Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
“Bagaimana, apa kamu berhasil melacak posisinya?” Seorang wanita tengah berbicara dengan orang lain lewat earphone yang terpasang di belakang telinganya.Wanita tersebut melakukan hal itu sembari berjongkok di depan lift khusus. Ia berpura-pura sedang membetulkan sepatunya karena saat ini sedang ada dua CCTV yang menyorot tepat ke arahnya.“Aku belum bisa mendapatkannya. Sistem keamanan mereka sangat sulit ditembus,” ujar orang yang ada di dalam panggilan tersebut.“Ayolah, seharusnya perhiasan seperti itu ada di ruang penyimpanan atau sejenisnya.” “Vivian Marquis, apa kamu pikir meretas sebuah gedung sama tingkatannya dengan meretas ponsel mantan suami gilamu,” sahut orang yang ada di dalam panggilan tersebut.“Ck, jangan mengungkitnya, dia itu bencana.” Di sisi lain, saat ini terlihat dua orang laki-laki yang sedang berdiri tak jauh dari pintu lift. Mereka terus mengamati tingkah aneh Vivian selama beberapa saat.“Ehem!” dehem salah satu dari kedua laki-laki tersebut k
Seketika Vivian menelan ludahnya. "Sa-saya, maaf saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya. Tolong maafkan atas kebodohan saya ini," jawab Vivian dengan tubuh gemetar.Ia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan ketakutan palsunya pada Raven karena Vivian yang asli seharusnya tidak semudah itu untuk diintimidasi oleh Raven. "Ehem!" Tiba-tiba Sean menyela. "Kamu bis—" Ting! Suara pintu lift memotong kalimat Sean.Tanpa basa-basi Vivian pun keluar dari ruangan itu sesaat setelah pintu di depannya terbuka. Dan seperti undang-undang tak tertulis di perusahaan, ia membungkukkan tubuhnya ketika Raven berjalan melewati dirinya. Hingga, pada akhirnya Sean yang ada di belakang Raven tiba-tiba berhenti tepat di depan Vivian.“Semangat, kita akan lebih sering bertemu setelah ini,” bisiknya.Mata Vivian langsung terbelalak ketika mendengar ucapan Sean. ‘Apa dia secepat ini mengenaliku?’ batinnya sembari menoleh dan menatap ke arah Sean dan Raven yang kini semakin jauh dari pandangannya.
"Jangan berisik!" sergah Raven.“Hais … sebagai seorang mantan tentara berbintang banyak dan suaminya, bagaimana kamu menilai hal ini?" tanyanya sembari menonton Vivian yang hanya menangis dan berteriak minta tolong ketika dua laki-laki yang dikirimnya itu berhasil membully Vivian dengan mudah.Sedangkan Raven hanya diam saja sambil terus menatap layar laptopnya. Dia bukanlah Sean yang mudah ditipu oleh Vivian. Dia hafal setiap inci tubuh Vivian, begitu juga dengan isi pikiran wanita yang pernah membuatnya jatuh dalam perasaan cinta buta itu.‘Dia masih tajam,’ batinnya yang bisa menebak kalau Vivian sebenarnya sudah menyadari jika dua laki-laki itu adalah kiriman mereka.“Rav, bagaimana menurutmu?” tanya Sean sekali lagi sambil menepuk pundak Raven yang hanya diam saja.Raven pun menoleh. “Menurutku kamu bodoh,” jawabnya berubah santai.“Hah?” Sean terkejut mendapat komentar seperti itu.Lalu Raven dengan cepat menutup laptopnya. “Cepat selesaikan kekacauan ini. Aku tidak ingin oran
“Hei, tunggu Shine sayang,” ucap Vivian sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang ditodong.“Jes! Kamu di mana?” teriaknya.Segera, seseorang dari dalam rumah berlari keluar. “Apa?” tanyanya dengan nada tinggi seperti yang Vivian lakukan.Namun, seketika dia ikut menelan ludah saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu menodongkan sebuah pisau berlumuran darah ke arah Vivian.“Shine, Sayang ... turunkan pisau itu, kita bicarakan baik-baik, Sayang,” bujuk Jessy dengan suara lembut.Jelas bukan Shine namanya kalau bisa dibujuk dengan mudah. “Apa yang mau kamu lakukan, Je?” tanyanya sambil berganti menodongkan pisau tersebut ke arah Jessy. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja pintu di belakang Vivian diketuk.“Paket!” teriak orang yang ada di luar.Seketika Vivian pun langsung berbalik dan membuka pintu tersebut. “Kenapa kamu lama sekali,” gerutunya sambil menarik tangan orang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.Orang tersebut langsung mengikuti tarikan Vivia
“Nona Heta,” panggil seseorang yang saat ini berjalan dengan santai ke arah Vivian.Tanpa menoleh pun Vivian bisa tahu siapa orang di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang mendengar langkah kaki laki-laki di belakangnya tiba-tiba berhenti. ‘Dia di belakangku,’ batin Vivian.“Apa yang sedang kamu lakukan di ruanganku, Nona?” tanya Raven dengan tenang.Vivian pun menoleh dan dengan cepat berdiri. “Maafkan saya Tuan, saya sedang mencari benda milik saya yang hilang,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kalung yang baru dia tarik dari lehernya sesaat yang lalu.“Oh ya?” Terlihat jelas keraguan dari ekspresi wajah Raven.“Benar Tuan. Saya baru menyadari kalau kalung ini hilang ketika akan tidur, jadi saya terburu-buru kemari,” jawabnya sambil menunjukkan piyama yang saat ini dipakainya.Raven pun manggut-manggut seolah percaya. “Jadi seperti itu.”“Tadi saya juga mencari di ruangan saya, tapi kalung ini tidak ada. Jadi saya terpaksa mencarinya di sini, Tuan,” terangnya lebih lanjut.“Oke,
Empat jam lebih berlalu, akhirnya Vivian pun bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya karena merasa pandangannya sedikit buram.‘Di mana ini?’ batin Vivian sembari memijat keningnya yang terasa masih sedikit pusing akibat hantaman di kepalanya tadi.Setelah pandangannya terasa lebih baik, akhirnya Vivian pun menatap sekitar dan melihat dekorasi mewah yang terasa tak asing baginya, hingga ....“Dia!” pekiknya yang terkejut ketika melihat seorang laki-laki tampan yang kini berbaring di sampingnya.“Kenapa berisik sekali?” tanya laki-laki yang ada di sampingnya itu sembari bangun dan mengusap-ngusap wajahnya.“Kamu, kamu kenapa di sini?” tanya Vivian.“Aku? Ini rumahku,” jawab laki-laki tersebut dengan santai.Tiba-tiba Vivian tersadar akan sikapnya yang salah. ‘Kamu harus berpura-pura Vi, siapa tahu dia masih bisa ditipu,’ pikirnya.“Tuan sa—““Apa kamu masih mencoba untuk menipuku?” tanya Raven yang saat ini menatap Vivian dengan ekspresi malas yang tercetak jelas di wajahnya.“Menipu