Selesai makan, keduanya pergi ke hotel. Natalie tidak ingin pulang ke rumah untuk menghadapi tuduhan tak masuk akal dari Ainur. Saat ini pun, dia benar-benar tidak ingin melihat wajah Ainur lagi.Sejak Ainur menjualnya kepada Terry, hati Natalie sudah benar-benar hancur.Natalie berdiri di balkon. Dari belakang, dada hangat seorang pria menempel erat, lengannya melingkari pinggang Natalie. Bibir tipisnya menyapu lembut telinganya saat dia berbisik, "Ikut aku ke ibu kota."Tubuh Natalie menegang, lalu dia menoleh. "Kamu mau kembali ke ibu kota?""Hm. Harus ada yang mengelola warisan peninggalan ibuku. Holly kalau nggak melihatku juga akan depresi, itu nggak baik untuk kesehatannya. Jadi aku harus pulang."Natalie terdiam. Hatinya terasa kacau dan tidak tahu harus bagaimana bereaksi.Pergi ke ibu kota berarti dia harus berhadapan dengan seluruh keluarga besar Denzel ....Natalie yang tumbuh di desa kecil, tentu akan gentar saat menghadapi keluarga bangsawan kaya raya. Namun, jika dia ing
Mata Ainur membelalak. "Kamu pacarnya Natalie? Mana mungkin! Orang sekaya kamu kenapa bisa suka sama Natalie? Kamu pasti bercanda."Percaya atau tidak itu urusan Ainur. Denzel sama sekali tidak berniat menjelaskan.Tubuh tegaknya berdiri di depan Natalie dengan ekspresi dingin. "Natalie adalah pacarku. Urusan menjodohkannya dengan orang lain, aku nggak ingin terjadi lagi untuk kedua kalinya."Aura Denzel begitu kuat. Tanpa harus marah sekalipun, auranya sudah bisa membuat orang gentar. Dia memiliki wibawa alami seorang pemimpin.Ainur merasa tertekan. Meski begitu, dia tetap enggan percaya bahwa anak yang selalu dia remehkan benar-benar bisa mendapat pacar sehebat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya sudah ada di depan mata.Denzel menggenggam tangan Natalie dan tatapannya melunak. "Ayo kita pergi.""Nggak bisa! Kalian nggak boleh pergi!"Ainur langsung panik dan buru-buru mencoba menarik Natalie dari sisi Denzel. "Kamu sudah mukul Terry sampai separah itu, cepat masuk dan minta maaf.
Dengan nada dingin, ibu Terry berkata, "Di zaman sekarang, laki-laki cukup bisa cari uang saja. Punya uang, perempuan cantik mana yang nggak nempel? Banyak gadis cantik yang terus mengejar anakku. Kalau bukan karena anakmu juga lulusan universitas ternama, kamu pikir kami mau meliriknya?""Iya, iya, betul sekali." Ainur tersenyum penuh basa-basi, lalu mendorong Natalie ke pelukan Terry. "Anak ini masih belum mengerti, nanti setelah sering bersama pasti akan berubah.""Benar juga. Kalau begitu, kami nggak mau ganggu lagi."Ibu Terry dan Terry saling bertukar pandang, kemudian menarik Ainur keluar rumah. "Besan jarang masuk kota ya? Ayo, aku ajak belanja."Pembantu pun ikut keluar. Natalie langsung merasa ada firasat buruk. Dia hendak melarikan diri, tetapi pergelangan tangannya ditangkap Terry."Adik manis, kamu dengar sendiri 'kan tadi? Kita harus belajar memupuk perasaan satu sama lain.""Sudah kubilang, aku punya pacar!" Natalie berusaha keras melepaskan diri."Pacarmu bisa lebih kay
Terry tak sabar melangkah ke depan Natalie. Tatapannya menyapu tubuh Natalie dari atas sampai bawah, lalu berhenti paling lama di bagian dadanya, tanpa ada sedikit pun rasa sungkan.Tatapan seperti itu membuat orang sangat tidak nyaman.Natalie langsung merasa muak. Dia mengangkat wajah menatap balik, tapi hanya sekejap saja sudah tidak tahan dan buru-buru memejamkan mata. Terry mengenakan setelan jas rapi, sepatu kulit, dan rambut disisir klimis ke belakang. Sekilas tampak bergaya dan perlente.Namun wajahnya ... benar-benar tak layak dilihat. Matanya tidak jelas bentuknya, hidungnya pun demikian, seluruh wajah dipenuhi bopeng, bahkan di pipinya masih ada jerawat bernanah yang baru tumbuh.Ya Tuhan!Pantas saja Keluarga Hardani berani menawarkan mahar sampai dua miliar. Jelas sekali mereka ingin memperbaiki keturunan. Siapa yang bisa menerima ini, pasti orang luar biasa.Melihat Natalie memejamkan mata, Terry malah mengira dia malu. "Kamu jangan malu, toh nanti kita juga jadi satu kel
Sopir sudah mendesak, sehingga Natalie pun menarik kembali pandangannya lalu berbalik naik ke bus. Bus besar itu berjalan dengan berguncang-guncang. Satu jam kemudian, mereka akhirnya tiba di kabupaten.Natalie mengikuti Ainur turun dari bus, lalu berganti naik angkutan kota dan turun di sebuah halte. Namun Ainur tidak menuju ke kawasan pertokoan, melainkan menarik tangannya masuk ke sebuah kompleks perumahan."Bukannya mau belanja?" tanya Natalie heran.Ainur menjawab, "Kita ketemu orang dulu.""Siapa?""Calon jodoh yang dicarikan Bibi Mayang untukmu."Raut wajah Natalie seketika berubah. Begitu pintu lift terbuka, dia langsung melangkah keluar dengan cepat. "Aku sudah bilang, aku nggak mau dijodohkan!"Natalie hendak menuruni tangga, tetapi Ainur menggenggam erat tangannya dengan kasar. "Bibi Mayang sudah susah payah mencarikanmu orang kaya, jangan nggak tahu diri!"Tenaga orang yang bertahun-tahun bekerja di ladang tentu tidak kecil. Natalie sama sekali tak bisa melepaskan diri, hin
Udara di desa begitu segar. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Natalie akan berjalan-jalan di sawah, mengajak ngobrol anak-anak desa, juga bermain dengan anjing-anjing peliharaan yang bebas berkeliaran setiap hari.Kadang dia juga berbincang dengan warga desa. Saat berjalan sampai ke ujung desa, dia melihat Mayang sedang duduk di bawah pohon besar."Natalie, cepat kemari." Mayang melambaikan tangan padanya.Natalie berjalan mendekat, lalu menyapa dengan sopan, "Bibi, cuaca sudah dingin. Kamu duduk di bawah pohon begini hati-hati masuk angin."Mayang menggenggam tangannya dan tersenyum ramah, "Aku dengar dari ibumu, katanya kamu mau kembali ke kota untuk kerja? Katanya juga mau menikah, minta aku mencarikan jodoh buatmu."Natalie tertegun. Dia tidak menyangka Ainur tidak hanya asal bicara, tapi benar-benar berencana mencarikan calon suami. Dia segera berkata, "Ibuku cuma bercanda, jangan dianggap serius.""Mana mungkin pernikahan itu dijadikan bercandaan." Mayang mengira Natal