"Apa yang terjadi?" tanya David dengan telepon yang tersambung dengan pengeras suara di mobilnya.Pria itu mendengarkan dengan seksama penjelasan demi penjelasan yang diutarakan mantan bawahannya. Kepalanya berdenyut kencang setiap kali sesuatu terjadi pada sang istri. Bukan hanya karena Clara tengah sakit dan beristirahat di rumah, tapi juga karena secara kedewasaan, gadis itu masih cukup muda untuk mengemban tanggung jawab sebesar itu.Kakinya menginjak pedal gas semakin dalam, bersama fokus mata yang tak teralihkan dari jalanan. Tangannya memegangi kepala yang terus memutar otak untuk membuat gadisnya semakin kuat. Bukan untuknya, tapi minimal untuk diri Clara sendiri. Dan itu adalah tugas yang cukup berat bagi David.Clara hidup dengan bergelimang harta dengan jutaan pengawal dan pelayan yang biasa membantunya. Dengan kondisinya kini, ditambah keberadaan Amy dan Leo yang terus merongrong hartanya, maka semua tak akan bisa kembali seperti sedia kala. Gadis itu harus bisa belajar ma
"Mobil sudah siap, kita berangkat sekarang!" teriak David dari luar kamar.Satu kalimat dari pria itu membuat Clara tersentak. Gadis itu diam untuk beberapa saat. Sejak semalam sikap mereka menjadi canggung. Lebih tepatnya sejak ciuman yang didaratkan suaminya itu tanpa aba-aba.Tentu saja itu bukan ciuman pertama mereka. Namun kali ini begitu membekas karena David membuat permainan mereka semakin dalam dan nyaris terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Beruntung keduanya masih cukup sadar diri.Gara-gara perbuatannya, David harus menerima takdir untuk tidur di luar. Ya, Clara mengusirnya dan melarang pria itu untuk tidur di kamar yang sama dengannya. Karena ia butuh istirahat dan melihat wajah suaminya membuatnya semakin tak bisa tidur."Aku turun!" katanya seraya bergerak untuk memulai hari.Dengan satu set pakaian kantor yang rapi, Clara pergi bersama David. Hanya mereka berdua tanpa ditemani sopir. Keduanya sepakat untuk bersama menjalankan tantangan dari Leo. Sehingga intensitas di
"Jadi apa yang harus aku katakan pada mereka?" tanya Clara yang sudah mondar-mandir sejak tadi.David membaca berkas yang sempat terlewat kemarin. Karena buru-buru pulang, ia mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Dan akibatnya, hari ini ada sekelompok masyarakat yang melakukan demo di depan gerbang pabrik, hingga keduanya harus melalui pintu samping.Clara mengintip lewat jendela ruangannya. Matanya terkejut mendapati peserta demo yang semakin banyak. Sebagian dari mereka menuntut pencabutan keputusan pemecatan untuk beberapa orang, termasuk Ratna yang ternyata juga merupakan salah seorang putri daerah. Ialah alasan dari kegiatan demo kali ini."Tunggulah sebentar lagi, kita keluar setelah ada pihak kepolisian."Namun Clara langsung mengambil posisi di samping suaminya. Hatinya tak tenang, karena ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan segerombolan orang yang tak dikenal. Bukan hanya itu, sikap anarkis dan teriakan penuh makian menggambarkan dengan jelas bagaimana kepribadi
"Aku tak mau dan tak akan pernah mau menikah!" seru gadis cantik yang langsung membalikkan wajahnya dengan angkuh.Seketika tangannya bergerak cepat mengambil tas dengan berlogo huruf H besar di sofa dan keluar dari ruangan tanpa pamit. Ditinggalkannya Bernardo De Quinn, pria 60 tahun yang sudah merawatnya sepenuh hati tanpa didampingi sang istri yang sudah lebih dulu pergi."Ikuti dia, jangan biarkan dia sendiri dan melakukan hal gila lagi!" perintah Bernardo pada pria berpakaian serba hitam yang mengangguk seketika.Tangan tuanya memegangi dada yang terasa sakit setiap kali berurusan dengan gadis nakalnya. Clara Quinn, putri semata wayang yang ia besarkan seorang diri nyatanya harus tumbuh menjadi anak pembangkang dan selalu menolak permintaan sang ayah. Kali ini, bukan yang pertama kalinya Bernardo harus menelan obat-obat dokter untuk mengurangi sakit jantung yang kambuh akibat ulah putri semata wayangnya.Sementara langkah kaki Clara menyusuri anak-anak tangga dengan cepat. Tubuh
