Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan.
“Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian. Ivy yang mendengarnya langsung berhenti. “Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih. “Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar. Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar. Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan. Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya. Dalam beberapa detik, ia sudah terlelap. Baru saja tertidur sesaat, Ivy terbangun oleh bunyi bel yang begitu nyaring. Langsung saja ia turun dari ranjang dan membuka pintu. Setelah terbuka, dengan mata yang masih mengantuk, ia mencoba melihat siapa yang datang ke kamarnya. Terlihatlah sesosok tinggi besar berkaos polo berwarna hitam yang tak lain dan tak bukan adalah Evan. “Ayo, siap-siap sekarang,” perintah Evan begitu pintu terbuka. “Siap-siap ke mana?” tanya Ivy bingung. “Kemana lagi selain ke rumah kamu? Saya tunggu sepuluh menit, kamu harus sudah turun ke bawah,” tegas Evan kemudian meninggalkan Ivy. Tak butuh waktu lama bagi Ivy bersiap-siap, karena ia hanya memakai baju yang dipakainya sejak tadi malam. Walaupun bajunya sedikit kusut, tapi tidak masalah. Ia juga hanya memakai lip cream karena tidak membawa peralatan make-up lainnya. Tak sampai sepuluh menit, ia sampai di lobi hotel. Di sana ia sudah melihat Evan, kedua orang tuanya, serta beberapa orang berpakaian rapi yang tampak asing baginya. Ela langsung melayangkan senyuman begitu melihat Ivy mendekat. “Kamu udah bilang ke orang tua kamu kan kami akan datang?” tanya Ela sambil tersenyum. “Iya, tante,” jawab Ivy sekenanya. “Kalau gitu ayo kita langsung berangkat saja. Di mana alamat rumah kamu? Kasih tahu ke Pak Imam ya,” jelas Ela. Setelahnya Ivy memberitahukan alamatnya ke orang yang dimaksud. Ia kemudian masuk ke mobil bersama Evan. Sementara itu, Ela dan Erwin memasuki mobil yang terpisah, sebuah pemandangan yang membuat Ivy bingung. “Kok banyak banget sih yang ikut?” tanya Ivy entah ditujukan kepada siapa, karena Evan tak menanggapi dan memilih memainkan ponselnya. Di mobil, Ivy tidak hanya berdua dengan Evan, namun bersama seorang sopir dan seorang lelaki yang ia tidak ketahui namanya. Namun ia memakai jas rapi seperti orang-orang yang Ivy lihat di hotel. Sekitar satu jam kemudian, mereka sampai di depan rumah bergaya minimalis yang tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Ivy ingin langsung keluar dari mobil namun dihentikan oleh Evan. Ivy tidak mengetahui apa alasannya, namun beberapa saat kemudian pintu mobil dibuka oleh sang sopir. Di depan rumah sudah berdiri seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Mira, ibu Ivy. Walaupun bingung karena begitu banyak mobil yang berhenti di depan rumah putrinya, senyuman terus terpancar di wajahnya, berbeda dengan ekspresi datar Ivy. “Haruskah aku berpura-pura bersikap baik padanya?” tanya Ivy dalam hati. Ivy menarik napas, berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia mendekat ke arah ibunya, dadanya terasa sesak saat mereka bertatapan. Dengan wajah kebingungan Mira mempersilakan keluarga Evan masuk ke dalam rumah. Setelah Mira selesai membuatkan minuman, ia ikut duduk bersama Evan dan kedua orang tuanya di ruang tamu dengan Ivy duduk disebelahnya. “Terima kasih minumannya,” ucap Ela. “Kalau boleh tahu, apa yang membuat Bapak dan Ibu datang ke sini?” tanya Mira hati-hati. “Jadi sebelumnya, maaf kalau kedatangan kami agak mendadak. Namun kami di sini dengan niat baik ingin melamar putri Ibu, Ivy, untuk anak kami, Evan,” jelas Erwin sambil menepuk bahu Evan yang membalas dengan senyuman singkat. Mira terkejut, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, karena selama ini yang ia tahu Ivy tak pernah dekat dengan laki-laki. “Ooh, tidak apa-apa. Saya senang kalau putri saya bisa mengenal anak Bapak. Karena selama ini yang saya tahu ia sulit dekat dengan laki-laki. Tapi keputusan masalah pernikahan, saya serahkan sepenuhnya kepada Ivy, karena dia yang akan menjalani kehidupan,” terang Mira. Iyalah, dari dulu juga ngga peduli waktu aku mau ngelakuin apapun, gumam Ivy dalam hati. Tiba-tiba perasaan benci muncul kembali di hatinya. “Ivy, kamu mau menikah?” tanya Mira lembut. “Iya,” jawab Ivy singkat. “Alhamdulillah.” Mira menghela napas ringan, lalu bertanya, “Kalau boleh tahu, kenapa kalian tiba-tiba ingin pernikahan segera dilakukan?” Ela dan Erwin saling pandang, lalu Erwin menjelaskan, “Sebenarnya tadi malam Ivy dan Evan ditemukan berada di kamar yang sama di botel. Kami khawatir terjadi fitnah, terlebih lagi ada beberapa karyawan yang melihat. Jadi demi menjaga nama baik keluarga, hari ini kami putuskan untuk segera mengurus pernikahan mereka.” Mira terdiam, terkejut mendengar alasan itu. Ia ingin menanyakan lebih jauh kepada Ivy, namun rasa sungkan menahannya. