“Uuuh —”
Sentuhan hangat terasa membakar tubuh Lizbeth, saat bibir pria itu menyentuh tengkuknya. Jemarinya menyusuri bagian dalam gaun merah yang dikenakan Lizbeth. Menyentuh area yang belum pernah disentuh siapa pun sebelumnya.
Ketika mata keduanya saling bertemu, pria tampan itu menarik tubuh Lizbeth ke dalam pelukannya, lalu mencium bibirnya dengan kelembutan yang mengejutkan. Ciuman itu menghapus semua keraguan, menggantinya dengan gejolak hasrat yang tak tertahankan.
“Mmmppth!”
Pakaian mereka satu per satu jatuh ke lantai, meninggalkan tubuh yang saling bersentuhan tanpa jarak. Lizbeth memeluk pria itu erat, membalas setiap sentuhan dan ciuman dengan penuh semangat. Semakin lama, semakin dalam Lizbeth menciumnya, ia merasakan semakin tenggorokannya terasa kering, membuatnya semakin tidak bisa berhenti menciumnya.
Napas yang semakin memburu membuat keduanya semakin tidak bisa menahan gejolak di dada. Sentuhan tangannya menyapu punggung halus Lizbeth yang terekspos.
“Aku pasti akan memuaskanmu,” ucapnya seraya membelai wajah Lizbeth.
Kelopak mata Lizbeth bergetar, saat sesuatu yang hangat baru saja menyapu tengkuk hingga dadanya. Rasanya hangat dan terasa panas, membuatnya tubuhnya bergetar dan membuat pusarnya terasa merinding.
Tangan pria itu menyapu punggung Lizbeth, menyentuh kulitnya yang halus dan dingin, menciptakan kontras dengan panas yang membara di antara mereka.
“Aku akan membuatmu tak melupakan malam ini,” bisiknya seraya membelai pipi Lizbeth.
Kelopak mata Lizbeth bergetar, tubuhnya bereaksi saat bibir pria itu menyusuri garis leher hingga dadanya. Sensasi yang terasa begitu baru, menyalakan setiap saraf yang tersembunyi.
“Cium aku,” ucap Lizbeth parau.
Tanpa ragu, pria itu mencium bibirnya lagi. Ia mengangkat tubuh Lizbeth dan membawanya ke tempat tidur, tanpa melepas ciuman yang semakin menggila. Ketika punggungnya menyentuh kasur, Lizbeth menarik leher pria itu.
“Cepat, lakukan!” titahnya.
Senyum tipis terukir di wajah pria itu. “Aku tidak akan menahan diri.”
Pria itu mencium lembut bibir Lizbeth, tengkuknya, dan menyapu hangat tubuhnya hingga ke bawah kakinya.
“Aaah!” rintih Lizbeth seraya menutup mulutnya. Saat sesuatu yang hangat terasa bermain di bawah sana.
Bukan lagi percikan api, Lizbeth merasa tubuhnya sudah terbakar. Sampai tidak bisa mengontrol rintihan yang keluar dari mulutnya. Tangannya mulai meremas seprai dan rambut pria tampan itu.
Rasa asing itu membuat tubuhnya bergetar. Tapi pria itu menenangkannya dengan ciuman di kening, di bibir, dan di pundaknya. Ia merengkuh tangan Lizbeth, menautkannya erat. Saat sesuatu yang begitu hebat semakin terasa menusuk di bawah sana.
Perlahan, rasa sakit itu berubah menjadi gelombang kenikmatan yang tak bisa dijelaskan. Lizbeth meremas seprai, menahan desahan yang nyaris meledak. Ia merasa dirinya tenggelam dalam lautan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aaah ... pelan… sedikit…” pintanya lirih.
Namun, pria itu tidak memperlambat tekanannya. “Di ranjang, tak ada tawar-menawar,” ucapnya tajam namun memikat. Ia menekan lebih dalam lagi.
Tekanan itu semakin terasa kuat, keduanya saling menyatukan tangan mereka. Setelah waktu yang cukup lama, hingga sepenuhnya milik pria itu memenuhi perutnya.
