Share

BAB 4

Author: Simplyree
last update Last Updated: 2025-03-07 18:57:30

Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan.

“Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian.

Ivy yang mendengarnya langsung berhenti.

“Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih.

“Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar.

Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar.

Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan.

Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya. Dalam beberapa detik, ia sudah terlelap.

Baru saja tertidur sesaat, Ivy terbangun oleh bunyi bel yang begitu nyaring.

Langsung saja ia turun dari ranjang dan membuka pintu.

Setelah terbuka, dengan mata yang masih mengantuk, ia mencoba melihat siapa yang datang ke kamarnya. Terlihatlah sesosok tinggi besar berkaos polo berwarna hitam yang tak lain dan tak bukan adalah Evan.

“Ayo, siap-siap sekarang,” perintah Evan begitu pintu terbuka.

“Siap-siap ke mana?” tanya Ivy bingung.

“Kemana lagi selain ke rumah kamu? Saya tunggu sepuluh menit, kamu harus sudah turun ke bawah,” tegas Evan kemudian meninggalkan Ivy.

Tak butuh waktu lama bagi Ivy bersiap-siap, karena ia hanya memakai baju yang dipakainya sejak tadi malam. Walaupun bajunya sedikit kusut, tapi tidak masalah.

Ia juga hanya memakai lip cream karena tidak membawa peralatan make-up lainnya.

Tak sampai sepuluh menit, ia sampai di lobi hotel. Di sana ia sudah melihat Evan, kedua orang tuanya, serta beberapa orang berpakaian rapi yang tampak asing baginya. Ela langsung melayangkan senyuman begitu melihat Ivy mendekat.

“Kamu udah bilang ke orang tua kamu kan kami akan datang?” tanya Ela sambil tersenyum.

“Iya, tante,” jawab Ivy sekenanya.

“Kalau gitu ayo kita langsung berangkat saja. Di mana alamat rumah kamu? Kasih tahu ke Pak Imam ya,” jelas Ela.

Setelahnya Ivy memberitahukan alamatnya ke orang yang dimaksud. Ia kemudian masuk ke mobil bersama Evan. Sementara itu, Ela dan Erwin memasuki mobil yang terpisah, sebuah pemandangan yang membuat Ivy bingung.

“Kok banyak banget sih yang ikut?” tanya Ivy entah ditujukan kepada siapa, karena Evan tak menanggapi dan memilih memainkan ponselnya.

Di mobil, Ivy tidak hanya berdua dengan Evan, namun bersama seorang sopir dan seorang lelaki yang ia tidak ketahui namanya. Namun ia memakai jas rapi seperti orang-orang yang Ivy lihat di hotel.

Sekitar satu jam kemudian, mereka sampai di depan rumah bergaya minimalis yang tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Ivy ingin langsung keluar dari mobil namun dihentikan oleh Evan. Ivy tidak mengetahui apa alasannya, namun beberapa saat kemudian pintu mobil dibuka oleh sang sopir.

Di depan rumah sudah berdiri seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Mira, ibu Ivy. Walaupun bingung karena begitu banyak mobil yang berhenti di depan rumah putrinya, senyuman terus terpancar di wajahnya, berbeda dengan ekspresi datar Ivy.

“Haruskah aku berpura-pura bersikap baik padanya?” tanya Ivy dalam hati.

Ivy menarik napas, berusaha untuk menenangkan dirinya.

Ia mendekat ke arah ibunya, dadanya terasa sesak saat mereka bertatapan.

Dengan wajah kebingungan Mira mempersilakan keluarga Evan masuk ke dalam rumah.

Setelah Mira selesai membuatkan minuman, ia ikut duduk bersama Evan dan kedua orang tuanya di ruang tamu dengan Ivy duduk disebelahnya.

“Terima kasih minumannya,” ucap Ela.

“Kalau boleh tahu, apa yang membuat Bapak dan Ibu datang ke sini?” tanya Mira hati-hati.