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan, “Oh, begitu ya. Baiklah.” Setelahnya Erwin menatap Ivy dengan lembut, “Nak Ivy, untuk syarat yang kamu ajukan, apa tidak bisa diganti? Kami bisa memberikan apa pun, tetapi syarat itu sulit untuk dijalani.” Mendengar itu, tubuh Ivy membeku. Ia paham posisi orang tua Evan yang ingin pernikahan anaknya diadakan mewah karena Evan anak tunggal. Tetapi ia rasanya tidak sanggup menjalani acara pernikahan yang disaksikan banyak orang. “Maaf, tapi memangnya syarat apa yang diajukan oleh Ivy, ya Pak Erwin?” sela Mira, karena ia belum tahu apa pun tentang masalah ini. “Jadi gini, Bu Mira, Ivy ingin pernikahan diadakan secara privat, hanya dihadiri keluarga inti. Sementara kami punya keluarga besar dan rekan bisnis yang menantikan pernikahan Evan,” terang Erwin memohon. Mira menatap Ivy yang sedari tadi diam. Ia tahu alasan putrinya meminta pernikahan privat. “Iya, saya paham, Pak Erwin, Bu Ela. Namun saya juga mengerti mengapa Ivy meminta syarat tersebut. Sejak kecil, Ivy sudah mengalami perceraian antara saya dan almarhum suami saya, Ayah Ivy. Jadi dia memang trauma akan pernikahan. Mohon dimaklumi jika dia tak mau pernikahan yang terlalu mewah karena tidak ingin menjadi pusat perhatian,” terang Mira panjang lebar. Erwin, Ela, dan Evan baru mengetahui fakta tersebut, lalu jadi memahami alasan sebenarnya. Walaupun sulit menerima, akhirnya Erwin pun menunjukkan simpati, “Baik, Bu Mira. Saya sebelumnya belum mengetahui hal itu. Saya minta maaf.” Diskusi kembali dilanjutkan membahas tanggal pernikahan. Hingga akhirnya pernikahan disetujui dilaksanakan dua minggu lagi. Sekitar pukul tujuh malam, pembahasan pernikahan selesai. Evan dan kedua orang tuanya hendak pulang, namun Mira mengundang mereka makan malam bersama. Mira telah meminta ART untuk memasak menu makan malam. Setelah makan malam selesai, Evan dan keluarganya pamit pulang. Ivy dan Mira, dibantu ART, membereskan meja makan yang penuh piring kotor. “Kamu kenapa ngga bilang ke Ibu kalau mereka datang untuk membicarakan pernikahan?” tanya Mira. “Semuanya serba mendadak,” jawab Ivy singkat. “Iya, tapi—” “Sudahlah, mending kamu pulang. Aku capek,” sela Ivy malas. Akhirnya Mira diam, ia mengangkat piring kotor dan membawanya ke dapur. Kesunyian melanda mereka, hanya dentingan piring yang beradu dan gemericik air mengalir. Setelah semuanya selesai, Mira berpamitan, “Ibu pulang dulu ya. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja.” Ivy hanya diam, ia tidak membalas perkataan ibunya. Sebelum Mira benar-benar pergi, Ivy mengintip dari jendela dan melihat seorang pria paruh baya membukakan pintu mobil untuk Mira, dia adalah Alfin, ayah tirinya. Ia tak menunjukkan reaksi apa pun, namun jelas matanya memancarkan kebencian."Berarti sekarang kita udah baikan?" tanya Ivy kepada Evan yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang makan di restoran yang berada di dalam mall."Emang sebelumnya kita berantem?" tanya Evan. Ivy langsung mengangguk. "Iya?""Ngga sih, kamu yang marah-marah sampai tidur di luar," jawab Evan lalu menyeruput kopi hangatnya.Ivy melirik Evan dengan tatapan kesal. Ia malu sendiri harus mengingat-ingat penyebab pertengkaran mereka hanya karena ponsel."Udah sih jangan dibahas mulu!" seru Ivy. Pipinya yang penuh karena sedang mengunyah membuat perkataannya tak jelas.Evan menggelengkan kepala. "Kalau ngomong jangan sambil makan!" ucapnya. Sesekali ia meregangkan kakinya yang terasa pegal karena terlalu lama berdiri dan berkeliling bangunan yang luas ini.Ivy yang di depannya buru-buru ingin menyelesaikan kunyahan terakhirnya, karena ia memiliki banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada suaminya ini."Pelan-pelan aja kalo makan, nanti kesedak," ucap Evan. Ia mengelap wajah Ivy yang t
Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng
Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi
Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun
“Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing
“Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua