“Bagaimana, apa kamu berhasil melacak posisinya?” Seorang wanita tengah berbicara dengan orang lain lewat earphone yang terpasang di belakang telinganya.
Wanita tersebut melakukan hal itu sembari berjongkok di depan lift khusus. Ia berpura-pura sedang membetulkan sepatunya karena saat ini sedang ada dua CCTV yang menyorot tepat ke arahnya.“Aku belum bisa mendapatkannya. Sistem keamanan mereka sangat sulit ditembus,” ujar orang yang ada di dalam panggilan tersebut.“Ayolah, seharusnya perhiasan seperti itu ada di ruang penyimpanan atau sejenisnya.”“Vivian Marquis, apa kamu pikir meretas sebuah gedung sama tingkatannya dengan meretas ponsel mantan suami gilamu,” sahut orang yang ada di dalam panggilan tersebut.“Ck, jangan mengungkitnya, dia itu bencana.” Di sisi lain, saat ini terlihat dua orang laki-laki yang sedang berdiri tak jauh dari pintu lift. Mereka terus mengamati tingkah aneh Vivian selama beberapa saat.“Ehem!” dehem salah satu dari kedua laki-laki tersebut karena sudah tak tahan melihat Vivian yang sedari tadi terus berjongkok sembari bergumam tak jelas.‘Ah, ada orang. Kenapa aku tidak menyadarinya,’ batin Vivian sembari membetulkan kaca matanya.Setelah itu ia dengan tenang mengangkat wajahnya sambil berkata, “Ah, maaf Tuan.”Senyum hangat yang menyertai kalimat tersebut seketika pudar. Bahkan, suasana di sekitar ketiga orang tersebut berubah hening selama beberapa saat.‘Sial!’ maki Vivian di dalam hati. Ia tak menyangka akan bertemu dengan dua laki-laki di depannya itu saat ini.Sesaat kemudian ia dengan cepat berdiri dan memberikan senyum ramah pada kedua laki-laki yang saat ini masih memandanginya dengan aneh. “Selamat siang, Tuan. Maaf tadi saya kehilangan konsentrasi selama beberapa saat,” ujarnya.“Ya,” sahut laki-laki lainnya dengan ekspresi dingin di wajahnya.Vivian pun segera berbalik dan menekan tombol lift tersebut dengan jantung yang berdegup kencang.‘Sudah lima tahun, dia seharusnya tidak mengenaliku lagi ‘kan? Ah, buang jauh-jauh pikiran konyol itu. Mana mungkin dia mengenalimu dalam penampilan seperti ini,’ batinnya yang terus mencoba untuk menenangkan hatinya saat ini.Diam-diam ia melirik ke arah laki-laki bertubuh tinggi tegap tersebut. Mata yang tetap tajam, hidung yang sesuai dan bibir tipis yang dulu kerap membuatnya lupa diri itu terlihat tak berubah sedikit pun. Sungguh dulu dia benar-benar pernah terjebak dalam pesona laki-laki tampan itu‘Apa dia ini contoh manusia abadi,’ komentarnya di dalam hati.Vivian terus memikirkan wajah laki-laki yang pernah mengisi hatinya itu, hingga sesaat kemudian pintu lift pun terbuka. Ia dengan cepat memberi jalan pada kedua laki-laki tersebut sambil berkata, “Silakan Tuan.”Tak diduga, kalimat ramah yang disertai dengan senyum profesional itu mendapatkan balasan dari laki-laki berwajah dingin tersebut.“Terima kasih,” ujarnya dengan suara berat yang khas.Seketika bulu kuduk Vivian meremang mendengar suara laki-laki tersebut. Reaksi tubuh yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu. “Sa-sama sama-sama,” sahutnya tergagap.‘Kenapa denganku? Ini sudah lima tahun, kenapa aku masih merasa seperti ini,’ geramnya di dalam hati. ‘Kamu tidak boleh kalah Vi! Jangan sampai perasaan sial ini membuatmu terjebak seperti dulu lagi!’ teriaknya di dalam hati.Beberapa saat berlalu. Seperti yang seharusnya, setelah mereka semua masuk ke dalam lift, Vivian dengan tenang menanyakan pertanyaan wajibnya. “Lantai berapa, Tuan?” tanyanya sembari menatap deretan tombol berhiaskan gambar angka-angka di depannya.“Lantai 35.”Kembali suara laki-laki itu memasuki gendang telinga Vivian dan membuatnya menggigit bibir berlapis lipstik berwarna mochanya.