukan apa pun. Mereka hanya berdiri di pinggir lapangan, membiarkan seorang pria yang begitu berdedikasi untuk perusahaan ini jatuh tanpa perlawanan. Dan kini, mereka menyebut namanya dengan nada nostalgia?Keira memejamkan mata. Dan saat ia melakukannya, memori itu kembali menyeruak.Dinginnya lantai rumah sakit menembus sepatu hitamnya yang sedikit longgar. Seragam sekolahnya basah oleh keringat, bercampur debu y
Ayah Keira, Aditya Dihardja, dulu adalah seorang eksekutif berbakat yang bekerja di bawah kepemimpinan ayah Andre, Gunawan Ravindra. Aditya adalah tangan kanan yang selalu setia, seorang pria yang mengabdi sepenuhnya pada perusahaan. Namun, sepuluh tahun lalu, sebuah skandal menghancurkan segalanya.Aditya dituduh melakukan penggelapan dana perusahaan. Tuduhan itu menghancurkan reputasinya. Ia dipecat tanpa kesempatan membela diri, dan beberapa bulan kemudian, ia meninggal dalam kecelakaan yang mencurigakan.Keluarga Dihardja hancur.Keira, yang saat itu masih remaja, melihat ibunya jatuh dalam kesedihan dan keputusasaan. Kehidupan mereka berubah drastis. Mereka kehilangan rumah, harta, dan yang paling penting—kehormatan.Tapi Keira tidak percaya ayahnya bersalah. Ia yakin bahwa seseorang telah menjebak ayahnya. Dan orang yang paling diuntungkan dari kejatuhan Aditya Dihardja adalah keluarga Ravindra.Dari situlah dendamnya tumbuh dan menjadi satu-satunya alasan mengapa ia begitu gigi
Andre Ravindra bukan pria biasa. Ia tumbuh dalam lingkungan yang keras—di bawah didikan seorang ayah yang menuntut kesempurnaan dan seorang kakek yang membangun kerajaan bisnis dengan tangan besi. Sejak kecil, Andre diajarkan satu hal: kelemahan adalah kehancuran.Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dan dalam dunia ini, hanya ada dua jenis manusia—yang mengendalikan, dan yang dikendalikan. Orang-orang lemah akan tersingkir. Begitulah dunia bekerja. Tapi sekarang… ada satu masalah.Wanita itu. Keira Mahendra.Setelah wawancara itu berakhir, Andre tidak bisa menghilangkan pikirannya tentang Keira. Dari sekian banyak perusahaan besar, kenapa harus perusahaannya? Kenapa Keira begitu ngotot ingin menjadi sekretarisnya? Kenapa dia tidak gentar sedikit pun, bahkan ketika Andre berusaha menekannya?Semakin Andre memikirkannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melirik kembali berkas di tangannya. CV Keira memang impresif. Tapi Keira tidak terlihat seperti wanita
Keira melangkah masuk ke ruang wawancara dengan penuh percaya diri. Namun, di balik ketenangannya, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah membayangkan seperti apa reaksi pria itu nanti saat melihatnya. Namun, tetap saja… reaksi Andre di luar dugaannya. Saat pintu terbuka dan Keira melangkah masuk, pria itu membeku. Sekian detik, ia menatap Keira tanpa kata. Bagi Keira, kejutan yang diberikannya pasti telah menghantam Andre begitu keras hingga ia lupa bernapas. Satu poin menuju keberhasilan rencananya telah dimulai. Keira tidak tersenyum lebar, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seolah ia tidak sadar betapa mendidihnya kemarahan di mata Andre saat ini. Oh, tapi dia sadar. Sangat sadar. Di bawah meja, jemari Keira saling bertaut erat, berusaha menahan getaran samar yang mungkin saja terlihat. Namun, di permukaan, ia tetap tampil sempurna—anggun, percaya diri, dan seolah-olah tidak ada satu hal pun yang mengganggunya. Sebalikny