Keira menatapnya sejenak sebelum akhirnya duduk. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Gunawan?”
Gunawan menyunggingkan senyum tipis. “Langsung saja ya. Saya ini orang yang tak suka membuang waktu. Saya tahu Andre telah mempekerjakanmu sebagai sekretarisnya.” Keira tidak menjawab, hanya mengangguk. “Anakku itu keras kepala. Tapi tetap saja, saya punya hak untuk tahu apa yang terjadi dengannya. Terutama jika menyangkut seseorang sepertimu.” Gunawan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya perlahan di atas meja. Keira melirik amplop itu. Ia mengira ini hanya pertemuan formal antara atasan dan bawahan. Gunawan menggesernya ke arah Keira. “Buka.” Dengan ragu, Keira meraih amplop itu, menarik napas, dan membukanya. Tangannya gemetar saat melihat isinya—foto-foto dari malam itu. Bukan sembarang foto. Malam di hotel. Dirinya dan Andre. Wajah Andre yang setengah tersembunyi, namun jelas baginya. Juga tubuhnya sendiri, dalam berbagai pose memalukan, terlihat seperti wanita simpanan. Keira yang terengah di bawah Andre. Keira yang menggenggam pundaknya. Gambar-gambar itu buram tapi cukup jelas untuk membuat darahnya berhenti mengalir. “Apa maksud semua ini…?” bisiknya. “Saya tahu wanita seperti apa kamu sebenarnya,” kata Gunawan, tenang namun dingin. “Kamu pikir saya akan membiarkan seseorang dengan masa lalu abu-abu mendekati anakku?” “Saya tidak mengerti maksud Anda—” “Tidak usah berbohong padaku, Nona..” Gunawan berdiri, berjalan ke sisi ruangan, lalu kembali dengan sebuah kotak beludru merah. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan barisan perhiasan mewah—kalung berlian, cincin, gelang. Tapi yang membuat Keira terkesiap adalah lapisan bawah kotak itu yang ternyata penuh dengan lembaran uang tunai yang tersusun rapi. “Ambil ini,” ujar Gunawan, tatapannya menusuk. “Anggap saja ini... kompensasi. Sebagai balas jasa karena kamu akan membantuku mengawasi Andre. Laporkan semua kegiatannya. Semua pertemuan. Siapa yang ia hubungi. Saya ingin tahu segalanya.” Keira berdiri dengan cepat, wajahnya memerah antara marah dan malu. “Anda pikir saya orang yang mau melakukan hal seperti itu?” “Semua orang punya harga. Jangan naif. Kamu sudah tidur dengannya, Keira. Kamu sudah masuk terlalu dalam. Sekarang pilihannya tinggal satu: manfaatkan posisimu... atau hilang dari hidup Andre sebelum kamu menghancurkan segalanya.” Keira menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, namun bukan karena lemah. “Saya mungkin bukan wanita yang baik apalagi suci di mata Anda, tapi jangan pikir saya akan menjual harga diri saya hanya demi uang Anda.” Gunawan mendekat, berdiri hanya beberapa inci darinya. “Kamu pikir saya percaya kamu ada di hidup Andre karena cinta? Jangan menipu dirimu sendiri. Kamu hanya ingin balas dendam. Atau kekuasaan. Atau uang. Tapi percaya padaku, Nona. Saya lebih berbahaya dari Andre.” Mata Keira membelalak. Tepat saat itu, suara pintu depan terdengar dibuka keras. Langkah kaki mendekat. Lalu—Andre muncul di ambang pintu ruang kerja. Andre berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin dan tidak percaya. Pandangannya bergantian antara Keira yang masih berdiri dengan napas memburu, dan Gunawan, ayah yang sudah lama tidak ia kunjungi—dan yang tak pernah ia percayai. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya tajam. Keira membeku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi tidak ada suara yang keluar. Gunawan tersenyum, melangkah tenang ke arah anaknya. “Andre. Sudah lama kamu tak mampir. Keira hanya—” “Jangan.” Andre mengangkat tangan, menghentikan ayahnya bicara. “Jangan coba-coba menjawab. Aku tanya Keira, bukan papa.” Dengan sigap, Andre menarik tangan Keira dan menyeretnya menjauh dari tempat itu. Napasnya memburu, langkahnya panjang-panjang, seolah ingin melarikan diri dari sesuatu yang menjijikkan. Keira tergagap, mencoba menjelaskan, “Tuan Andre, Anda tidak perlu khawatir. Saya—” Namun, begitu mereka sampai di luar, Andre melepas tangannya dengan kasar. Bukan sekadar melepas, tapi seperti melemparnya menjauh, membuat Keira terhuyung. “Kamu pikir aku bodoh?” potong Andre, matanya membakar. “Kamu di sini, bersama pria yang paling aku hindari dalam hidupku, dan kamu bahkan tidak memberi tahu aku?” “Bukan seperti itu,” desis Keira, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Saya dipanggil ke sini. Dia—” “Dan kamu datang?” Andre tertawa pendek, sinis. “Tanpa berpikir dua kali, kamu datang ke rumah orang yang paling kubenci. Duduk di ruangannya. Menerima... apa itu?” Otaknya kembali memutar kotak beludru di atas meja. “Sogokan?” Keira menatap kotak itu dan buru-buru menggeleng. “Saya tidak menerimanya!” “Tapi kamu diam saja! Bahkan sampai aku datang, kamu tidak berusaha menjauh darinya!” Andre maju selangkah, suaranya meninggi. “Sial, Keira! Selama ini aku mencoba percaya padamu. Tapi ternyata benar... kamu hanya peduli pada satu hal. Uang!” “Itu harga dirimu?” tanyanya sinis. “Satu malam dengan pria yang membencimu, lalu satu kotak perhiasan dan setumpuk uang dari pria yang membenciku?” Keira menggeleng. “Bukan seperti itu... saya tidak—” “Cukup!” bentak Andre. “Aku muak.” Ia menarik napas, matanya gelap. “Kamu dipecat, Keira. Keluar dari hidupku. Dan kalau suatu hari kita bertemu lagi—anggap saja aku tak pernah mengenalmu. Anggap saja malam itu hanya kesalahan satu malam yang memalukan.” Kata-kata itu menghantam Keira lebih keras dari tamparan mana pun. Ia terdiam, tidak percaya. “Anda... memecatku?” Andre mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Keira. Tatapannya menusuk, namun ada bayangan luka dalam sorot matanya yang membuat Keira nyaris menangis. “Jadi... anda benar-benar tidak percaya padaku?” suara Keira bergetar. “Percaya?” Andre tertawa getir. “Setelah malam itu, aku bahkan mencoba mengabaikan semuanya. Tapi ternyata... kamu baru saja menegaskan semuanya. Tentang siapa dirimu sebenarnya.” Andre berbalik, melangkah menuju mobilnya, lalu berhenti sejenak. “Kamu boleh ambil semua yang kamu dapat dari dia. Tapi jangan pernah muncul lagi dalam hidupku.” Ia menoleh sekali lagi, tatapannya dingin seperti es, lalu melemparkan kalimat terakhir seperti pisau yang menghujam dada Keira. “Dan semoga uangnya cukup untuk membayar sisa harga dirimu.” Keira berdiri mematung di halaman rumah mewah itu, angin malam menusuk kulitnya, tapi rasa dingin yang sebenarnya bersumber dari dalam dirinya sendiri. Nafasnya terengah, dada sesak oleh kalimat-kalimat terakhir Andre yang masih terngiang di telinganya. Ucapan-ucapannya masih menggaung—tentang uang, harga diri, dan pengkhianatan. Tentang malam itu yang disebutnya kesalahan. “Kamu dipecat, Keira.” “Keluar dari hidupku.” “Dan semoga uangnya cukup untuk membayar