"Jangan berisik!" sergah Raven.
“Hais … sebagai seorang mantan tentara berbintang banyak dan suaminya, bagaimana kamu menilai hal ini?" tanyanya sembari menonton Vivian yang hanya menangis dan berteriak minta tolong ketika dua laki-laki yang dikirimnya itu berhasil membully Vivian dengan mudah.Sedangkan Raven hanya diam saja sambil terus menatap layar laptopnya. Dia bukanlah Sean yang mudah ditipu oleh Vivian. Dia hafal setiap inci tubuh Vivian, begitu juga dengan isi pikiran wanita yang pernah membuatnya jatuh dalam perasaan cinta buta itu.‘Dia masih tajam,’ batinnya yang bisa menebak kalau Vivian sebenarnya sudah menyadari jika dua laki-laki itu adalah kiriman mereka.“Rav, bagaimana menurutmu?” tanya Sean sekali lagi sambil menepuk pundak Raven yang hanya diam saja.Raven pun menoleh. “Menurutku kamu bodoh,” jawabnya berubah santai.“Hah?” Sean terkejut mendapat komentar seperti itu.Lalu Raven dengan cepat menutup laptopnya. “Cepat selesaikan kekacauan ini. Aku tidak ingin orang tua itu mendegar ada hal yang seperti ini di perusahaanya!" perintahnya.Sean pun mengerutkan keningnya. “Apa kamu percaya kalau dia bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi.“Jika dia bukan Vivian, dia tetap harus menjadi Vivian.”Jawaban ambigu tersebut langsung membuat Sean memijat keningnya. “Ah, terserah kamu,” sahutnya sambil berjalan meninggalkan ruangan itu. Lima belas menit pun berlalu dengan sunyi. Dan tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu masuk ruangan itu.“Masuk!” ucap Raven.Kemudian masuklah seorang wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Raven menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, terlihat plaster di lututnya dan juga luka lebam di sudut bibir wanita yang kini sedang menatapnya dengan sendu.“Selamat siang Tuan Raven, maafkan keterlambatan saya,” ucap wanita tersebut dengan kepala yang kini tertunduk.“Nona Heta, apa kamu ingin mempermalukanku dengan berpakaian seperti itu?” Raven berkomentar layaknya seorang bos.Vivian pun langsung terisak. “Ma-ma-maafkan saya Tuan, saya baru saja mengalami kejadian buruk,” ujarnya sambil menggenggam erat ujung kemeja yang digunakannya. Vivian berusaha memperlihatkan bahwa dirinya sedang merasa tertekan saat ini.“Di sini tempat kerja, bukan kantor polisi,” sahut Raven sambil mengambil kartu ATM dan melemparkannya ke dada Vivian dan akhirnya benda tersebut pun jatuh ke lantai. “Ambil itu, pakai untuk membeli baju! Setelah itu kamu kembali ke sini untuk tanda tangan kontrak!” titahnya.Vivian mengepalkan tangannya kuat dan kemudian berjongkok untuk memungut kartu ATM milik Raven. ‘Sialan, dia masih saja bossy seperti dulu,’ batinnya sambil kembali berdiri tegap.“Baik Tuan, terima kasih,” ujarnya dan kemudian pergi meninggalkan ruangan itu secepat yang ia bisa.“Vivian, apa kamu pikir kamu bisa menipuku hanya dengan mengubah tingkahmu,” gumam Raven sambil menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati oleh Vivian. “Kamu harus membayar semuanya Vi, harus.”**Sore harinya. Seperti yang sudah ditentukan, sore itu Vivian pulang bersama Yana. Mereka terus mengobrol, membicarakan kejadian yang menimpa Vivian di toilet tadi.“Huf ... sungguh beruntung nasibku tadi Yan. Untunglah baberapa karyawan masuk ke toilet saat itu. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi padaku tadi,” ucap Vivian sambil mengelus dadanya beberapa kali.