"Jadi apa yang harus aku katakan pada mereka?" tanya Clara yang sudah mondar-mandir sejak tadi.David membaca berkas yang sempat terlewat kemarin. Karena buru-buru pulang, ia mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Dan akibatnya, hari ini ada sekelompok masyarakat yang melakukan demo di depan gerbang pabrik, hingga keduanya harus melalui pintu samping.Clara mengintip lewat jendela ruangannya. Matanya terkejut mendapati peserta demo yang semakin banyak. Sebagian dari mereka menuntut pencabutan keputusan pemecatan untuk beberapa orang, termasuk Ratna yang ternyata juga merupakan salah seorang putri daerah. Ialah alasan dari kegiatan demo kali ini."Tunggulah sebentar lagi, kita keluar setelah ada pihak kepolisian."Namun Clara langsung mengambil posisi di samping suaminya. Hatinya tak tenang, karena ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan segerombolan orang yang tak dikenal. Bukan hanya itu, sikap anarkis dan teriakan penuh makian menggambarkan dengan jelas bagaimana kepribadi
"Aku tak mau dan tak akan pernah mau menikah!" seru gadis cantik yang langsung membalikkan wajahnya dengan angkuh.Seketika tangannya bergerak cepat mengambil tas dengan berlogo huruf H besar di sofa dan keluar dari ruangan tanpa pamit. Ditinggalkannya Bernardo De Quinn, pria 60 tahun yang sudah merawatnya sepenuh hati tanpa didampingi sang istri yang sudah lebih dulu pergi."Ikuti dia, jangan biarkan dia sendiri dan melakukan hal gila lagi!" perintah Bernardo pada pria berpakaian serba hitam yang mengangguk seketika.Tangan tuanya memegangi dada yang terasa sakit setiap kali berurusan dengan gadis nakalnya. Clara Quinn, putri semata wayang yang ia besarkan seorang diri nyatanya harus tumbuh menjadi anak pembangkang dan selalu menolak permintaan sang ayah. Kali ini, bukan yang pertama kalinya Bernardo harus menelan obat-obat dokter untuk mengurangi sakit jantung yang kambuh akibat ulah putri semata wayangnya.Sementara langkah kaki Clara menyusuri anak-anak tangga dengan cepat. Tubuh
"Siapa yang meneleponku pagi-pagi sekali?" teriak Clara seraya mengambil ponsel yang entah ada di mana.Tangannya bergerak mencari-cari ke seluruh arah, karena matanya masih berat untuk terbuka. Berdasar indera pendengar dan peraba yang bekerja sama, Clara akhirnya menemukan ponselnya dan mulai menekan tombol hijau tanda panggilan masuk."Halo!" sapanya ketus."Kau di mana? Keributan apa lagi yang sudah kau perbuat, hah?"Rentetan pertanyaan yang kali ini keluar dari mulut orang lain membuat Clara terjaga penuh. Tubuhnya beranjak dengan mata abu terbelalak tak percaya. Maniknya berkeliling, memandangi semua yang ada di dekatnya kini."Kau sungguh keterlaluan! Berita tentangmu muncul di seluruh media, Clara! Kau sudah gila, hah?" cecar pria di seberang yang terus menekannya untuk memikirkan hal yang ia saja tak tahu."Berita? Berita ap..." Gadis itu terhenyak melihat notifikasi yang masuk ke ponsel dan menunjukkan video dirinya dengan seorang pria tampan yang tengah berciuman di lorong
"Ada apa?" tanya Clara dengan mata bengkak sisa menangis semalam.Setelah mengantar sang ayah ke peristirahatan terakhir, ia terus mengurung diri di dalam kamar. Makanan yang datang ditolak, begitu juga tamu yang silih berganti ingin bertemu. Wartawan di depan rumah terus menanti kehadiran putri tunggal Bernardo De Quinn yang malam sebelumnya tertangkap basah tengah menjalin kasih dengan pengawal pribadi sang ayah, sebuah skandal yang menghebohkan jagad raya.Sesak di dada Clara masih terasa. Marah, sedih dan sesal bercampur menjadi satu, tanpa ada yang membelanya. Biasanya selalu ada ceramah panjang yang menghantuinya setelah berulah. Tapi kini semua sepi, tak akan ada lagi cecar penuh nasihat yang terlontar untuk kebaikan gadis itu. Semua tergantikan dengan rasa bersalah yang membuatnya tak bisa tidur dan makan dengan tenang. Seandainya ia tak pergi saat itu, atau seandainya saja ia setuju bertemu dengan pria pilihan sang ayah, pasti semua akan baik-baik saja.Masa sulit itu semakin
"Minggu depan kalian akan menikah!" kata Leo menegaskan keputusannya sebagai kepala keluarga De Quinn untuk saat ini.Amy mengangguk setuju, sembari menyantap sarapannya pagi itu. Wanita dengan dandanan terang bak lampu neon itu nampak menikmati layanan yang ada di rumah besar sang kakak dengan angkuh. Gayanya bak pemilik rumah, bahkan melebihi Clara yang biasanya begitu manja dan pilih-pilih.Sementara David terus berdiri di sisi calon istrinya, masih bertugas sebagai pengawal pribadi. Sebelum sah menjadi suami-istri, keduanya sepakat untuk tetap bertindak sebagai atasan dan bawahan seperti biasa. "Selain itu, aku ingin mengatakan padamu tentang wasiat terakhir kakakku," katanya yang mampu membuat wajah Clara mendongak.Gadis yang telah kehilangan harap itu hanya mengacak makanannya tanpa selera. Ia sudah tahu bahwa pagi itu akan membicarakan terkait pernikahannya yang sudah di depan mata. Namun tak disangka bahwa sang paman akan mengatakan sebuah permintaan terakhir yang tak sempat
"Pengantin wanita dipersilakan untuk masuk!"Clara menarik napas dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam gereja kecil yang berada di pinggir kota. Manik abunya mengambang penuh air mata begitu pintu terbuka dan menunjukkan isi di dalam ruangan yang tak diisi banyak orang. Hanya ada Leo dan Amy yang duduk di sisi kiri, sebagai perwakilan keluarganya. Sementara Tuang Charles, pengacara pribadi keluarga, mewakili keluarga dari David yang diketahui adalah seorang yatim piatu.Gadis itu hampir saja tersandung saat berjalan sendiri, tanpa sosok ayah yang mengantarkannya sampai ke altar. Hatinya remuk, tak pernah membayangkan pernikahan kecil yang diselenggarakan sembunyi-sembunyi agar tak ada wartawan yang meliput. Sementara di altar, telah berdiri pengantin pria tampan dengan jas berwana putih, persis seperti gaun yang kini dikenakan Clara. Setangkai mawar menghiasi kantong kirinya, membuat tubuh tegap itu semakin sedap dipandang. Senyumnya lebar, menyambut pengantin cantik dengan
"Saham milik ayahku dibekukan?"Clara mendengus kesal mendengar berita yang tak hanya mengejutkan, tapi mampu membuat tensinya naik drastis. Charles, pengacara pribadi keluarganya ternyata sudah hadir di kantor lebih dulu dari pada ia dan David. Nampaknya pria tua itu sengaja, untuk mengumpulkan data-data dan juga informasi penting agar nantinya bisa disampaikan pada sang ahli waris seharusnya."Tapi kau adalah pengacara ayahku, Tuan Charles! Harusnya kau bisa membantuku untuk mendapatkan hakku sebagai anaknya!" kata Clara berusaha menekan.Pria tambun berkacamata itu menggeleng pelan. Ia baru saja mendapatkan informasi bahwa Leo dan Amy telah menunjuk pengacara baru yang tentu saja membantu mereka untuk melawan Charles. Ditambah lagi munculnya petisi dari para pemegang saham lain yang tak mau gadis 25 tahun itu menggantikan posisi sang ayah."Aku akan coba melobi beberapa pemegang saham lain agar mau memberikmu kesempatan. Tapi aku butuh waktu, karena...""Aku tak butuh alasan apapun
"Urgh!" seru Clara kesal.Sudah satu jam lamanya ia membolak-balikkan badan, tapi matanya tak jua terpejam. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Tapi yang jelas, ia terus melirik pria yang sejak tadi terlelap di sofa empuk dekat ranjangnya.Tangannya menyentuh dada yang kembang kempis tak karuan. Jantungnya terus berdegup kencang, terutama saat melihat wajah David yang tengah mengarungi lautan mimpi. Dengan rambut klimis, jambang tipis dan deru napas yang membuat wajahnya semakin manis."Astaga!" serunya sembari menutup pipi tomatnya dengan selimut.Ini bukan pertama kalinya ia memandangi wajah pengawal yang kini sudah sah menjadi suaminya. Tapi rasanya baru kali ini Clara merasa pria itu menarik. Garis wajah yang keras dan dingin hanya hiasan, karena nyatanya begitu lunak hatinya ketika berhadapan dengan wanita."Apa yang kau lakukan?""Hah? Apa?" tanya Clara yang terkejut begitu mendengar suara bariton David. Gadis itu beranjak dan melihat pria itu sudah dalam posisi duduk. "Kau ta