sisa harga dirimu.” “Anggap saja malam itu hanya kesalahan satu malam yang memalukan.” Semua yang ia bangun hancur dalam hitungan menit. Kepercayaan Andre. Posisinya di perusahaan. Dan yang paling parah—kemungkinan bahwa ia telah kehilangan satu-satunya celah untuk membalas dendam. Keira memandang kosong ke arah mobil Andre yang menjauh. Lalu menunduk. Tangan mengepal. Napasnya berat. Ia datang ke hidup Andre untuk membalas dendam. Tapi sekarang? Ia bahkan tak tahu lagi, siapa yang lebih hancur. Andre sudah memecatnya. Mengusirnya. Membencinya. Dan Keira sadar... Ia tak punya akses lagi ke pria itu. Ke perusahaan itu. Ke rencana balas dendamnya. Ia menggigit bibir bawahnya, keras, sampai hampir berdarah. Tidak. Ini belum berakhir. Tapi jika Andre sudah menyingkirkannya dari hidupnya... Lalu bagaimana dia bisa melanjutkan balas dendam ini? Apa yang tersisa dari rencana yang sudah ia susun bertahun-tahun? Masih adakah jalan untuk menghancurkannya? To be continued…“Aku mencoba melindungimu,” kata Andre akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir berbisik. Keira tertawa dingin. “Melindungi saya? Saya tidak butuh perlindungan Anda. Yang saya butuhkan adalah Anda berhenti memperlakukan saya seperti saya ini masalah.” Andre menghela napas panjang, berusaha menguasai dirinya. “Keira, aku hanya ingin memastikan ini tidak akan merusak pekerjaan kita. Itu saja.” Keira menggeleng, melangkah mundur dengan tatapan penuh kekecewaan. “Jangan bawa-bawa aturan atau posisi Anda, Tuan. Anda takut kehilangan kendali, itu saja. Masalahnya bukan pada saya, Tuan Ravindra, tapi tentang Anda yang tidak bisa menghadapi apa yang Anda rasakan.” Andre tidak menjawab. Hanya ada keheningan di antara mereka, diisi oleh ketegangan yang tak terlihat. Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan ini. “Kalau itu saja yang Anda ingin bicarakan, saya pikir pembicaraan ini s
Keesokan paginya, tepat jam 9, Keira dan tim terkait pelaksanaan proyek berkumpul di ruang rapat untuk melakukan pembahasan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan. Di dalam ruangan rapat, suasana tegang terasa menyelimuti. Andre duduk di ujung meja, tetapi tatapan matanya seolah menyiratkan bahwa dia merindukan kehadiran Keira. Keira berusaha fokus pada agenda, tetapi hatinya masih terikat pada kata-kata Andre sebelumnya.Rapat itu berlangsung tegang. Andre memimpin diskusi dengan nada dingin dan tegas, tak memberikan celah bagi siapa pun untuk menyimpang dari topik. Namun, saat giliran Keira mempresentasikan ide, ia tampak sengaja mempermasalahkan setiap poin yang Keira sampaikan. “Ide yang bagus, tetapi kita perlu mempertimbangkan faktor risiko dengan lebih serius,” katanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Keira merasa sakit hati. “Tuan Ravindra, saya mengerti bahwa kita perlu berhati-hati, tetapi kita juga perlu mengambi
Di sisi lain, Keira juga masih terjaga di apartemennya. Pikirannya berputar tentang momen indah dansa dengan Andre yang berakhir pahit, tentang kalimat tajamn dan sikap dinginnya Andre. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada misinya, ketegangan yang membara di antara mereka tidak dapat diabaikan. Keesokan harinya, Keira mencoba mengabaikan insiden di gala tersebut dan fokus pada pekerjaannya. Namun, pesan-pesan dari nomor anonim yang terus masuk membuat pikirannya semakin kacau. “Kamu sudah terlalu terlibat. Ingat, misimu lebih penting daripada perasaanmu." Keira menghela napas panjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Apa yang sedang kulakukan? Aku tidak boleh kehilangan arah. Tetapi setiap kali dia mencoba memfokuskan dirinya pada tugasnya, bayangan Andre selalu hadir, mengacaukan semuanya. Beberapa hari berlalu, dan Keira berusaha untuk mengalihkan fokusnya pada pekerjaan. Namun, suasana di kantor terasa lebih berat
