Terbalut rasa sesal yang mendalam dan kekhawatiran, Mentari beringsut menjauh dari Rakhan. Punggungnya menekan punggung ranjang yang terbuat dari besi bermotif bunga. Mentari terus menekan selimut di dada untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Sementara itu, seluruh wajah dan seputaran matanya tersengat rasa panas. Getaran di bibirnya mengindikasikan adanya kesedihan yang sedang ditahan.
Rakhan berguling ke sisi lain, lalu menurunkan kakinya dari ranjang, dan segera mengenakan pakaian. Sekelumit rasa bersalah menghujam dadanya dengan kencang. Sekali lagi ia melakukan kebodohan yang sama. Ia memanfaatkan situasi. Perang di kepalanya kembali berkecamuk, tapi ia memutuskan untuk tidak meninggalkan Mentari. Rakhan mengancingkan kemejanya pelan-pelan sambil merangkai kata-kata. Ia duduk kembali di atas ranjang dengan posisi miring. Satu kakinya terlipat sementara kaki lainnya di biarkan menggantung dan bertumpu
Handoko hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anak dan menantunya. Sulit untuk menyatukan dua hati yang bertentangan, pikirnya.“Tari!” Rakhan memegang lengan atas Mentari untuk menghentikan langkahnya. Ia kemudian bergerak ke hadapan Mentari. “Kau mau ke mana?”Mentari menatap Rakhan. Kilat matanya menajam seakan sedang mengancam. Namun, ia memalis sesaat kemudian.“Tari, aku tidak bermaksud merendahkan atau menghina ayahmu. Aku minta maaf—““Aku mau ke kampus,” potong Mentari mengabaikan permintaan maaf Rakhan. Ia menatap Rakhan sesaat, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain.“Aku akan mengantarmu.”“Tidak perlu. Aku mau naik bus.”“Suka atau tidak, aku akan mengantarmu,” desis Rakhan. Rahangya masih mengeras dan dadanya masih berdebar kencang ketika ia menarik tangan Mentari untuk mengikuti langkahnya ke garasi. Kebisuan dan kesedihan yang terpancar dari mata Mentari memicu keheningan di sepanjang perjalanan. Perasaannya kembali tercabik-cabik pagi ini. Nam
“Non, Tuan—““Pernah ke sana atau tidak?!” potong Mentari dengan tegas.“Non, Tuan bilang—““Ya, sudah.” Mentari mengerti sikap yang ditunjukkan Anton. Tangan kanan ayahnya itu akan mengatakan ‘tidak’ jika ia tidak melakukannya, tapi ucapannya akan berputar-putar seperti baling-baling bambu jika ia benar melakukannya. Ia sudah mengenal Anton sejak ia masih anak-anak. Ia memahami betul sifat dan karakter pria itu. “Papa di mana?”“Di halaman belakang, Non. Lagi ngopi.”Memutus tanya-jawab, Mentari meninggalkan Anton tanpa permisi. Ia bergegas menuju halaman belakang. Dari ambang pintu dapur, Mentari melihat Lucian sedang duduk santai ditemani kopi hitam di gazebo bambu di pinggir kolam ikan. Pria baya itu sudah terlihat sehat dan segar kembali, padahal baru saja dirawat di rumah sakit dua minggu yang lalu. “Papa seharusnya menghindari kopi kalau tidak mau jantung Papa kambuh lagi.” Kalimat itu menjadi pengganti salam yang seharusnya Mentari ucapkan ketika ia mencapai gazebo dan berdir
“Apa maumu?” Mentari memberanikan diri bertanya.“Mengantarmu pulang.” “Siapa kau?”Tidak menjawab, pria itu lantas mendorong Mentari untuk melangkah. Tangannya turun ke pinggang Mentari dan melingkar dengan posesif. Mempertimbangkan berbagai risiko yang akan didapat, Mentari memilih untuk mengikuti arahan pria itu tanpa berteriak. Mereka berjalan keluar dari kelab seperti sepasang kekasih. Sampai tiba di depan sedan berlogo kuda jingkrak di pelataran parkir khusus, pria itu baru melepaskan tangannya dari pinggang Mentari. Dengan sopan pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Mentari. “Silakan.” Pria itu mempersilakan Mentari masuk.“Tidak,” tegas Mentari, “aku membawa mobil sendiri.”“Biarkan saja mobilmu di sini. Nanti orangku akan mengantarkannya ke rumahmu.”“Aku tidak pergi dengan orang asing. Maaf, aku harus pergi.” Mentari berbalik, tapi pria itu berhasil mencekal tangannya. Mentari berbalik lagi dan menatap pria itu dengan tatapan geram. “Dengar, … siapa pun namamu. Kau tida
Wajah Lucian tampak tak berekspresi, datar. Ia tidak terpengaruh oleh ketidakramahan dan ucapan Rakhan. “Apa maksudmu, Nak?” tanyanya.“Kenapa Anda begitu terobsesi untuk menjadikanku menantu?” “Terobsesi?” Lucian tertawa selama beberapa saat setelah mendengar pertanyaan Rakhan. “Pilihan kata yang lucu. Tapi, memang benar aku ingin sekali menjadikanmu menantu.”“Kenapa harus aku? Ada perjanjian apa antara Anda dengan Ayah?”“Tidak ada,” tegas Lucian, “aku hanya ingin kau yang menjadi suami Mentari. Bukan yang lain.”“Alasannya?”“Karena hanya kau yang bisa menjaga Mentari.”“Kalau begitu, Anda tidak butuh menantu, tapi seorang bodyguard.”“Betul sekali. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga Mentari dan kau satu-satunya orang yang bisa melakukan itu.”Rakhan menyatukan alis. Matanya yang menyipit mengekspresikan rasa heran dan terkejutnya. “Kenapa Anda yakin sekali kalau aku bisa menjaga putri Anda. Aku bahkan tidak pernah tahu dan mengenal Mentari sebelum aku dan dia menikah, begitup
“Mau ke mana?” Rakhan bertanya dengan suara sedikit berat dan ditahan. “Keluar.”“Ini kamarmu. Atau, kau mau kita ke kamarku?”Mentari terperanjat. Ia spontan menatap Rakhan. Tiba-tiba saja ia butuh minum karena tenggorokannya terasa mengering. Aroma citrus yang kemudian melintasi cuping hidungnya menciptakan denyut pusing. Rakhan mulai membuat Mentari kehilangan konsentrasi. Pria itu handal membuat dirinya mabuk kepayang walau hanya dengan tatapan.“Aku tidak mau berada di sini kalau kau tidak keluar.” Mentari berlagak tidak terpengaruh oleh keberadaan Rakhan.Rakhan menjalin jemarinya ke jemari Mentari dan menggenggamnya erat. “Aku mau keluar ....” Rakhan terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi ucapannya dengan nada tegas. “Di dalammu.”“Apa?!” Kerutan terbentuk di antara Alis Mentari. Ia berusaha memahami ucapan Rakhan dan ... Mentari menunduk sambil memijat dahinya. “Kau sungguh mesum.”Tanpa Mentari sadari satu tangan Rakhan sudah melingkar ke pinggang dan merayap di punggungnya.
Bagi Mentari, sikap Rakhan malam itu tidak berbeda dengan sikap Rakhan di awal pernikahan mereka. Sempat lumer dan sedikit memberikan perhatian, ternyata semua itu hanya Rakhan lakukan untuk bisa mengetahui situasi dan memanfaatkan keluguannya. Semalaman kepala Mentari dipenuhi oleh prasangka dan keraguan. Meskipun akhirnya ia bisa tidur pulas, tetapi bayangan peristiwa manis bersama Rakhan yang dipahitkan tetap menggerogoti jiwanya.Terik matahari menyengat kota dan seluruh penduduknya di awal Agustus. Ucapan Lucian mengenai kekhawatiran Mentari akan laporan Edo kepada pihak polisi terbukti benar. Baik Mentari maupun Rakhan tidak satu pun dari mereka yang menerima surat panggilan dari pihak berwenang tersebut. Mentari tidak merasa senang, apalagi tenang. Ia merasa ada sesuatu yang sedang bergerak, merangkak, merancang sesuatu, dan bersembunyi dari pandangannya dan semua orang. Mentari hanya bisa menebak-nebak. Di sisi lain, Mentari harus rela kebebasannya terkekang lantaran setelah
“Dari mana kau?” Pertanyaan bernada dingin terlontar dari bibir Rakhan ketika Mentari baru saja memasuki ruang keluarga. Pria itu tampak sedang duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Tatapannya menjelajah wajah Mentari sampai ia menemukan sembap di mata wanita itu. “Apa kau menangisi dia lagi?” tanya Rakhan lagi dan tidak memberikan kesempatan pada Mentari untuk menjawab pertanyaan pertamanya.“Bukan urusanmu.” Mentari tidak memedulikan interogasi Rakhan. Wanita itu bergegas meninggalkan ruangan dan berjalan cepat menuju tangga.Pengabaian Mentari berhasil memancing rasa kesal Rakhan untuk menyeruak. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mengejar Mentari dengan langkah yang cepat. Rakhan mencekal tangan Mentari sebelum ia menaiki anak tangga sekaligus menghentikan langkahnya. “Aku sedang bicara dengan kau, Tari.” Rakhan berbicara dengan suara yang sengaja ditekan dan terdengar sedikit berat.Nada bicara Rakhan yang memberi kesan mengintimid
"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu."Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Me