Share

Dipaksa Menikah!

"Ada apa?" tanya Clara dengan mata bengkak sisa menangis semalam.

Setelah mengantar sang ayah ke peristirahatan terakhir, ia terus mengurung diri di dalam kamar. Makanan yang datang ditolak, begitu juga tamu yang silih berganti ingin bertemu. Wartawan di depan rumah terus menanti kehadiran putri tunggal Bernardo De Quinn yang malam sebelumnya tertangkap basah tengah menjalin kasih dengan pengawal pribadi sang ayah, sebuah skandal yang menghebohkan jagad raya.

Sesak di dada Clara masih terasa. Marah, sedih dan sesal bercampur menjadi satu, tanpa ada yang membelanya. Biasanya selalu ada ceramah panjang yang menghantuinya setelah berulah. Tapi kini semua sepi, tak akan ada lagi cecar penuh nasihat yang terlontar untuk kebaikan gadis itu. Semua tergantikan dengan rasa bersalah yang membuatnya tak bisa tidur dan makan dengan tenang. Seandainya ia tak pergi saat itu, atau seandainya saja ia setuju bertemu dengan pria pilihan sang ayah, pasti semua akan baik-baik saja.

Masa sulit itu semakin pelik dengan kedatangan Leo dan Amy, adik-adik Bernardo, yang muncul bersama barang-barang pribadinya ke rumah mewah miliknya. Tatapannya tajam, siap menghajar Clara yang belum siap menerima semua kenyataan. Ditambah lagi dengan keberadaan David yang juga duduk di sebelah sofa kosong.

"Kita harus bicara!" kata Leo seraya menunjuk sofa kosong di hadapannya.

Langkah gontai Clara menunjukkan betapa lelahnya ia menghadapi semua ini. Hidup enggan, mati pun tak mau, begitulah kira-kira perasaan yang tengah melandanya. Karena hidup tak lagi seindah dulu.

"Akibat ulahmu kemarin, perusahaan harus menderita kerugian, kau tahu itu bukan?" tanya Leo langsung pada intinya. Clara pun mengangguk setuju, karena begitulah kenyataannya. "Maka dari itu, perusahaan meminta aku bertindak untuk menyelesaikan ini semua!" katanya yang langsung membuat keponakannya mengernyit.

"Bertindak? Memangnya apa yang akan Paman lakukan?" tanyanya bingung.

Amy menghela napas kesal. Wanita 45 tahun itu terlalu gemas melihat tingkah keponakannya yang sama sekali tak merasa bersalah dengan kejadian itu. Padahal ada pundi-pundi rupiah dan juga satu nyawa yang harus melayang karena ulahnya.

"Ya tentu saja menikah dengannya! Memangnya kau pikir apa lagi? Masalah ini tak akan selesai sampai kau menikah dan membersihkan nama baik De Quinn!" jawab Amy yang kini mulai meninggikan suaranya. "Jangan berlagak bodoh, kami tahu kalau kalian pasti melakukannya, kan!" katanya menunjuk wajah tampan yang hanya menunduk dalam penuh penyesalan.

Gadis itu terhenyak mengetahui bahwa cerita malam itu tak lagi menjadi rahasia keduanya. Ditambah lagi dengan permintaan kedua adik ayahnya yang tak pernah disangka. Bukannya tak ingin  menikah, tapi Clara belum mau menikah dalam waktu dekat. Apalagi dengan pria yang tak pernah sekalipun mampir dalam bayangan akan menjadi pasangannya.

"Tapi a-aku... Aku tak mau menikah dengannya! Masih ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa pernikahan!" tolaknya tegas.

Clara beranjak dari tempat duduknya, enggan membahas masalah yang ia sendiri tak tahu jalan keluarnya. Menghindar adalah satu-satunya cara yang mampu untuk dilakukannya saat ini. Karena otaknya belum bisa berpikir jernih. Namun, baru berdiri, David sudah menahan tangan gadis itu untuk tetap di tempat. Pria itu beranjak, matanya tajam, memaksa untuk bisa bicara.

"Saya akan menikah dengan Nona Clara!" katanya penuh penekanan. Maniknya menatap Clara sungguh-sungguh. "Kami akan mempertanggung jawabkan semuanya dan berjanji untuk menyelesaikannya segera!" tambahnya penuh percaya diri.

Gadis itu terhenyak untuk kesekian kalinya. David yang sejak tadi diam, mendadak buka suara dengan hasil yang tak pernah ia duga. Keputusan sepihak itu sama sekali tak didiskusikan terlebih dahulu dengannya selaku calon istri.

"Tuan David, kau..."

"Aku setuju! Akan ku atur waktu dan tempatnya, setelah itu kalian segera temui wartawan untuk membersihkan nama perusahaan!" kata Leo sumringah. "Dan satu lagi, kami berdua akan tinggal di sini untuk mengawasi kalian!" tambahnya sebelum benar-benar pergi.

Pria itu menepuk lengan keponakan dan calon keponakannya dengan senang hati. Kakinya melangkah pergi bersama Amy yang membuntuti penuh senyum kemenangan. Semua masalah selesai dalam satu kali duduk tanpa perdebatan seperti yang ia sangka.

"Apa yang kau lakukan?" teriak Clara begitu melihat paman dan bibinya pergi.

"Sssst!" seru David menahan mulut Clara dengan tangannya. Pria itu memberi petunjuk agar gadis itu diam dan tenang. Sementara satu tangannya menunjukkan selembar kertas yang ia simpan di dalam saku.

"A-apa ini?" tanya Clara bingung.

Kertas yang ada di tangannya itu nampak baru, terlipat dengan rapi dengan kepala surat yang jelas menunjukkan sebuah rumah sakit swasta tempat sang ayah mengembuskan napas terakhir. Manik abu itu bergerak cepat membaca isi surat yang membuatnya penasaran.

"Ayah meninggal karena serangan jantung," katanya membaca kesimpulan di akhir tanpa tanda tanya, karena ia tahu betul penyakit itu sudah lama bersarang di tubuh Bernardo.

Namun David menggeleng pelan. Tangannya menunjuk satu kesimpulan lain. Ada satu  jenis obat yang ditemukan dalam tubuh Bernardo yang menjadi pemicu serangan jantung terjadi. Sayangnya Clara menggeleng tanda tak paham.

"Ini adalah insulin, obat yang biasanya digunakan untuk penderita diabetes!" jawab David tanpa perlu mendengar pertanyaan dalam kepala nona mudanya.

Kening Clara mengernyit seketika. Ia tahu ayahnya penderita jantung, namun tak pernah ia tahu bahwa Bernardo juga penderita penyakit gula.

"Ayahku tak memiliki riwa..."

"Aku tahu!" potong David. Sebagai pengawal Bernardo yang lebih lama bersama sang tuan, ia kenal betul semua makanan, obat, kebiasaan, hingga penyakit yang sedang diderita pria tua itu. "Bukankah ini aneh? Tuan Bernardo tak memiliki penyakit diabetes tapi dia mengkonsumsi insulin," katanya memperjelas semua kecurigaan itu.

Clara berpikir keras, coba menghubungkan semua kejanggalan pada kematian sang ayah yang cepat tanpa aba-aba. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan cinta pertamanya. Pertemuan terakhir hanya terjadi ketika sang ayah sudah terbujur kaku, tepat sebelum dilakukan penutupan peti untuk selamanya.

"Dari mana kau mendapatkannya? Kita harus tanyakan ini pada paman dan bibiku! Mereka yang...."

"Clara, stop!" David menarik tangan Clara dan menahannya sekuat tenaga. Kedua lengan kecil itu direngkuhnya erat, dengan wajah saling berhadapan. Matanya menangkap bayangan gadis kecil yang sendiri, ketakutan tanpa penguat di sisinya. "Tidakkah kau lihat bahwa mereka hanya memanfaatkanmu? Mereka hanya menggunakan kita sebagai alat penghilang masalah dan kembali mengeruk harta ayahmu!" katanya membuka mata anak semata wayang yang hilang arah.

"Paman dan Bibiku tak mungkin melakukan itu!" tegasnya tak terima atas tuduhan David.

Namun pria itu menggeleng dengan tegas. Ditunjukkannya hasil tes darah miliknya yang diambil tepat setelah keduanya pulang ke rumah. 

"Kita berdua dijebak! Ada yang menaruh obat perangsang di minuman kita!" katanya membongkar semua rahasia yang disembunyikan rapat-rapat. "Membuatmu menikahiku adalah caranya menunrunkan kualitasmu sebagai pewaris, karena aku hanyalah seorang pengawal!" tambahnya yang menyusun semua alibi yang masuk akal.

Tubuh ramping itu terduduk lemas, tak sanggup lagi berpikir. Otaknya mau pecah menghadapi dua orang keluarga yang nyatanya hanya ingin mengeruk harta peninggalan sang ayah. Belum lagi dirinya yang kini akan menikah dengan seorang pria yang tak pernah ia cinta.

"Lalu aku harus apa? Aku tak punya siapa-siapa di sini! Ayahku sudah tak ada!" katanya seraya menunduk dalam tangis.

David merendah, ia berjongkok di depan Clara menarik tubuh itu ke dalam pelukan sambil berbisik, "Aku akan membantumu membongkar semua kebusukan mereka!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status