‘Raven, kenapa kita harus bertemu lagi,’ ucapnya di dalam hati sembari mencari angka 35 di deretan tombol tersebut.Namun sesaat kemudian, ia tiba-tiba saja menyadari sesuatu. ‘Tunggu, lantai 35 itu bukannya ruangan presdir? Jadi dia presdirnya? Ah, sial!’ teriaknya di dalam hati.“Kenapa Nona, apa ada yang salah?” Pria yang tampak seperti asisten presdir tersebut kini ganti menegur Vivian, sementara Raven hanya diam.Vivian pun segera berbalik dan menjawab dengan riang, “Ah, tidak Tuan. Saya hanya terkejut dan sekaligus merasa sangat bersyukur karena bisa bertemu dengan pemimpin perusahaan besar ini di hari pertama saya bekerja.”“Iya-iya, memang kamu harus banyak bersyukur,” sahut si asisten sambil mengedipkan sebelah matanya. Vivian pun tersenyum malu-malu untuk menanggapi godaan tersebut. “Iya, Tuan,” sahutnya sembari menundukkan pandangannya.Setelah itu ia pun berbalik dan kemudian menekan tombol yang dimaksud. ‘Dasar Sean sialan,’ gerutunya di dalam hati, memaki si wakil presdir yang juga pernah ia kenal dulu. Beberapa detik berlalu setelah lift itu bergerak. Saat ini Vivian terus mengawasi gerak-gerik dua laki-laki di belakangnya dari pantulan gambar di pintu lift yang ada di depannya“Siapa nama kamu?” Tiba-tiba Raven kembali bertanya.Seketika Vivian menelan ludah mendengar pertanyaan tersebut.“Nama saya Heta, Tuan,” jawabnya tanpa menoleh ke belakang, tidak seperti saat ia berbicara dengan Sean tadi.‘Dia tidak boleh mengenaliku,’ batin Vivian meneguhkan hati dan pikirannya agar tak menimbulkan tindakan yang salah dan membuat Raven curiga pada dirinya.Sedangkan saat ini Raven tengah mengamati Vivian dari belakang. Ia dengan teliti menatap setiap inci tubuh Vivian, tak membiarkan satu garis pun terlewat. Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah tato dengan bahasa Ibrani di pergelangan kaki Vivian. “Baraq, Shine?” gumamnya membaca dan mengartikan tulisan tersebut.Vivian yang mendengar ucapan Raven tersebut pun langsung menunduk dan menatap pergelangan kakinya. ‘Ck, harusnya aku menutupi tato itu tadi,’ gerutunya di dalam hati karena kurang teliti dengan hal itu.Tentu saja sebagai pencuri profesional, kecerobohan sekecil apa pun tak bisa dimaafkan karena bisa berdampak besar dalam eksekusi pekerjaannya.Ia pun terus mencoba untuk tenang, hingga sesaat kemudian terdengar langkah kaki berbalut sepatu pantofel dari belakang Vivian mulai bergerak. Harum parfum yang pernah ia pilihkan untuk Raven ketika mereka bersama dulu membuat Vivian langsung mengangkat pandangannya.‘Raven,’ batinnya dengan jantung yang berdegup kencang karena melihat gambaran Raven sedang berdiri tepat di belakang tubuhnya.Perlahan Raven membungkukkan punggungnya agar wajahnya berada tepat di dekat telinga Vivian. Dan sesaat kemudian ia pun ikut mengangkat pandangannya, melihat ekspresi Vivian dari pantulan gambar yang ada di pintu lift.“Apa kamu mengingatku?” bisiknya.Seketika Vivian menelan ludahnya. "Sa-saya, maaf saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya. Tolong maafkan atas kebodohan saya ini," jawab Vivian dengan tubuh gemetar.Ia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan ketakutan palsunya pada Raven karena Vivian yang asli seharusnya tidak semudah itu untuk diintimidasi oleh Raven. "Ehem!" Tiba-tiba Sean menyela. "Kamu bis—" Ting! Suara pintu lift memotong kalimat Sean.Tanpa basa-basi Vivian pun keluar dari ruangan itu sesaat setelah pintu di depannya terbuka. Dan seperti undang-undang tak tertulis di perusahaan, ia membungkukkan tubuhnya ketika Raven berjalan melewati dirinya. Hingga, pada akhirnya Sean yang ada di belakang Raven tiba-tiba berhenti tepat di depan Vivian.“Semangat, kita akan lebih sering bertemu setelah ini,” bisiknya.Mata Vivian langsung terbelalak ketika mendengar ucapan Sean. ‘Apa dia secepat ini mengenaliku?’ batinnya sembari menoleh dan menatap ke arah Sean dan Raven yang kini semakin jauh dari pandangannya.
