Keira berdiri mematung di depan gerbang rumah Gunawan sampai langkahnya mulai terasa beku. Angin malam menusuk kulitnya, tapi rasa dingin di dadanya jauh lebih menyakitkan. Kata-kata Andre berulang kali terputar di kepalanya—kasar, dingin, menghancurkan.
Namun di tengah keterpurukan itu, ada satu hal yang justru membuat napasnya mulai stabil. Kemarahan. Kemarahan yang dulu membuatnya menyiapkan rencana balas dendam. Kemarahan yang bertahun-tahun ia pelihara seperti bara kecil di dalam hati. Bara itu kini menyala lagi, lebih panas, lebih tajam. Keira menarik napas panjang, lalu berbalik, berjalan menjauh dari rumah itu. Langkahnya mantap meski tubuhnya masih bergetar. Saat ia sampai di jalan setapak yang sepi, ia merogoh ponselnya, membuka daftar kontak, lalu berhenti di satu nama—seseorang yang selama ini jadi “bayangan” di balik rencananya. Ia menekan tombol panggil. Nada tunggu hanya berbunyi sekali sebelum suara dalam yang familiar terdengar. “Akhirnya kamu menghubungiku.” Keira menutup mata, mencoba menahan emosi. “Aku butuh bantuanmu.” — Lampu kristal di ballroom Grand Meridian memantulkan cahaya keemasan, menari di atas gaun-gaun mahal dan jas-jas rapi. Musik jazz mengalun lembut di sudut ruangan, bercampur dengan obrolan bisnis yang penuh basa-basi dan rencana yang terselubung. Keira melangkah masuk, gaun hitamnya membungkus tubuhnya dengan elegan, rambutnya disanggul sederhana namun menonjolkan garis lehernya. Sepasang mata cokelatnya menyapu ruangan, menemukan sosok yang ia cari—Andre Ravindra. Dia berdiri di dekat meja VIP, berbicara dengan dua pengusaha senior dan seorang pejabat pemerintah. Garis rahangnya tegas, senyum tipisnya terlatih untuk diplomasi, dan matanya... fokus, dingin, memindai setiap kata lawan bicara. Keira tidak langsung mendekat. Ia tahu permainan ini butuh presisi. Ia biarkan Andre berbicara, sesekali membiarkan pandangannya “tak sengaja” bertemu dengannya dari kejauhan. Andre melihatnya. Alisnya sedikit berkerut, jelas terkejut, tapi ia menutupi reaksi itu dengan cepat. Keira hanya membalas dengan anggukan sopan, seolah mereka hanyalah kenalan biasa yang kebetulan hadir di acara yang sama. Andre sedang memaparkan sudut pandangnya kepada pejabat itu, namun satu pertanyaan datang seperti pukulan telak. “Pak Andre,” suara pria paruh baya di hadapannya terdengar santai namun menusuk, “kami sudah mendengar tawaran dari kompetitor Anda. Mereka tak hanya menawarkan harga lebih rendah, tapi juga akses jaringan yang lebih luas. Apa jaminan Anda bisa menandingi itu?” Sejenak, tatapan Andre membeku. Ia tahu jawabannya, tapi tidak bisa mengatakannya tanpa membocorkan strategi yang belum final. Keraguan sepersekian detik itu cukup untuk membuat lawan bicara tersenyum tipis, seperti telah menemukan celah. Dari seberang ruangan, Keira memperhatikan. Dia mengenali bahasa tubuh Andre — bahunya sedikit menegang, jemari kirinya mengetuk gelas tak sadar. Andre jarang kehilangan pijakan, dan saat ia melakukannya… situasi bisa berbalik cepat. Keira meneguk sedikit sampanye, lalu melangkah anggun menuju kelompok itu. “Maaf saya menyela,” suaranya hangat namun mantap. Semua kepala menoleh padanya. Ia tersenyum pada pejabat tadi. “Saya kebetulan mendengar sedikit percakapan Anda, dan saya rasa ada perspektif yang mungkin menarik.” Andre menatapnya sekilas — ada keterkejutan sekaligus peringatan di matanya. Keira melanjutkan, “Terkadang, harga memang penting. Tapi kita bicara tentang proyek yang melibatkan kepercayaan dan hubungan jangka panjang. Tidak semua jaringan luas itu relevan jika tidak dibangun dengan dasar yang tepat. Dan Pak Andre… adalah orang yang membangun hubungan bukan hanya untuk kontrak satu tahun, tapi untuk dekade ke depan.” Nada suaranya rendah, meyakinkan, dan entah bagaimana, membuat kata-katanya terasa lebih personal daripada formal. Pejabat itu terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan, tatapannya