"Siapa yang meneleponku pagi-pagi sekali?" teriak Clara seraya mengambil ponsel yang entah ada di mana.Tangannya bergerak mencari-cari ke seluruh arah, karena matanya masih berat untuk terbuka. Berdasar indera pendengar dan peraba yang bekerja sama, Clara akhirnya menemukan ponselnya dan mulai menekan tombol hijau tanda panggilan masuk."Halo!" sapanya ketus."Kau di mana? Keributan apa lagi yang sudah kau perbuat, hah?"Rentetan pertanyaan yang kali ini keluar dari mulut orang lain membuat Clara terjaga penuh. Tubuhnya beranjak dengan mata abu terbelalak tak percaya. Maniknya berkeliling, memandangi semua yang ada di dekatnya kini."Kau sungguh keterlaluan! Berita tentangmu muncul di seluruh media, Clara! Kau sudah gila, hah?" cecar pria di seberang yang terus menekannya untuk memikirkan hal yang ia saja tak tahu."Berita? Berita ap..." Gadis itu terhenyak melihat notifikasi yang masuk ke ponsel dan menunjukkan video dirinya dengan seorang pria tampan yang tengah berciuman di lorong
"Ada apa?" tanya Clara dengan mata bengkak sisa menangis semalam.Setelah mengantar sang ayah ke peristirahatan terakhir, ia terus mengurung diri di dalam kamar. Makanan yang datang ditolak, begitu juga tamu yang silih berganti ingin bertemu. Wartawan di depan rumah terus menanti kehadiran putri tunggal Bernardo De Quinn yang malam sebelumnya tertangkap basah tengah menjalin kasih dengan pengawal pribadi sang ayah, sebuah skandal yang menghebohkan jagad raya.Sesak di dada Clara masih terasa. Marah, sedih dan sesal bercampur menjadi satu, tanpa ada yang membelanya. Biasanya selalu ada ceramah panjang yang menghantuinya setelah berulah. Tapi kini semua sepi, tak akan ada lagi cecar penuh nasihat yang terlontar untuk kebaikan gadis itu. Semua tergantikan dengan rasa bersalah yang membuatnya tak bisa tidur dan makan dengan tenang. Seandainya ia tak pergi saat itu, atau seandainya saja ia setuju bertemu dengan pria pilihan sang ayah, pasti semua akan baik-baik saja.Masa sulit itu semakin
"Minggu depan kalian akan menikah!" kata Leo menegaskan keputusannya sebagai kepala keluarga De Quinn untuk saat ini.Amy mengangguk setuju, sembari menyantap sarapannya pagi itu. Wanita dengan dandanan terang bak lampu neon itu nampak menikmati layanan yang ada di rumah besar sang kakak dengan angkuh. Gayanya bak pemilik rumah, bahkan melebihi Clara yang biasanya begitu manja dan pilih-pilih.Sementara David terus berdiri di sisi calon istrinya, masih bertugas sebagai pengawal pribadi. Sebelum sah menjadi suami-istri, keduanya sepakat untuk tetap bertindak sebagai atasan dan bawahan seperti biasa. "Selain itu, aku ingin mengatakan padamu tentang wasiat terakhir kakakku," katanya yang mampu membuat wajah Clara mendongak.Gadis yang telah kehilangan harap itu hanya mengacak makanannya tanpa selera. Ia sudah tahu bahwa pagi itu akan membicarakan terkait pernikahannya yang sudah di depan mata. Namun tak disangka bahwa sang paman akan mengatakan sebuah permintaan terakhir yang tak sempat
"Pengantin wanita dipersilakan untuk masuk!"Clara menarik napas dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam gereja kecil yang berada di pinggir kota. Manik abunya mengambang penuh air mata begitu pintu terbuka dan menunjukkan isi di dalam ruangan yang tak diisi banyak orang. Hanya ada Leo dan Amy yang duduk di sisi kiri, sebagai perwakilan keluarganya. Sementara Tuang Charles, pengacara pribadi keluarga, mewakili keluarga dari David yang diketahui adalah seorang yatim piatu.Gadis itu hampir saja tersandung saat berjalan sendiri, tanpa sosok ayah yang mengantarkannya sampai ke altar. Hatinya remuk, tak pernah membayangkan pernikahan kecil yang diselenggarakan sembunyi-sembunyi agar tak ada wartawan yang meliput. Sementara di altar, telah berdiri pengantin pria tampan dengan jas berwana putih, persis seperti gaun yang kini dikenakan Clara. Setangkai mawar menghiasi kantong kirinya, membuat tubuh tegap itu semakin sedap dipandang. Senyumnya lebar, menyambut pengantin cantik dengan