“Jadi sebelumnya, maaf kalau kedatangan kami agak mendadak. Namun kami di sini dengan niat baik ingin melamar putri Ibu, Ivy, untuk anak kami, Evan,” jelas Erwin sambil menepuk bahu Evan yang membalas dengan senyuman singkat.

Mira terkejut, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, karena selama ini yang ia tahu Ivy tak pernah dekat dengan laki-laki.

“Ooh, tidak apa-apa. Saya senang kalau putri saya bisa mengenal anak Bapak. Karena selama ini yang saya tahu ia sulit dekat dengan laki-laki. Tapi keputusan masalah pernikahan, saya serahkan sepenuhnya kepada Ivy, karena dia yang akan menjalani kehidupan,” terang Mira.

Iyalah, dari dulu juga ngga peduli waktu aku mau ngelakuin apapun, gumam Ivy dalam hati.

Tiba-tiba perasaan benci muncul kembali di hatinya.

“Ivy, kamu mau menikah?” tanya Mira lembut.

“Iya,” jawab Ivy singkat.

“Alhamdulillah.”

Mira menghela napas ringan, lalu bertanya, “Kalau boleh tahu, kenapa kalian tiba-tiba ingin pernikahan segera dilakukan?”

Ela dan Erwin saling pandang, lalu Erwin menjelaskan, “Sebenarnya tadi malam Ivy dan Evan ditemukan berada di kamar yang sama di botel. Kami khawatir terjadi fitnah, terlebih lagi ada beberapa karyawan yang melihat. Jadi demi menjaga nama baik keluarga, hari ini kami putuskan untuk segera mengurus pernikahan mereka.”

Mira terdiam, terkejut mendengar alasan itu. Ia ingin menanyakan lebih jauh kepada Ivy, namun rasa sungkan menahannya. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan, “Oh, begitu ya. Baiklah.”

Setelahnya Erwin menatap Ivy dengan lembut, “Nak Ivy, untuk syarat yang kamu ajukan, apa tidak bisa diganti? Kami bisa memberikan apa pun, tetapi syarat itu sulit untuk dijalani.”

Mendengar itu, tubuh Ivy membeku. Ia paham posisi orang tua Evan yang ingin pernikahan anaknya diadakan mewah karena Evan anak tunggal. Tetapi ia rasanya tidak sanggup menjalani acara pernikahan yang disaksikan banyak orang.

“Maaf, tapi memangnya syarat apa yang diajukan oleh Ivy, ya Pak Erwin?” sela Mira, karena ia belum tahu apa pun tentang masalah ini.

“Jadi gini, Bu Mira, Ivy ingin pernikahan diadakan secara privat, hanya dihadiri keluarga inti. Sementara kami punya keluarga besar dan rekan bisnis yang menantikan pernikahan Evan,” terang Erwin memohon.

Mira menatap Ivy yang sedari tadi diam. Ia tahu alasan putrinya meminta pernikahan privat.

“Iya, saya paham, Pak Erwin, Bu Ela. Namun saya juga mengerti mengapa Ivy meminta syarat tersebut. Sejak kecil, Ivy sudah mengalami perceraian antara saya dan almarhum suami saya, Ayah Ivy. Jadi dia memang trauma akan pernikahan. Mohon dimaklumi jika dia tak mau pernikahan yang terlalu mewah karena tidak ingin menjadi pusat perhatian,” terang Mira panjang lebar.

Erwin, Ela, dan Evan baru mengetahui fakta tersebut, lalu jadi memahami alasan sebenarnya. Walaupun sulit menerima, akhirnya Erwin pun menunjukkan simpati, “Baik, Bu Mira. Saya sebelumnya belum mengetahui hal itu. Saya minta maaf.”

Diskusi kembali dilanjutkan membahas tanggal pernikahan. Hingga akhirnya pernikahan disetujui dilaksanakan dua minggu lagi.

Sekitar pukul tujuh malam, pembahasan pernikahan selesai. Evan dan kedua orang tuanya hendak pulang, namun Mira mengundang mereka makan malam bersama.

Mira telah meminta ART untuk memasak menu makan malam.

Setelah makan malam selesai, Evan dan keluarganya pamit pulang. Ivy dan Mira, dibantu ART, membereskan meja makan yang penuh piring kotor.

“Kamu kenapa ngga bilang ke Ibu kalau mereka datang untuk membicarakan pernikahan?” tanya Mira.

“Semuanya serba mendadak,” jawab Ivy singkat.

“Iya, tapi—”

“Sudahlah, mending kamu pulang. Aku capek,” sela Ivy malas.

Akhirnya Mira diam, ia mengangkat piring kotor dan membawanya ke dapur. Kesunyian melanda mereka, hanya dentingan piring yang beradu dan gemericik air mengalir.

Setelah semuanya selesai, Mira berpamitan, “Ibu pulang dulu ya. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja.”

Ivy hanya diam, ia tidak membalas perkataan ibunya.

Sebelum Mira benar-benar pergi, Ivy mengintip dari jendela dan melihat seorang pria paruh baya membukakan pintu mobil untuk Mira, dia adalah Alfin, ayah tirinya.

Ia tak menunjukkan reaksi apa pun, namun jelas matanya memancarkan kebencian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 5

    Esok paginya, Ivy pergi ke toko aksesorisnya. Meskipun ia memiliki karyawan, ia tetap rutin mengecek kondisi toko. Sejak masuk kuliah, ia memang sudah bercita-cita membangun bisnis aksesoris. Ia menabung dari hasil kerja paruh waktu, hingga setelah lulus, ia mampu membuka tokonya sendiri. Ivy berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Vania, namun hasilnya nihil. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu pada Vania, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya itu sepulang dari toko. “Saya pulang dulu ya. Kalau ada masalah, telepon aja,” ucapnya pada salah satu karyawan. Vania adalah temannya sejak SMA. Ia selalu membalas pesannya sehingga Ivy sangat cemas ketika pesan-pesannya diabaikan. Dua puluh menit kemudian, Ivy tiba di depan rumah Vania, sebuah bangunan bergaya klasik-modern khas Jawa, lengkap dengan pohon mangga di halaman depan. Saat memasuki pelataran, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya, Bi Inem,

    Last Updated : 2025-03-07
  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 1

    Pagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya. “Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya

    Last Updated : 2025-03-05
  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 2

    Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy. Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua,

    Last Updated : 2025-03-05
  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 3

    “Tapi kenapa?” tanya Erwin. “Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sa

    Last Updated : 2025-03-07

Latest chapter

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 5

    Esok paginya, Ivy pergi ke toko aksesorisnya. Meskipun ia memiliki karyawan, ia tetap rutin mengecek kondisi toko. Sejak masuk kuliah, ia memang sudah bercita-cita membangun bisnis aksesoris. Ia menabung dari hasil kerja paruh waktu, hingga setelah lulus, ia mampu membuka tokonya sendiri. Ivy berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Vania, namun hasilnya nihil. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu pada Vania, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya itu sepulang dari toko. “Saya pulang dulu ya. Kalau ada masalah, telepon aja,” ucapnya pada salah satu karyawan. Vania adalah temannya sejak SMA. Ia selalu membalas pesannya sehingga Ivy sangat cemas ketika pesan-pesannya diabaikan. Dua puluh menit kemudian, Ivy tiba di depan rumah Vania, sebuah bangunan bergaya klasik-modern khas Jawa, lengkap dengan pohon mangga di halaman depan. Saat memasuki pelataran, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya, Bi Inem,

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 4

    Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan. “Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian. Ivy yang mendengarnya langsung berhenti. “Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih. “Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar. Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar. Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan. Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya.

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 3

    “Tapi kenapa?” tanya Erwin. “Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sa

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 2

    Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy. Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua,

  • Jejak Cinta Dibalik Pintu kamar   BAB 1

    Pagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya. “Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status