berubah menjadi penuh minat. Andre memanfaatkan momen itu, menambahkan poin-poin teknis dengan lancar — tapi ia tahu, ia hanya bisa kembali mengendalikan situasi karena Keira telah memecah ketegangan. Ketika diskusi selesai, Keira berpamitan dengan senyum sopan dan berbalik. Andre menahan lengannya sebentar. “Apa yang kamu lakukan?” suaranya rendah, nyaris seperti teguran. Keira menatapnya, bibirnya melengkung. “Menyelamatkanmu… lagi.” Andre melepaskan genggaman pelan, tapi tubuhnya tetap condong ke arahnya. Tatapannya menusuk, dingin namun menyimpan bara. “Aku tidak butuh diselamatkan,” ucapnya datar, nada suaranya sarat gengsi. “Apalagi… olehmu.” Keira mengangkat alis, masih mempertahankan senyum tipisnya. “Oh, begitu? Lucu. Karena dari sudut pandangku, kamu tadi nyaris kehilangan kendali.” Andre menyipitkan mata. “Aku tahu persis bagaimana mengatasinya. Kamu hanya membuat dirimu terlihat penting.” Keira terkekeh pelan, langkahnya sedikit maju, jarak mereka kini cukup dekat untuk membuat Andre merasakan aroma parfum lembutnya. “Kalau begitu, lain kali biarkan aku menontonmu tenggelam… perlahan. Aku janji tidak akan mengganggu.” Andre terdiam sepersekian detik, rahangnya mengeras. “Kamu selalu suka memutarbalikkan situasi.” “Bukan memutarbalikkan,” Keira membalas lembut, “hanya menunjukan fakta yang tidak kamu mau akui.” Andre mencoba menahan diri, tapi tatapan Keira membuatnya sulit berpaling. Dia tahu wanita ini tak hanya menggoyahkan egonya… tapi juga memegang kunci yang bisa membuatnya menang dalam tender ini. Hening yang menggantung di antara mereka pecah ketika Andre akhirnya mengembuskan napas berat. “Baiklah.” Suaranya terdengar seperti pria yang baru saja menelan harga dirinya. “Apa maumu?” tanyanya, kali ini lebih pelan, tapi jelas-jelas menyerah pada permainan Keira. Keira menatapnya lama, seakan menimbang-nimbang seberapa jauh ia bisa mendorongnya sebelum tali ini putus. Lalu bibirnya melengkung lebih lebar. “Kita mulai dari satu syarat kecil...” To be continued…“Aku mencoba melindungimu,” kata Andre akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir berbisik. Keira tertawa dingin. “Melindungi saya? Saya tidak butuh perlindungan Anda. Yang saya butuhkan adalah Anda berhenti memperlakukan saya seperti saya ini masalah.” Andre menghela napas panjang, berusaha menguasai dirinya. “Keira, aku hanya ingin memastikan ini tidak akan merusak pekerjaan kita. Itu saja.” Keira menggeleng, melangkah mundur dengan tatapan penuh kekecewaan. “Jangan bawa-bawa aturan atau posisi Anda, Tuan. Anda takut kehilangan kendali, itu saja. Masalahnya bukan pada saya, Tuan Ravindra, tapi tentang Anda yang tidak bisa menghadapi apa yang Anda rasakan.” Andre tidak menjawab. Hanya ada keheningan di antara mereka, diisi oleh ketegangan yang tak terlihat. Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan ini. “Kalau itu saja yang Anda ingin bicarakan, saya pikir pembicaraan ini s
Keesokan paginya, tepat jam 9, Keira dan tim terkait pelaksanaan proyek berkumpul di ruang rapat untuk melakukan pembahasan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan. Di dalam ruangan rapat, suasana tegang terasa menyelimuti. Andre duduk di ujung meja, tetapi tatapan matanya seolah menyiratkan bahwa dia merindukan kehadiran Keira. Keira berusaha fokus pada agenda, tetapi hatinya masih terikat pada kata-kata Andre sebelumnya.Rapat itu berlangsung tegang. Andre memimpin diskusi dengan nada dingin dan tegas, tak memberikan celah bagi siapa pun untuk menyimpang dari topik. Namun, saat giliran Keira mempresentasikan ide, ia tampak sengaja mempermasalahkan setiap poin yang Keira sampaikan. “Ide yang bagus, tetapi kita perlu mempertimbangkan faktor risiko dengan lebih serius,” katanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Keira merasa sakit hati. “Tuan Ravindra, saya mengerti bahwa kita perlu berhati-hati, tetapi kita juga perlu mengambi
Di sisi lain, Keira juga masih terjaga di apartemennya. Pikirannya berputar tentang momen indah dansa dengan Andre yang berakhir pahit, tentang kalimat tajamn dan sikap dinginnya Andre. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada misinya, ketegangan yang membara di antara mereka tidak dapat diabaikan. Keesokan harinya, Keira mencoba mengabaikan insiden di gala tersebut dan fokus pada pekerjaannya. Namun, pesan-pesan dari nomor anonim yang terus masuk membuat pikirannya semakin kacau. “Kamu sudah terlalu terlibat. Ingat, misimu lebih penting daripada perasaanmu." Keira menghela napas panjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Apa yang sedang kulakukan? Aku tidak boleh kehilangan arah. Tetapi setiap kali dia mencoba memfokuskan dirinya pada tugasnya, bayangan Andre selalu hadir, mengacaukan semuanya. Beberapa hari berlalu, dan Keira berusaha untuk mengalihkan fokusnya pada pekerjaan. Namun, suasana di kantor terasa lebih berat
Malam gala tiba, dan Keira mengenakan gaun merah yang ketat dan menawan, yang menggoda tanpa mengurangi kelas. Setiap langkahnya di atas karpet merah menarik perhatian banyak orang. Keira merasakan semua mata tertuju padanya, tetapi yang paling penting, dia mencari sosok Andre. Ketika dia akhirnya melihatnya, Andre berada di tengah kerumunan, dikelilingi oleh kolega dan investor. Dia tampak luar biasa dalam setelan hitamnya, dan aura karismatiknya membuat Keira terpesona. Ketika mata mereka bertemu, ada momen keheningan di antara mereka yang hanya bisa mereka rasakan. Keira mengambil napas dalam-dalam dan mendekati Andre, yang langsung menyadari kedatangannya. “Kamu datang,” kata Andre, senyumnya membuat jantung Keira berdebar. “Terima kasih atas undangannya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini,” jawab Keira, berusaha menjaga suara dan sikapnya tetap tenang. Mereka berbincang-bincang dengan ringan ditemani dengan gelas anggur ya
Suasana kantor Ravindra Group masih tegang. Desas-desus kecurangan mulai menyebar: laporan gudang cabang Surabaya diduga dimanipulasi. Berita itu bergerak cepat seperti api yang disiram bensin, menyusup ke telinga para manajer, bahkan direksi.Andre menatap layar laptop dengan ekspresi keras. Beberapa lembar laporan fisik berantakan di mejanya. “Kalau benar ada selisih sebesar ini, media akan mencium baunya. Dan kalau itu terjadi, Gunawan hanya tinggal duduk manis sambil menyaksikan kita jatuh.”Keira berdiri di seberangnya, kedua tangannya bersedekap. “Aku sudah memeriksa sekilas. Selisih ini terlalu rapi, Andre. Terlalu presisi. Seolah-olah sengaja diciptakan untuk terlihat mencurigakan.”Andre menegakkan tubuh, sorot matanya menajam. “Kamu bilang… jebakan?”Keira mengangguk. “Ya. Dan kita tidak boleh terpancing. Kalau kita bereaksi gegabah, mereka menang. Tapi kalau kita bisa menemukan bukti bahwa ada tangan luar yang bermain, ini akan berbalik jadi bume
Langit Jakarta malam itu mendung, hujan tipis menetes di jendela kaca Ravindra Group. Keira masih berdiri di dekat jendela, sorot matanya kosong menatap cahaya kota yang berkilau samar. Kata-kata Andre beberapa jam lalu masih menggema di kepalanya—“buktikan kalau kau di pihakku.”Bukan sekadar permintaan. Itu ujian. Dan Keira tahu, ujian ini bisa menentukan hidup dan matinya. Keesokan paginya, suasana kantor Ravindra Group semakin berat. Seperti udara yang dipenuhi kabut tak kasat mata, membuat semua orang melangkah hati-hati. Tatapan para karyawan jatuh pada Keira setiap kali ia melewati lorong. Ada rasa ingin tahu, ada curiga, dan ada juga ketakutan.Keira berusaha menjaga langkahnya tetap tenang. Mereka menunggu aku salah langkah, pikirnya. Sekali saja aku goyah, mereka akan menjadikannya alasan untuk menjatuhkan.Di ruang rapat kecil, Andre duduk dengan tim manajemen. Keira ikut hadir, menempatkan diri di sudut meja dengan catatan di tangannya. Pe