"Jangan berisik!" sergah Raven.“Hais … sebagai seorang mantan tentara berbintang banyak dan suaminya, bagaimana kamu menilai hal ini?" tanyanya sembari menonton Vivian yang hanya menangis dan berteriak minta tolong ketika dua laki-laki yang dikirimnya itu berhasil membully Vivian dengan mudah.Sedangkan Raven hanya diam saja sambil terus menatap layar laptopnya. Dia bukanlah Sean yang mudah ditipu oleh Vivian. Dia hafal setiap inci tubuh Vivian, begitu juga dengan isi pikiran wanita yang pernah membuatnya jatuh dalam perasaan cinta buta itu.‘Dia masih tajam,’ batinnya yang bisa menebak kalau Vivian sebenarnya sudah menyadari jika dua laki-laki itu adalah kiriman mereka.“Rav, bagaimana menurutmu?” tanya Sean sekali lagi sambil menepuk pundak Raven yang hanya diam saja.Raven pun menoleh. “Menurutku kamu bodoh,” jawabnya berubah santai.“Hah?” Sean terkejut mendapat komentar seperti itu.Lalu Raven dengan cepat menutup laptopnya. “Cepat selesaikan kekacauan ini. Aku tidak ingin oran
“Hei, tunggu Shine sayang,” ucap Vivian sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang ditodong.“Jes! Kamu di mana?” teriaknya.Segera, seseorang dari dalam rumah berlari keluar. “Apa?” tanyanya dengan nada tinggi seperti yang Vivian lakukan.Namun, seketika dia ikut menelan ludah saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu menodongkan sebuah pisau berlumuran darah ke arah Vivian.“Shine, Sayang ... turunkan pisau itu, kita bicarakan baik-baik, Sayang,” bujuk Jessy dengan suara lembut.Jelas bukan Shine namanya kalau bisa dibujuk dengan mudah. “Apa yang mau kamu lakukan, Je?” tanyanya sambil berganti menodongkan pisau tersebut ke arah Jessy. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja pintu di belakang Vivian diketuk.“Paket!” teriak orang yang ada di luar.Seketika Vivian pun langsung berbalik dan membuka pintu tersebut. “Kenapa kamu lama sekali,” gerutunya sambil menarik tangan orang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.Orang tersebut langsung mengikuti tarikan Vivia
“Nona Heta,” panggil seseorang yang saat ini berjalan dengan santai ke arah Vivian.Tanpa menoleh pun Vivian bisa tahu siapa orang di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang mendengar langkah kaki laki-laki di belakangnya tiba-tiba berhenti. ‘Dia di belakangku,’ batin Vivian.“Apa yang sedang kamu lakukan di ruanganku, Nona?” tanya Raven dengan tenang.Vivian pun menoleh dan dengan cepat berdiri. “Maafkan saya Tuan, saya sedang mencari benda milik saya yang hilang,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kalung yang baru dia tarik dari lehernya sesaat yang lalu.“Oh ya?” Terlihat jelas keraguan dari ekspresi wajah Raven.“Benar Tuan. Saya baru menyadari kalau kalung ini hilang ketika akan tidur, jadi saya terburu-buru kemari,” jawabnya sambil menunjukkan piyama yang saat ini dipakainya.Raven pun manggut-manggut seolah percaya. “Jadi seperti itu.”“Tadi saya juga mencari di ruangan saya, tapi kalung ini tidak ada. Jadi saya terpaksa mencarinya di sini, Tuan,” terangnya lebih lanjut.“Oke,
Empat jam lebih berlalu, akhirnya Vivian pun bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya karena merasa pandangannya sedikit buram.‘Di mana ini?’ batin Vivian sembari memijat keningnya yang terasa masih sedikit pusing akibat hantaman di kepalanya tadi.Setelah pandangannya terasa lebih baik, akhirnya Vivian pun menatap sekitar dan melihat dekorasi mewah yang terasa tak asing baginya, hingga ....“Dia!” pekiknya yang terkejut ketika melihat seorang laki-laki tampan yang kini berbaring di sampingnya.“Kenapa berisik sekali?” tanya laki-laki yang ada di sampingnya itu sembari bangun dan mengusap-ngusap wajahnya.“Kamu, kamu kenapa di sini?” tanya Vivian.“Aku? Ini rumahku,” jawab laki-laki tersebut dengan santai.Tiba-tiba Vivian tersadar akan sikapnya yang salah. ‘Kamu harus berpura-pura Vi, siapa tahu dia masih bisa ditipu,’ pikirnya.“Tuan sa—““Apa kamu masih mencoba untuk menipuku?” tanya Raven yang saat ini menatap Vivian dengan ekspresi malas yang tercetak jelas di wajahnya.“Menipu
Ia benar-benar terkejut saat Raven mengusap bibirnya yang tentu saja sedang belepotan dengan makanan. ‘Kenapa dia tidak marah,’ geram Vivian di dalam hati. Rasa kesal Vivian pun semakin bertambah, ingin rasanya ia melempar makanan yang ada di piringnya ke wajah mantan suaminya itu. Namun, ia masih cukup sadar karena ia pasti tak akan bisa menganggung kemarahan Raven, jika ia melakukan hal seperti itu.“Kamu mendengar aku atau tidak?” tanya Vivian sekali lagi. “Di mana motorku, aku ingin pergi.”“Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan motormu,” jawab Raven dengan tenang.“Hiss,” desis Vivian sambil melengos karena semakin kesal melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Raven.‘Dia pasti melakukan semuanya karena ingin membalasku,’ pikir Raven sembari terus bersikap santai. ‘Tapi kamu harus tahu Vi, aku bukanlah orang yang sama. Tidak akan ada sedikit pun kesempatanmu untuk kabur kali ini,’ imbuhnya di dalam hati sembari menyesap teh di cangkirnya. Lebih dari sepuluh men
“Nyonya, kami di sini meminta keterangan Anda untuk masalah kematian Tuan Grek,” ucap salah satu laki-laki tersebut.“Baik-baik silahkan masuk. Tapi tolong sedikit dipercepat ya Pak, karena saya harus mendaftarkan anak saya sekolah serta berangkat kerja pagi ini,” ucap Vivian dengan sopan sambil membuka lebar pintu tersebut.Setelah itu tiga orang polisi itu pun masuk ke dalam rumah itu seperti yang seharusnya. Mereka pun berbicara panjang lebar, hingga akhirnya sebuah pertanyaan mengejutkan Vivian.“Kami mendengar dari saksi kalau Anda dan Tuan Grek masuk ke dalam restoran tersebut hanya berselisih satu menit, apa itu benar?” tanya salah satu Polisi sembari menatap Vivian dengan penuh perhatian.‘Sial, mereka mencoba menjebakku,’ batin Vivian yang langsung menangkap ada hal yang aneh dari pertanyaan tersebut.Vivian langsung mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangan itu. “Waktu itu aku datang ke sana sekitar jam setengah tiga, tapi aku tidak tahu tepat
Vivian pun dengan cepat melempar pisau lipat tersebut ke semak-semak ketika ia berbalik. Namun, ketika ia benar-benar berbalik, betapa terkejutnya dia ketika melihat laki-laki di belakangnya itu adalah orang yang dikenalnya di masa lalu.“Vivian,” ucap laki-laki di belakangnya tersebut.‘Sial, kenapa aku harus bertemu dia,’ batin Vivian sembari berekspresi aneh.“Maaf Tuan, saya bukan Vivian,” jawabnya dengan tenang.“Tidak mungkin, kamu pasti Vivian ‘kan?” tanya laki-laki tersebut sembari mencengkeram kuat lengan Vivian.“Sungguh Tuan, saya bukan Vivian,” jawab Vivian sekali lagi sembari mengeluarkan kartu pegawai dari dalam sakunya. “Tolong Anda baca, nama saya Heta,” imbuhnya sembari mengangkat kartu karyawannya tersebut.Lalu laki-laki di depannya tersebut mengamati dengan teliti nama dan juga foto di dalam kartu karyawan tersebut. “Kamu bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi. ‘Apa-apaan Rain ini, kenapa dia sulit sekali percaya,’ batin Vivian yang cukup kesal karena pertanyaan yan