“Aaahh!” rintih pria itu semakin kuat menekan miliknya, dan menggigit bibir Lizbeth seraya menariknya hingga Lizbeth merintih kesakitan.
“Rilex, oke. Aku bersamamu.”
Malam itu, mereka terbakar dalam gairah. Lizbeth melenguh, mengerang, dan menangis dalam diam. Namun di tengah kobaran itu, pria itu membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
“Siapa namamu?”
Lizbeth hanya menatapnya. Alih-alih menjawab, ia menarik wajah pria itu dan kembali menciumnya. Tidak ingin ada nama, tidak ingin ada identitas. Karena apa yang dia lakukan malam ini, hanyalah pelarian.
Lizbeth semakin merintih saat sengatan terasa menguasai dadanya. Pria itu memainkannya dengan begitu lihai, membuat tubuhnya semakin lemas juga perih, bersama tekanan yang semakin menggila di bawah sana.
***
Keesokan paginya, Lizbeth terbangun dengan tubuh yang masih terasa lelah. Sakit di beberapa bagian membuatnya sadar bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Ia menatap tubuhnya yang penuh bekas kemerahan.
Ia duduk, lalu melirik ke samping. Pria itu masih tertidur lelap. Dengan perlahan dan hati-hati, ia turun dari ranjang, memungut pakaiannya satu per satu, lalu berpakaian secepat mungkin.
‘Aku benar-benar melakukannya…’
Lizbeth tidak menyangka bahwa dirinya akan bertindak impulsif, hanya karena ingin melampiaskan kesedihannya, rasa kecewanya. Setelah dikhianati oleh calon suami dan juga kakak perempuannya. Hanya karena Lizbeth cupu dan tidak secantik kakak perempuannya.
Hati mana yang tidak sakit, sehari sebelum pernikahannya. Lizbeth menemukan kekasihnya berhubungan badan di atas ranjang pengantin dengan kakaknya sendiri, Yang membuatnya semakin sakit, ternyata mereka sudah berhubungan lebih dari satu tahun.
Pernikahan itu berlangsung, tetapi bukan untuknya, tapi untuk kekasihnya dan sang kakak. Keluarganya justru membela mereka, menyalahkan Lizbeth yang tidak mampu menjaga kekasihnya.
Oleh karena itu Lizbeth mencari hiburan dengan pergi ke klub malam dan menghabiskan banyak uang untuk membeli dres cantik, dan pergi ke salon. Hanya untuk membuatnya terlihat cantik, ia ingin bersenang-senang dan membuktikan, kalau dirinya juga bisa tampil cantik. Walau hanya untuk satu malam.
Hingga akhirnya, ia tidak sengaja menabrak seorang pria. Ketika dirinya dalam kondisi setengah mabuk, pertemuan singkat itu membawanya ke dalam one night stand. Dengan pria asing yang baru pertama kali ditemuinya.
Setelah satu jam sejak kepergian Lizbeth, pria asing itu bangun. Kepalanya sedikit pening. Ia mengangkat selimut dan sisi ranjang yang kosong. Ia sama sekali tidak melihat keberadaan Lizbeth dimanapun.
Asistennya, Kilian, sudah berdiri di dekat pintu.
“Tuan Anda sudah bangun?”
Pria asing itu, memegang kepalanya dan bertanya. “Di mana dia?”
“Perempuan itu sudah pergi sejak tadi. Dia meninggalkan secarik kertas dan—” Pria itu seolah tidak berani melanjutkannya.
Manik matanya tertuju pada sebuah nakas. Pria itu menuruni tempat tidur, Kilian, memakaikan sebuah jubah mandi di tubuh tuannya.
Ia meraih secarik kertas itu dan membaca pesan singkat. ‘Aku puas!’
Lizbeth tidak hanya meninggalkan secarik kertas, ia juga meninggalkan uang berkisar lima juta. Membuat pria itu tercengang.
“Kau menghargaiku hanya lima juta?!” ucapnya seraya menatap uang di tangannya.
Lucien Cassian Kingsley, 32 tahun, salah satu konglomerat muda paling berkuasa di New York, merasa terhina karena malam panas penuh gairah yang dia anggap spesial, dihargai semurah itu?
