Esok paginya, Ivy pergi ke toko aksesorisnya. Meskipun ia memiliki karyawan, ia tetap rutin mengecek kondisi toko. Sejak masuk kuliah, ia memang sudah bercita-cita membangun bisnis aksesoris. Ia menabung dari hasil kerja paruh waktu, hingga setelah lulus, ia mampu membuka tokonya sendiri.
Ivy berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Vania, namun hasilnya nihil. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu pada Vania, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya itu sepulang dari toko. “Saya pulang dulu ya. Kalau ada masalah, telepon aja,” ucapnya pada salah satu karyawan. Vania adalah temannya sejak SMA. Ia selalu membalas pesannya sehingga Ivy sangat cemas ketika pesan-pesannya diabaikan. Dua puluh menit kemudian, Ivy tiba di depan rumah Vania, sebuah bangunan bergaya klasik-modern khas Jawa, lengkap dengan pohon mangga di halaman depan. Saat memasuki pelataran, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya, Bi Inem, asisten rumah tangga di rumah Vania. “Selamat datang, Non Ivy. Mau ketemu Non Vania, ya?” tanya Bi Inem ramah. “Iya, Bi. Vania ada di dalam?” “Ada, Non. Silakan masuk. Tapi sejak kemarin Non Vania nggak mau makan, terus tadi Bibi dengar suara tangisan dari dalam kamarnya,” bisik Bi Inem. “Bibi tahu kenapa?” tanya Ivy. “Bibi juga nggak tahu, Non. Bibi malah disuruh diam aja, nggak boleh berisik,” jelas Bi Inem. “Ooh gitu. Kalau gitu, nanti aku yang tanya ya,” ucap Ivy menenangkan. Ivy menaiki tangga menuju kamar Vania yang berada di lantai dua dan mengetuk pintu, “Vania, ini aku, Ivy. Kamu baik-baik aja?” panggilnya. Beberapa kali ia memanggil, tapi tidak ada jawaban. “Kalau kamu masih butuh waktu buat sendiri, aku pulang dulu ya. Jangan lupa makan, biar nggak sakit,” ucap Ivy lembut. Saat Ivy berbalik dan hendak turun, pintu tiba-tiba terbuka. Betapa terkejutnya ia melihat kondisi Vania. Rambutnya berantakan, kantung mata terlihat jelas, bekas tangis masih basah di pipinya. Sebelum Ivy bertanya, Vania langsung memeluknya sambil menangis. “Gapapa, nangis aja, keluarin semuanya,” ucap Ivy lembut. Ia memilih untuk diam sampai Vania menyelesaikan tangisannya. Sepuluh menit kemudian, Vania melepaskan pelukannya. Ia terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. “Kamu kenapa? Kamu bisa cerita ke aku kalau kamu mau,” ucap Ivy lembut. “Aku gapapa, cuma lagi cape aja, kamu kenapa dateng ke sini?” Vania balik bertanya. “Aku cuma khawatir karena teleponku ngga kamu angkat,” jawab Ivy. Ia yang sebelumnya ingin menceritakan tentang pernikahannya menjadi enggan setelah melihat keadaan Vania. “Kalau gitu aku pulang dulu ya, kamu istirahat dan jangan lupa makan, kasian Bi Inem dia panik lihat keadaan kamu kayak gini,” jelas Ivy sambil meletakkan selimut ke tubuh Vania. “Iya.” Setelahnya, Ivy memutuskan untuk keluar dari kamar Vania. “Ivy, maaf ya,” ucap Vania saat Ivy baru akan menutup pintu. “Maaf kenapa?” tanya Ivy bingung. “Pokoknya aku minta maaf, nanti kamu juga tahu sendiri,” ucap Vania semakin membuat Ivy kebingungan. Namun setelahnya, Ivy hanya tersenyum, ia mengira bahwa Vania merasa bersalah karena pada malam itu Vania pulang sendiri tanpa dirinya. Setelahnya Ivy memilih untuk langsung pulang. Sekitar pukul empat sore, Ivy sudah sampai di rumah. Namun ia melihat ada mobil yang terparkir tepat di depan gerbang rumahnya, membuatnya kesulitan untuk masuk ke dalam. Ivy memutuskan untuk turun dan mendekati mobil tersebut untuk mengecek siapa pemiliknya. Ia mengetuk kaca jendela mobil sambil berkata, “Permisi, bisa pindahin mobilnya sedikit ke depan? Mobil saya ga bisa lewat.” Betapa terkejutnya ia saat kaca jendela mobil terbuka dan terlihatlah wajah Evan menggunakan kacamata hitam. “Kamu ngapain disini?” tanya Ivy terkejut. “Ayo pergi,” ucap Evan menghiraukan pertanyaan Ivy. “Pergi kemana?” tanya Ivy. “Ayo masuk aja ke mobil,” jawab Evan dengan nada datar, ia bahkan tidak melihat wajah Ivy. “Saya bawa mobil sendiri aja,” ucap Ivy sambil berjalan menuju mobilnya. Evan turun dari mobil dan mengejar langkah Ivy sehingga belum sempat Ivy membuka pintu mobil, tangan Evan sudah lebih dulu menghentikannya seraya berkata, “Saya bilang masuk ke mobil saya bukan mobil kamu.” Suara Evan penuh dengan penekanan, Ivy yang mendengarnya hanya melongo. Ia ingin berdebat namun rasanya tak ada gunanya. “Yaudah, mobil kamu jangan nutupin jalan, mobil saya mau masuk,” ujar Ivy tegas sambil menepis tangan Evan. Evan kembali masuk ke dalam mobil untuk memajukan mobilnya sehingga mobil Ivy bisa lewat. Setelah mobil Evan sedikit maju, akhirnya mobil Ivy berhasil masuk ke garasi. Setelah memastikan posisinya pas, ia mematikan mesin lalu keluar dari mobil. Ivy membuka pintu mobil Evan dengan tenang lalu duduk di kursi penumpang sebelah Evan. “Ayo berangkat.” Ucap Ivy. “Bentar,” ucap Evan. Ia mengamati penampilan Ivy dari atas hingga bawah. “Apalagi?” tanya Ivy tidak sabar, ia sudah lelah. “Kamu yakin mau pergi dengan pakaian kaya gini?” tanya Evan sambil menunjuk pakaian Ivy dari atas hingga bawah. “Kenapa emang?” tanya balik Ivy, ia merasa tidak ada yang salah dengan pakaiannya. “Kita mau pergi ke butik buat beli baju pernikahan, kalau kamu pergi pake baju kaya gini, mereka pasti ngira saya nikah sama pembantu,” jelas Evan jujur. “Apa?! Pembantu?!” seru Ivy kaget, atau lebih tepatnya kesal. Ia memang berpakaian seadanya hari ini, baju oblong berwarna biru muda, celana training, dan tak lupa kerudung bergo hitamnya. Sangat kontras dengan Evan yang berstelan kemeja berwarna hitam. Tapi tega sekali Evan menyebutnya seperti pembantu. “Iya, lebih baik sekarang kamu ganti baju yang lebih bagus, jangan sampai kita terlambat,” ucap Evan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi pengemudi. Ivy menarik napas dalam, lalu dengan satu gerakan cepat membuka pintu mobil dan membantingnya. Di dalam mobil, Evan hanya menoleh sesaat, seolah tak merasa bersalah sekaligus tak terganggu oleh amarah Ivy. Ivy mendorong pintu rumah dengan keras, suaranya berderit seolah menambah beban emosinya. Ia berjalan menuju kamarnya sambil menghentakkan kakinya, menandakan suasana hatinya yang sedang buruk. “Nyebelin banget si, jahat banget mulutnya!” teriak Ivy sambil memilih baju yang tertata rapi di lemari, “Belum nikah aja udah ngatur-ngatur, apalagi kalo udah nikah?” Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memilih memakai setelan blazer dan loose pants berwarna abu-abu lengkap dengan kerudung pasminanya. Ia masih dalam tahap belajar berhijab, jadi kadang ia mengenakannya, kadang tidak. Ia juga memoles wajahnya dengan make up tipis agar wajahnya tidak pucat. Tak lupa ia memakai sepatu hak tinggi untuk menyamakan tingginya dengan Evan. Setelah siap, ia menghampiri Evan yang masih setia menunggunya di dalam mobil. “Kita udah telat satu jam tiga puluh empat menit karena nunggu kamu pulang dan nunggu kamu siap-siap, jadi ayo kita berangkat sekarang,” ucap Evan sambil menjalankan mobilnya. Ivy hanya diam, ia memilih untuk melihat ke arah jendela. Ia masih kesal dengan perkataan Evan yang menyebutnya seperti pembantu. Evan yang menyadari hal itu tampak tak merasa bersalah, ia tetap fokus menyetir.Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha
“Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M
"Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma
Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita
Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya
"Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p