Malam gala tiba, dan Keira mengenakan gaun merah yang ketat dan menawan, yang menggoda tanpa mengurangi kelas. Setiap langkahnya di atas karpet merah menarik perhatian banyak orang. Keira merasakan semua mata tertuju padanya, tetapi yang paling penting, dia mencari sosok Andre. Ketika dia akhirnya melihatnya, Andre berada di tengah kerumunan, dikelilingi oleh kolega dan investor. Dia tampak luar biasa dalam setelan hitamnya, dan aura karismatiknya membuat Keira terpesona. Ketika mata mereka bertemu, ada momen keheningan di antara mereka yang hanya bisa mereka rasakan. Keira mengambil napas dalam-dalam dan mendekati Andre, yang langsung menyadari kedatangannya. “Kamu datang,” kata Andre, senyumnya membuat jantung Keira berdebar. “Terima kasih atas undangannya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini,” jawab Keira, berusaha menjaga suara dan sikapnya tetap tenang. Mereka berbincang-bincang dengan ringan ditemani dengan gelas anggur ya
Suasana kantor Ravindra Group masih tegang. Desas-desus kecurangan mulai menyebar: laporan gudang cabang Surabaya diduga dimanipulasi. Berita itu bergerak cepat seperti api yang disiram bensin, menyusup ke telinga para manajer, bahkan direksi.Andre menatap layar laptop dengan ekspresi keras. Beberapa lembar laporan fisik berantakan di mejanya. “Kalau benar ada selisih sebesar ini, media akan mencium baunya. Dan kalau itu terjadi, Gunawan hanya tinggal duduk manis sambil menyaksikan kita jatuh.”Keira berdiri di seberangnya, kedua tangannya bersedekap. “Aku sudah memeriksa sekilas. Selisih ini terlalu rapi, Andre. Terlalu presisi. Seolah-olah sengaja diciptakan untuk terlihat mencurigakan.”Andre menegakkan tubuh, sorot matanya menajam. “Kamu bilang… jebakan?”Keira mengangguk. “Ya. Dan kita tidak boleh terpancing. Kalau kita bereaksi gegabah, mereka menang. Tapi kalau kita bisa menemukan bukti bahwa ada tangan luar yang bermain, ini akan berbalik jadi bume
Langit Jakarta malam itu mendung, hujan tipis menetes di jendela kaca Ravindra Group. Keira masih berdiri di dekat jendela, sorot matanya kosong menatap cahaya kota yang berkilau samar. Kata-kata Andre beberapa jam lalu masih menggema di kepalanya—“buktikan kalau kau di pihakku.”Bukan sekadar permintaan. Itu ujian. Dan Keira tahu, ujian ini bisa menentukan hidup dan matinya. Keesokan paginya, suasana kantor Ravindra Group semakin berat. Seperti udara yang dipenuhi kabut tak kasat mata, membuat semua orang melangkah hati-hati. Tatapan para karyawan jatuh pada Keira setiap kali ia melewati lorong. Ada rasa ingin tahu, ada curiga, dan ada juga ketakutan.Keira berusaha menjaga langkahnya tetap tenang. Mereka menunggu aku salah langkah, pikirnya. Sekali saja aku goyah, mereka akan menjadikannya alasan untuk menjatuhkan.Di ruang rapat kecil, Andre duduk dengan tim manajemen. Keira ikut hadir, menempatkan diri di sudut meja dengan catatan di tangannya. Pe