Seketika Vivian menelan ludahnya. "Sa-saya, maaf saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya. Tolong maafkan atas kebodohan saya ini," jawab Vivian dengan tubuh gemetar.
Ia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan ketakutan palsunya pada Raven karena Vivian yang asli seharusnya tidak semudah itu untuk diintimidasi oleh Raven."Ehem!" Tiba-tiba Sean menyela. "Kamu bis—"Ting! Suara pintu lift memotong kalimat Sean.Tanpa basa-basi Vivian pun keluar dari ruangan itu sesaat setelah pintu di depannya terbuka. Dan seperti undang-undang tak tertulis di perusahaan, ia membungkukkan tubuhnya ketika Raven berjalan melewati dirinya. Hingga, pada akhirnya Sean yang ada di belakang Raven tiba-tiba berhenti tepat di depan Vivian.“Semangat, kita akan lebih sering bertemu setelah ini,” bisiknya.Mata Vivian langsung terbelalak ketika mendengar ucapan Sean. ‘Apa dia secepat ini mengenaliku?’ batinnya sembari menoleh dan menatap ke arah Sean dan Raven yang kini semakin jauh dari pandangannya. Setelah beberapa saat mematung memikirkan hal tersebut, kemudian Vivian pun kembali ke dalam lift. Ia dengan cepat mencoba kembali menghubungi Jessi sahabatnya menggunakan alat kecil di belakang telinganya.“Iya, Vi?” ucap Jessy yang ada di dalam panggilan itu.“Brengsek, kamu tidak mengatakan kalau laki-laki sialan itu Presdir di sini,” protes Vivian dengan suara yang ditahan sekecil mungkin.“Siapa?”“Ck, Raven,” jawab Vivian.“Raven, suamimu?”"Sudahlah."Vivian langsung mematikan panggilan tersebut tanpa memberikan jawaban pasti.“Sialan, aku harus cepat menemukan perhiasan itu,” gumam Vivian sambil melakukan peregangan di lehernya. Sementara itu, saat ini Raven yang sudah berada di ruangannya merasa terganggu dengan siulan dan celotehan Sean tentang gadis lift yang mengaku bernama Heta tadi.“Jadi, kamu ingin aku menyelidiki atau langsung menyeret dia ke sini?” tanya Sean sambil duduk di sofa yang ada di ruangan itu.“Selidiki dia. Cari tahu ke mana dia selama lima tahun ini!” perintah Raven sembari mengambil pena yang ada di meja kerjanya.“Tapi ...,” ujar Sean menjeda, “kamu pasti tahu kalau aku tidak bisa melakukan itu jika kamu bukan pres—““Adakan rapat satu jam lagi,” sela Raven. “Dan katakan pada orang tua itu kalau aku menerima jabatan ini."Sesaat kemudian sebuah hembusan panjang pun muncul dari bibir Sean. “Aku kasihan pada nasib wanita itu. Semoga setelah ini dia baik-baik saja,” selorohnya sambil melirik ke arah sahabatnya.Tiba-tiba seringai muncul di bibir Raven. “Kita lihat, apa dia masih bisa baik-baik saja setelah lima tahun bersembunyi dariku,” ucapnya penuh arti. “Jangan terlalu kejam, dia bisa saja kabur seperti dulu.”“Dulu ....” Raven tersenyum remeh. “Dia mati, kuburannya saja kubongkar, apalagi sekarang. Jika dia tidak bisa diam, akan kupotong kakinya.” Ya, lima tahun lalu Raven pernah melakukan sesuatu yang menggemparkan seluruh Northern city. Dia meminta orang untuk menggali kuburan istrinya tepat sehari setelah istrinya dimakamkan. Hal itu menghebohkan semua orang. Namun yang lebih membuat gempar adalah saat peti mati istri Raven di buka, jasad wanita yang dicintai Raven itu menghilang tanpa jejak.“Sungguh istri yang malang,” komentar Sean sambil terkekeh.Sean adalah saksi hidup bagaimana cinta aneh milik pasangan suami-istri itu terjalin.Ya, Raven dan Vivian dulu adalah pasangan suami-istri yang sangat serasi, hingga suatu hari pekerjaan asli Vivian terbongkar dan membuat Raven memutuskan untuk mengurung Vivian di sisinya, tetapi tak berhasil.**Pukul satu siang. Saat ini Vivian sedang berada di kantin bersama para karyawan lainnya. Dia yang seorang anak baru langsung membawa makanannya ke meja yang berada di sudut ruangan itu. Hingga ....“Kamu anak baru?” tanya seorang karyawan perempuan sembari duduk di samping Vivian.Vivian pun menoleh dan menatap wanita berambut pixie di dekatnya itu. “Benar. Nama saya Heta,” ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.Wanita tersebut langsung menerima jabat tangan itu sambil berkata, “Panggil saja aku Yana.”“Yana,” ucap Vivian sembari mengangguk-angguk. Dia memang sengaja bertingkah seperti itu karena karakter Heta yang sedang diperankannya saat ini adalah karakter seorang gadis yang polos dan periang.“Heta ya,” gumam Yana. “Kamu bekerja di bagian apa?” tanyanya.“Saya ini seorang—““Ck, hentikan menggunakan kata ‘saya’. Pakai saja kata ‘aku’ saat kita sedang bicara,” potong Yana.Vivian pun kembali mengangguk. “Aku bekerja sebagai gadis lift. Kalau kamu?”“Aku bekerja di bagian desain,” jawab Yana singkat sambil mengaduk makanannya.‘Bagus, kalau begitu aku harus berteman dengan dia,’ pikir Vivian sambil menyembunyikan senyum bahagianya saat ini.Pada akhirnya Vivian pun melakukan pendekatan. Mereka berbicara panjang lebar bahkan berjanji akan pulang bersama karena tempat tinggal mereka searah. Namun, di tengah obrolan seru tiba-tiba seorang perempuan datang ke meja mereka.“Nona Heta,” panggil perempuan paruh baya tersebut.Heta seketika berdiri dari tempat duduknya. “Iya, saya,” sahutnya.“Setelah ini kamu pergi ke ruangan Presdir!"Kalimat dingin dari wanita paruh baya tersebut langsung membuat Vivian mengernyit. “Presdir, kenapa?”Sesaat kemudian sebuah sahutan pun muncul dari arah lain. “Itu karena kamu akan menjadi asisten pribadi Presdir, Nona Heta.”Vivian pun langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. ‘Ck, Buaya sialan!’ makinya di dalam hati ketika melihat senyum cerah Sean.“Kamu harus berterima kasih padaku Nona, karena aku yang merekomendasikanmu pada Presdir.”Dengan diiringi senyum profesionalnya, Vivian berkata, “Terima kasih banyak Tuan Sean, tetapi saya rasa saya kurang mampu untuk memiliki posisi ini. Maafkan saya, saya tidak berani mengambilnya.”Tiba-tiba saja Sean menengadahkan tangannya dan wanita paruh baya tadi pun dengan cepat memberikan selembar kertas padanya. “Tapi dalam data ini disebutkan kalau kamu pernah menjadi asisten pribadi beberapa orang yang mempunyai posisi penting, benar bukan?” Ia mendebat.‘Sial! Aku memang memasukkan data itu karena ingin menjadi asisten pribadi orang penting di sini. Tapi kalau aku tahu orang penting di sini adalah kalian, aku pasti tidak akan membuatnya,’ batin Vivian.“Benar, Tuan,” jawabnya sambil mengangguk karena hanya itu yang bisa dia katakan saat ini.“Jadi ... bukankah sudah tidak ada alasan lain lagi untuk kamu menolak posisi ini?"“Iya, Tuan,” jawab Vivian sambil menganggukkan kepalanya sekali lagi.Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Sean dengan santainya meninggalkan Vivian yang saat ini tengah ditatap oleh semua orang di tempat itu, termasuk Yana yang baru beberapa saat lalu mengenalnya.'Sean sialan!" maki Vivian di dalam hati. Lima menit berlalu. Setelah selesai berbicara beberapa hal dengan Yana, Vivian dengan cepat pergi ke toilet. Dia segera membetulkan make up-nya karena masih harus menipu dan membuktikan pada Raven kalau dirinya bukanlah Vivian. Sebab, menurutnya hanya dengan cara inilah dia bisa bertahan di perusahaan dan semakin dekat dengan black swan, perhiasan yang ingin dicurinya.Hingga, tiba-tiba masuklah dua orang laki-laki ke toilet tersebut. Vivian pun langsung waspada karena tentu saja ia merasa ada yang salah saat ini.“Nona, apa kamu sendirian?” tanya salah seorang laki-laki tersebut.Vivian dengan cepat memasukkan lipstik yang baru saja dipakainya kembali ke dalam tas. Sedetik kemudian ia berbalik dan menatap dua orang laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya. “Iya Tuan. Maaf, apakah saya salah masuk toilet?” tanyanya sembari menatap sekitar tempat itu."Iya.""Wah, kalau begitu saya minta maaf saya benar-benar tidak tahu," sahut Vivian yang berpura-pura terkejut dan kemudian melangkah ingin meninggalkan tempat tersebut.Akan tetapi, seperti perkiraannya dua laki-laki tersebut langsung memblokir jalannya.“Mau ke mana kamu Nona, kami ingin bicara sesuatu pada kamu,” tahan salah satu dari dua laki-laki tersebut sambil menarik Vivian dengan keras, hingga membuatnya mundur beberapa langkah dan kemudian terjungkal.* Sementara itu di dalam ruangannya saat ini Raven sedang menatap laptopnya bersama dengan Sean.“Sial! Bagaimana mungkin dia bukan Vivian!" teriak Sean sembari memegangi data penyeledikan tentang wanita bernama Heta yang identitasnya digunakan oleh Vivian saat ini.Di saat yang sama, kini Raven tengah menonton adegan di dalam toilet dengan ekspresi dingin."Rav, kam—"Srak!Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol