Share

Neraka di Depan Mata

"Siapa yang meneleponku pagi-pagi sekali?" teriak Clara seraya mengambil ponsel yang entah ada di mana.

Tangannya bergerak mencari-cari ke seluruh arah, karena matanya masih berat untuk terbuka. Berdasar indera pendengar dan peraba yang bekerja sama, Clara akhirnya menemukan ponselnya dan mulai menekan tombol hijau tanda panggilan masuk.

"Halo!" sapanya ketus.

"Kau di mana? Keributan apa lagi yang sudah kau perbuat, hah?"

Rentetan pertanyaan yang kali ini keluar dari mulut orang lain membuat Clara terjaga penuh. Tubuhnya beranjak dengan mata abu terbelalak tak percaya. Maniknya berkeliling, memandangi semua yang ada di dekatnya kini.

"Kau sungguh keterlaluan! Berita tentangmu muncul di seluruh media, Clara! Kau sudah gila, hah?" cecar pria di seberang yang terus menekannya untuk memikirkan hal yang ia saja tak tahu.

"Berita? Berita ap..." Gadis itu terhenyak melihat notifikasi yang masuk ke ponsel dan menunjukkan video dirinya dengan seorang pria tampan yang tengah berciuman di lorong yang kosong. Keduanya bergerak perlahan hingga hilang saat masuk ke dalam apartemen.

Otaknya seketika membeku, tak tahu harus berkata apa. Tangannya menarik selimut putih yang sejak tadi menutupi tubuh mulusnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Kepalanya berdenyut, memikirkan kejadian semalam bersama pria yang masih tertidur di balik kemudi, dengan otot perut yang terpampang nyata di depan mata.

Clara terhenyak ketika mengangkat selimut dan mendapati bercak darah ada di sana. Mulutnya menganga, masih tak percaya bahwa keperawanannya akan hilang karena minuman. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah pria yang bersamanya kini adalah David Klein, pengawal pribadi ayahnya.

"A-apakah ayahku tahu?"

"Pulang sekarang, kita bicara di rumah!"

Seketika komunikasi terputus. Bersamaan dengan itu, David mulai mengerjapkan mata dan terjaga. Ekspresinya sama persis seperti apa yang sudah Clara lakukan tadi. Panik, bingung dan tak tahu harus berkata apa.

"A-apa yang..."

"Aku tak tahu," jawab Clara yang langsung menjawab tanpa menunggu pertanyaan itu selesai.

Wajah cantiknya sudah berantakan. Matanya menatap langit yang mulai terang, pertanda pagi akan menjelang. Hanya beberapa jam saja, dan hidupnya tak akan pernah sama. Gambar dirinya yang muncul ke media membuat semua ini tak akan mudah.

Sementara David masih terus mencari celah, berusaha menenangkan diri dan juga Clara bahwa tak ada yang terjadi antara keduanya. Namun penampakan yang ada di dalam apartemen seolah menggambarkan kejadian semalam dengan jelas. Cecerapan pakaian keduanya yang tergeletak di lantai, mulai dari pintu masuk sampai di atas ranjang menjadi saksi bagaimana panasnya kejadian malam tadi.

"Aw!" seru Clara ketika berusaha menggeser posisinya saat ini.

"Ada apa?" tanya David khawatir.

"I-ini, sakit!" rengeknya menunjuk bagian sensitif miliknya yang terasa perih.

David mengangkat selimutnya, menatap bercak yang sudah dapat dipastikan hadir dari gadis di sampingnya. Manik pualamnya terbuka lebar, tak percaya bahwa Clara masih bermahkota, dan ialah laki-laki yang sudah menodainya.

"K-kita pergi sekarang, pakai pakaianmu! Kita bicara lagi nanti!" perintah Clara yang menjulurkan kemeja dan celana bahan milik pengawalnya itu, sementara ia menarik selimut sebagai penutup untuk berlari ke kamar mandi.

Keduanya diam tanpa kata selama persiapan hingga perjalanan menuju rumah. Ingatan tentang semalam terasa bagai mimpi. Tak ada yang ingat siapa yang mulai menggoda untuk naik ke atas ranjang. Tapi satu hal yang keduanya sadari, sesuatu telah terjadi dan dunia mengetahuinya. Terbukti dengan banyaknya wartawan di depan gerbang rumah mewah Keluarga De Quinn.

Clara merundukkan wajah, berusaha untuk tak terlihat. Para keamanan bergerak memberi perlindungan agar tak ada yang mengambil gambar dari mobil sport milik majikannya itu. Bahkan beberapa orang turut menghadang sampai mobil itu berhenti di depan teras rumah dan meninggalkan para pewarta di depan gerbang.

"Aku masuk duluan!" kata Clara yang berlari ke dalam rumah tanpa menunggu David yang masih berkutat dengan ingatannya tentang kejadian semalam.

Pria itu mengira Clara tengah mabuk hingga mencumbunya tanpa sadar. Tapi begitu obat itu bekerja pada dirinya sendiri, David langsung bisa menebak bahwa minuman keduanya telah dicampur dengan obat perangsang yang sayangnya bekerja sangat cepat dan hebat di tubuh majikannya itu.

"Ayah...!" seru Clara yang berkeliling mencari cinta pertamanya. "Paman? Di mana ayah? Aku harus menjelaskan kejadian ini dan..."

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Clara hingga membuat gadis itu terhuyung. Rasa panas itu menjalar bersama rona merah alami bercap tangan dari Leo De Quinn, adik ayahnya.

"A-apa yang kau..."

"Harusnya aku tak hanya menamparmu, tapi juga menyeretmu keluar dari rumah ini!" serunya menggema di ruang tamu yang luas. "Karena semua kelakuanmu itu, kakakku harus menderita!" katanya menunjuk wajah cantik yang masih kebingungan.

"Ma-maksudnya?" tanya Clara tak mengerti.

"Kakakku ditemukan pingsan semalam! Ia terkena serangan jantung dan kini kondisinya kritis!" jawab Leo berapi-api.

Pria 50 tahun itu tak sanggup lagi menahan kesedihan, membayangkan kondisi Bernardo yang semalam terpasang selang-selang di tubuh. Tak hanya itu, demi menyelamatkan nyawanya, ada beberapa tindakan pembedahan yang harus dilakukan, namun tak bisa dilakukan karena ia bukan wali dari Bernardo.

"Aku menghubungimu sejak semalam, tapi kau malah asyik bersama laki-laki sialan itu! Sementara ayahmu meregang nyawa, membutuhkan tanda tangan anaknya hanya untuk melakukan sebuah operasi! Sungguh anak tak tahu diri!" cecarnya memojokkan Clara dengan semua kesalahan besar yang sudah diperbuat.

Gadis itu masih diam tak percaya. Bibirnya kelu, tak sanggup lagi mengucap sepatah kata. Jangankan meminta maaf, bersujud saja tak akan membuat keadaan lebih baik. Tubuhnya gemetar, membayangkan kondisi sang ayah yang saat ini membutuhkannya.

"Tapi Paman, kau bisa mencariku dan..."

"Apa gunanya ponselmu, hah? Coba kau lihat, sudah berapa kali aku menghubungimu? Apa aku harus datang dan menarik paksa keponakanku yang sedang asyik bercumbu dengan pengawalnya, hah?" cecar Leo  yang tak kehilangan akal untuk terus membuat Clara merasa bersalah.

"Aku bisa menjelaskan semuanya! Aku dan David, kami tak sengaja melakukannya! Aku mabuk dan..."

"Diam!" seru Leo yang sibuk dengan dering ponsel di sakunya.

Pria itu berjalan menjauh, berusaha untuk tak terganggu dengan isak Clara yang kali ini  merasa bahwa dirinya benar. Wajahnya terlihat tegang begitu melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Matanya melirik ke arah gadis yang diam dan ikut menunggu komunikasi tersambung.

"Halo!" sapa Leo cepat.

Suara seorang wanita terdengar lamat-lamat. Tapi Clara tak bisa mengetahui dengan jelas apa yang tengah dibicarakan. Kata-katanya tak jelas, tapi yang bisa dirasakan hanya perubahan tubuh Leo yang mendadak menegang. Tangannya menyisir rambut klimisnya ke belakang, penuh sesal.

"Aku mengerti, aku dan Clara akan segera ke sana," katanya seraya menutup telepon.

"Telepon dari siapa? Apa itu Bibi Amy? Apa katanya? Apa ayahku baik-baik saja? Apa aku harus..."

"Ganti pakaianmu dengan warna hitam, hari ini kita akan menyambut tamu untuk ayahmu!" potongnya menutup kalimat Clara yang diam sembari meneteskan air mata tak percaya. "Ayahmu baru saja mengembuskan napas terakhirnya," tambahnya menepuk lengan sang keponkan lembut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status