“Ini keterlaluan Het,” geram Yana.Vivian lalu menoleh ke arah wanita yang sedang menyetir di sampingnya itu. “Apa semua laki-laki di perusahaan seperti itu? Aku belum banyak bertemu orang di perusahaan, tapi beberapa laki-laki yang kutemui hari ini adalah hidung belang semua," ujarnya dengan nada bicara dan ekspresi yang menunjukkan kegelisahan.“Jangan menyamaratakan, ada banyak laki-laki yang baik di perusahaan. Kamu tenang saja,” sahut Yana dengan lebih santai, mencoba menghibur Vivian.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Vivian seolah benar-benar bersyukur dengan hal itu.Kemudian mereka pun kembali mengobrol seputar masalah perusahaan, hingga sebuah pertanyaan muncul dari Vivian.“Ah iya, aku dengar kalau ada pameran yang sedang perusahaan persiapkan, kapan itu?” tanyanya.“Kenapa, apa Tuan Raven menyinggung masalah ini?” tanya Yana balik sembari melirik ke arah Vivian.“Em ... tadi Tuan Raven memang sedikit menyinggungnya. Sebenarnya aku ingin menyusun jadwalnya sampai hari itu, tapi tidak enak jika harus banyak bertanya padanya,” terang Vivian.“Dua bulan lagi,” jawab Yana. “Ck, tapi kami masih kesulitan membuat desainnya,” imbuhnya. Vivian pun mengangguk-ngangguk. “Memang tidak ada temanya?”“Ada.”“Apa?”“Kesunyian,” jawab Yana singkat.Vivian langsung berekspresi aneh. “Apa Tuan Raven yang memberikan tema itu?” tanyanya.“Kamu tahu?” tanya Yana sambil melirik ke arah Vivian sekali lagi.“Ya ... aku hanya menebak saja.”‘Narsis sekali dia,’ batin Vivian mengomentari tentang Raven sembari menatap jalanan di depan mereka.“Awalnya temanya sungai,” ujar Yana lalu menghela napas dalam. “Kami sudah menyiapkannya lima puluh persen. Tapi saat dia datang, tiba-tiba dia merubah tema.”“Ck, sungguh seorang bos,” celetuk Vivian.Tiba-tiba Yana terkekeh mendengar hal itu. “Bukankah dia memang bos kita?”“Eh benar juga. Haruskah aku menyebutnya tirani?” sahut Vivian sambil ikut tertawa.“Oh iya, lalu katanya lagi akan ada kalung yang namanya ....” Vivian sengaja tak meneruskan kalimatnya untuk memancing tanggapan dari Yana.“Black swan?” Yana.“Benar, itu.” Vivian kembali menoleh. “Apa benar black swan itu ada?”“Ada,” sahut Yana. “Kami menyelesaikannya bulan lalu, itu akan menjadi pusat acara nantinya.”“Wah, pasti cantik. Kira-kira siapa yang mampu memilikinya, aku penasaran.”“Pasti bukan salah satu dari kita,” sahut Yana lalu kembali tertawa lepas. “Kamu pasti akan terpesona saat melihatnya nanti.”“Woah! Apa black swan ada di perusahaan? Jika ada, kira-kira apa aku punya kesempatan untuk melihatnya?”“Black swan memang ada di perusahaan, tapi itu diletakkan khusus bersama dengan perhiasan mahal lainnya. Tidak akan ada yang bisa masuk ke sana kecuali Presdir,” terang Yana.“Presdir ya ...,” gumam Vivian sambil manggut-manggut. “Sepertinya aku tidak punya harapan,” imbuhnya sambil tersenyum pahit.“Tenang saja, kamu juga akan melihatnya dua bulan lagi.”“Benar juga.” Vivian menghela napas panjang dan menunjukkan kekecewaan di wajahnya. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di depan rumah Vivian. Vivian pun berterima kasih dan berbasa-basi sebentar dengan Yana, hingga akhirnya ia dengan cepat masuk ke dalam rumah berlantai satu tersebut.Namun ketika baru saja membuka pintu rumah, tiba-tiba sebuah tatapan tajam menyapanya.“Nyonya Vivian Marquis, kamu lupa ini hari apa?” tekan seorang anak laki-laki dengan dua pisau berlumur darah di tangannya.Seketika Vivian menelan ludahnya.“Ah, itu ....”“Di mana barangnya?” Anak laki-laki itu bertanya sambil mengacungkan pisau di tangan kanannya.Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol