Share

Ayah Untuk Shine

“Hei, tunggu Shine sayang,” ucap Vivian sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang ditodong.

“Jes! Kamu di mana?” teriaknya.

Segera, seseorang dari dalam rumah berlari keluar. “Apa?” tanyanya dengan nada tinggi seperti yang Vivian lakukan.

Namun, seketika dia ikut menelan ludah saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu menodongkan sebuah pisau berlumuran darah ke arah Vivian.

“Shine, Sayang ... turunkan pisau itu, kita bicarakan baik-baik, Sayang,” bujuk Jessy dengan suara lembut.

Jelas bukan Shine namanya kalau bisa dibujuk dengan mudah. “Apa yang mau kamu lakukan, Je?” tanyanya sambil berganti menodongkan pisau tersebut ke arah Jessy.

Sesaat kemudian, tiba-tiba saja pintu di belakang Vivian diketuk.

“Paket!” teriak orang yang ada di luar.

Seketika Vivian pun langsung berbalik dan membuka pintu tersebut. “Kenapa kamu lama sekali,” gerutunya sambil menarik tangan orang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.

Orang tersebut langsung mengikuti tarikan Vivian sambil menjawab, “Hei, ini baru terlambat tiga jam. Kamu tahu sendiri bagaima—“ Kalimatnya terhenti ketika melihat Shine.

“Shine sayang, lihatlah ini Paman Sam yang datang membawakan hadiah ulang tahun yang kamu minta,” ujar Vivian sambil mendorong Samuel, si pengantar barang-barang ilegal itu dengan pelan.

Setelah maju beberapa langkah karena dorongan Vivian, kemudian laki-laki 30 tahunan bernama Samuel itu langsung tersenyum canggung.

“Ah, ini ternyata hadiah ulang tahun kamu Shine,” ujarnya sambil mengangkat paket yang dibawanya. “Maaf, tadi paketnya datang terlambat,” ujarnya dengan tangan gemetar menyodorkan paket tersebut.

Tiba-tiba Shine menjatuhkan kedua pisau di tangannya dan dengan cepat mengambil paket tersebut. “Terima kasih, Paman,” ujarnya sambil membungkukkan tubuhnya.

Samuel pun langsung tertawa hambar dan menggaruk-garuk tengkuknya. “Iya, Shine. Ya sudah kalau begitu Paman pergi dulu ya.”

“Paman tidak ikut makan malam dengan kami, aku baru saja memotong kelinci. Kata Bibi Je, dia akan membuat sup kelinci,” tawar Shine dengan sopan.

Langsung saja Samuel menelan ludahnya.

“Maaf, aku alergi kelinci!” teriak Samuel sambil berlari meninggalkan rumah itu.

Ketiga orang yang ada di dalam rumah tersebut pun langsung bengong melihat tingkah Samuel.

“Bukankah waktu itu Paman Sam suka kelinci,” seloroh Shine dengan ekspresi polosnya.

Jessy yang ada di belakang Shine pun langsung memeluknya. “Alergi itu bisa muncul tiba-tiba,” ujarnya sambil membawa anak laki-laki tersebut sedikit menjauh dari pisau yang dijatuhkannya tadi.

“Aku pikir itu karena masakanmu tidak enak Je,” tukas Shine dengan santainya.

Jessy pun tersenyum sambil menahan kesal. “Apakah masakanku setidak enak itu?”

“Tidak juga,” sahut Shine ringan.

“Oh, ya?” Wajah Jessy berbinar.

“Ya. Setidaknya masih bisa dimakan,” jawab Shine dengan tenang.

“Akhhh!” Jessy dengan gemas mencubit pipi chubby Shine.

Vivian yang ada di dekat mereka pun terkekeh sembari mengambil pisau dapur yang digunakan anaknya tadi. Dia terdiam sejenak ketika melihat darah yang ada di pisau itu, entah kenapa tiba-tiba saja dia teringat pada Raven.

‘Dia tidak boleh tahu jika aku punya Shine,’ batin Vivian sambil menggenggam erat pegangan pisau tersebut.

Tiga jam lebih mereka sibuk merayakan ulang tahun Shine yang kelima, hingga akhirnya Shine pun tertidur di pangkuan Vivian karena terlalu lelah hari itu.

“Dia sudah waktunya sekolah, bagaimana kamu akan menyembunyikannya?” tanya Jessy ketika Vivian baru saja keluar dari kamar Shine.

Vivian dengan pelan menutup pintu kamar tersebut dan menjawab, “Aku akan membawanya pindah dari negara ini setelah berhasil mencuri black swan.”

“Vi, dia mulai menanyakan ayahnya,” ujar Jessy sambil mengikuti langkah Vivian. “Apa kamu yakin dia tidak akan menemukan Raven?”

Vivian berhenti melangkah ketika mendengar pertanyaan sahabatnya itu. “Aku tidak tahu Jes,” jawabnya.

“Apa kamu tidak berfikir untuk memberitahu Shine tentang Raven? Bagaimanapun juga dia berhak tahu tentang ayahnya,” saran Jessy.

Vivian terdiam.

“Vi, aku harap kamu tidak membuat Shine merasa rendah diri karena tidak pernah tahu tentang ayahnya,” ujar Jessy mengingatkan.

Mendengar hal itu Vivian pun kembali melangkah dan duduk di sofa yang ada di dekat mereka. “Jes, kamu tahu sendiri bagaimana Raven. Jika dia tahu aku melahirkan Shine, dia pasti tidak akan melepaskan kami berdua,” ujar Vivian sambil mengusap-usap wajahnya.

Jessy pun segera duduk di dekat sahabatnya itu dan menghembus napas panjang sebelum kembali bicara. “Sebenarnya aku heran pada kamu. Jika aku jadi kamu, aku akan memilih menyerahkan diri pada Raven. Dia adalah pemilik perusahaan HM, jika bersama dia maka kamu tidak perlu mencuri berlian lagi untuk bisa menghasilkan uang.”

“Kamu tidak akan mengerti Je,” sahut Vivian sambil mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Baiklah, tenanglah. Lupakan apa yang aku katakan, anggap saja aku tidak pernah bicara apa pun," cicit Jessy mencoba sambil menepuk lembut punggung sahabatnya itu.

Sesaat kemudian Vivian menyenderkan tubuhnya di sofa yang didudukinya degan posisi kepala menhadap ke atas, dia memandangi langit-langit ruangan itu. “Kamu percaya padaku kan Jes? Aku ini sangat menyayangi Shine, aku tidak ingin membuatnya merasa rendah diri.”

“Aku percaya Vi. Tenanglah,” sahut Jessy. “Baiklah kalau begitu, mari kita berpindah ke hal lain. Bagaimana, apa kamu sudah mendapat informasi tentang black swan?”

“Benda itu memang ada di perusahaan, di tempat yang berisi semua perhiasan lainnya. Satu lagi, tempat itu hanya bisa dimasuki oleh Raven,” terang Vivian yang kembali bersemangat.

Jessy pun manggut-manggut mendengar hal itu. “Yang hanya bisa dimasuki presdir ya,” gumamnya.

Seketika ruangan itu berubah hening, mereka berdua sama-sama masuk ke dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. Hingga ....

“Ya, brangkas!” teriak mereka secara bersamaan dengan wajah yang seolah baru mendapat pencerahan.

“Kalau begitu ayo kita undi, siapa yang akan menyelinap ke sana malam ini,” usul Jessy sambil mengangkat tangannya karena biasanya mereka akan suit untuk menentukan hal itu.

“Tidak perlu,” tukas Vivian sambil menarik tangan Jessy turun. “Lebih aman jika aku yang ke sana karena mereka sudah mengenaliku sebagai asisten pribadi Raven.

“Ya-ya-ya, aku setuju.”

“Jelas saja kamu setuju,” sahut Vivian sambil mencubit pipi sahabatnya itu.

Setelah melakukan beberapa persiapan, kemudian Vivian pun segera berangkat ke perusahaan menggunakan pakaian yang lebih santai. Dia memilih datang ke sana menggunakan motor maticnya agar aktingnya terlihat lebih natural.

“Ada apa Nona?” tanya satpam ketika Vivian memarkirkan sepeda motornya di dekat pintu masuk gedung perusahaan.

“Huf ....” Vivian menghela napas sambil menyeka keringatnya. “Itu Pak, saya ingin mengambil beberapa berkas milik saya yang ketinggalan.”

Satpam tersebut pun langsung menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Ah iya,” ucap Vivian sambil menunjukkan kartu identitasnya. “Maaf saya berpakaian kurang rapi karena saya baru saja membereskan rumah dan tiba-tiba teringat berkas itu,” bebernya.

“Ah, iya Nona Heta tidak masalah,” jawab Satpam tersebut setelah membaca kartu identitas Vivian.

Setelah itu Vivian pun melenggang masuk ke dalam gedung perusahaan dengan bebas. Dia segera menggunakan lift biasa untuk pergi ke lantai 35.

Dia dengan tergesa-gesa masuk ke dalam ruangannya karena tahu kalau ada beberapa CCTV di lantai itu.

“Jes, kacaukan CCTV-nya sekarang,” ucap Vivian sambil terus bergerak seolah sedang mencari sesuatu di ruangannya.

“Selesai,” ucap Jessy di dalam panggilan tersebut.

Vivian pun bergerak dengan cepat, dia segera masuk ke dalam ruangan Raven yang memang berada di dekat ruangannya.

“Di mana tempatnya,” gumam Vivian sembari mencari di bawah lukisan-lukisan yang ada di sana karena biasanya bos-bos perusahaan di negara itu akan menyimpan sandi atau benda yang berhubungan dengan brangkas di tempat tersembunyi di ruangan kerjanya.

Setelah memeriksa semua barang di dinding dan tidak menemukan sesuatu, akhirnya Vivian menatap ke arah meja kerja Raven. ‘Atau di lacinya,’ pikir Vivian sembari melangkah ke arah meja Raven. Namun ketika baru saja memegang laci meja, tiba-tiba ....

“Ehem!” Sebuah deheman keras muncul di ruangan itu.

Mata Vivian terbelalak mendengar suara tersebut. ‘Bagaimana ini,’ batin Vivian sembari menjauhkan tangannya dari laci meja perlahan.

Suara langkah kaki yang terdengar pelan itu kini semakin mendekat ke arah Vivian.

Keringat dingin mulai membasahi kening Vivian, hingga ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status