Ia meremas kertas itu. “Cari dia. Aku ingin tahu siapa dia?”
Kilian mengangguk. “Akan saya kerahkan tim untuk melacaknya. Tapi… jika gadis itu membocorkan pada media?”
Lucien menatap tajam. “Tugaskan seseorang untuk mengawasinya. Tapi, jangan sakiti dia.”
Lucien meninggalkan kamar hotel, masuk ke dalam mobil mewahnya. Ia menyandarkan tubuh ke kursi kulit mobilnya. Wajahnya tak menunjukkan marah, tapi ada sesuatu yang lebih berbahaya dari amarah.
Rasa penasaran menyeruak.
“Siapa kamu sebenarnya, gadis lima juta?”
Lucien mengerti kekawatiran Lizbeth. Ia meraih tangan Lizbeth, menatapnya penuh kelembutan. “Jangan dipikirkan. Ada aku, kamu tidak perlu takut. Percaya padaku, dia pasti bisa menerima pernikahan kita... Meskipun mungkin sifat dinginnya tidak sepenuhnya bisa dihilangkan. “Lizbeth menghela napas, ia manggut pelan. “Aku tidak akan menyerah, aku akan mencuri hati ibumu. Aku yakin suatu hari nanti dia bisa menerimaku di dalam keluarga Kingsley. “Lucien tersenyum tipis dan perlahan mengelus wajah Lizbeth penuh kasih sayang. “Lilibeth, kamu jangan sedih lagi ya. Aku tidak mau kamu sedih, jangan sembunyikan apapun dariku. Jika kamu sedih, aku adalah pundakmu. “Lizbeth menatap mata suaminya. Ia sadar kalau suami-istri harus terbuka. Dan semua hal dibicarakan dari hati ke hati dengan kepala dingin. Lizbeth memeluk Lucien. “Aku sudah membuat kamu cemas, ya. Lucien terima kasih sudah sabar denganku. ““Antara kita tidak perlu ada kata terima kasih. Lilibeth, aku menyayangimu.”“Aku juga m
Lucien tidak tahan, jadi dia pergi ke taman untuk menenangkan pikirannya. Ia berjalan seorang diri, dan langkah kakinya terhenti di bawah pohon rindang. Ia duduk di bawah pohon, seraya memeluk lututnya.Ia tidak tahu harus bagaimana. Tangisan Lizbeth masih terngiang di kepalanya. Kalimat itu menyayat hatinya, tentang rindu pada masakan ibunya dan semua hal yang Lizbeth lewati. Lucien menutup mata. Hatinya sesak. Ia tahu, ia tidak bisa mengembalikan apa pun. Tidak bisa mengganti apa pun.“Aku hanya membuatmu kehilangan lebih banyak, Lilibeth,” gumamnya pelan. “Sampai sekarang pun aku belum sepenuhnya bisa jadi tempatmu berpulang.”Lucien tidak menangis. Tapi dadanya berat. Ia hanya duduk di sana, membiarkan waktu berlalu.Di kediaman utama, Cameron membuka pintu kamar rawat Victoria seperti biasa. Ia membawa bunga kecil di tangannya. Sudah berminggu-minggu ia datang menemani istrinya. Menunggu, dan berbicara dengan harapan Victoria bisa secepatnya sadar.Saat pintu terbuka, dan mengham
London,Lucien baru saja menerima informasi dari Kilian mengenai pemberian saham oleh Mateo kepada Lizbeth. Tanpa menunda, ia berjalan menuju halaman belakang, tempat di mana istrinya sedang duduk dengan tenang. Lizbeth sedang membaca buku kehamilan sambil memakan buah anggur satu per satu.Lucien menarik kursi di samping Lizbeth dan duduk. Lizbeth hanya menoleh sekilas sebelum kembali membuka halaman buku di tangannya.“Lilibeth,” panggil Lucien dengan suara lembut.Lizbeth menutup buku yang dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Ia menatap Lucien dengan alis sedikit terangkat. “Ya?”“Mateo memberikan lima puluh persen sahamnya di perusahaan kepadamu.”Lizbeth terdiam. Napasnya seakan tertahan. Ucapan itu mengingatkannya pada perkataan terakhir Mateo,bahwa ia akan memberikan hadiah pernikahan. Tapi Lizbeth tak pernah menyangka, hadiah itu adalah separuh dari perusahaannya.“Kamu sudah memastikan, bahwa saham itu benar-benar atas namaku?” tanyanya pelan.Lucien mengangguk. “Aku sud
Samantha terkejut, ia diam dan mengingat kembali sifat Lizbeth akhir-akhir ini. Sorot mata cucunya itu kadang sulit ditebak, ada kelembutan, namun juga keteguhan. Ia sempat mengira perubahan sikap Lizbeth disebabkan tekanan, atau luka emosional yang masih mengendap d lubuk hatinya. Tapi Polly, tidak sembarangan menaruh curiga.Samantha menghela napas dalam. Ia lengah. Terlalu banyak hal yang menyita perhatiannya, mulai dari kehadiran Alessandro, kondisi Victoria, hingga masalah keluarga yang belum juga reda. Hingga ia tidak menyadari perubahan pada cucu perempuan yang kini mengandung darah Kingsley dan darah mafia.Ia melirik ke sekeliling dengan cepat, memastikan tidak ada pelayan atau anggota keluarga yang melihat. Kemudian dengan satu isyarat tangan, Samantha dan Polly masuk ke dalam kamar pribadinya yang terletak di sayap timur Rosehall. Begitu sampai di dalam, Samantha menutup pintu rapat dan memutar kuncinya. Samantha berjalan pelan, duduk di tepi tempat tidurnya, lalu menata
Lizbeth tersenyum kecil.“Aku tidak peduli dengan masa lalu. Dia membenciku karena sebuah alasan, aku bisa memakluminya.”Samantha tersenyum hangat.”Cucuku berhati lapang. Jadi, kamu akan memutuskan untuk tetap tinggal di sini beberapa hari lagi?”Lizbeth mengangguk pelan.“Aku ingin beristirahat sebentar lagi. Lucien juga jarang sekali memiliki cuti panjang, selain itu Bu Victoria akan dirawat di sini untuk sementara waktu.”Samantha menghela napas. “Jadi, Lucien sudah memutuskan.”Samantha menatap Lizbeth dengan tatapan tidak bisa. Ada kesedihan di wajahnya yang dapat Lizbeth tangkap dengan jelas.“Nenek, apa ada sesuatu yang mengganjal hati Nenek?” Samantha meraih tangan Lizbeth dan menggenggamnya. “Lilibeth, aku bersalah padamu. Banyak hal yang aku lakukan di masa lalu, kamu sudah menderita di luar sana.”“Nenek, semua itu sudah berlalu. Aku sudah tidak menghitungnya lagi, aku dan Lucien sudah sepakat untuk membuka lembaran baru dan tidak ingin mengingat kepahitan di masa lalu.”
Lucien dan Lizbeth larut dalam kehangatan yang panjang. Di mansion utama, mereka sudah tahu kalau Alessandro sudah pergi. Polly berbisik kepada Samantha yang kini sedang menyisip teh di teras balkon yang menghadap ke arah danau.Ada keterkejutan di mata Samantha, lalu menghela napas.“Lucien, pasti akan segera meminta pertanggung jawaban dariku.”Samantha menghela napas. “Demi tidak ada lagi pertumpahan darah, dan demi melindungi putraku Caspian. Aku harus mengasingkan darah keturunanku, ada yang harus dikorbankan dan ada harga yang harus dibayar untuk itu.”“Nyonya, bukan salah Anda. Anda seorang ibu, saya juga pasti akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi kepada keluarga saya. Tuan muda pasti akan mengerti.”Samantha meneteskan air mata, memandang rerumputan jauh di sana.“Rasa bersalahku kepada Lizbeth, Leabeth, tidak bisa dihapus oleh waktu. Pada akhirnya aku tidak bisa melindungi keduanya. Membuat kesalahpahaman yang panjang. Mateo sudah melakukan tugasnya dengan baik. Men