Share

Perkataan aneh sang sahabat

Author: Simplyree
last update Last Updated: 2025-03-07 23:32:42

Esok paginya, Ivy pergi ke toko aksesorisnya. Meskipun ia memiliki karyawan, ia tetap rutin mengecek kondisi toko. Sejak masuk kuliah, ia memang sudah bercita-cita membangun bisnis aksesoris. Ia menabung dari hasil kerja paruh waktu, hingga setelah lulus, ia mampu membuka tokonya sendiri.

Ivy berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Vania, namun hasilnya nihil. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu pada Vania, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya itu sepulang dari toko.

“Saya pulang dulu ya. Kalau ada masalah, telepon aja,” ucapnya pada salah satu karyawan.

Vania adalah temannya sejak SMA. Ia selalu membalas pesannya sehingga Ivy sangat cemas ketika pesan-pesannya diabaikan. Dua puluh menit kemudian, Ivy tiba di depan rumah Vania, sebuah bangunan bergaya klasik-modern khas Jawa, lengkap dengan pohon mangga di halaman depan.

Saat memasuki pelataran, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya, Bi Inem, asisten rumah tangga di rumah Vania.

“Selamat datang, Non Ivy. Mau ketemu Non Vania, ya?” tanya Bi Inem ramah.

“Iya, Bi. Vania ada di dalam?”

“Ada, Non. Silakan masuk. Tapi sejak kemarin Non Vania nggak mau makan, terus tadi Bibi dengar suara tangisan dari dalam kamarnya,” bisik Bi Inem.

“Bibi tahu kenapa?” tanya Ivy.

“Bibi juga nggak tahu, Non. Bibi malah disuruh diam aja, nggak boleh berisik,” jelas Bi Inem.

“Ooh gitu. Kalau gitu, nanti aku yang tanya ya,” ucap Ivy menenangkan.

Ivy menaiki tangga menuju kamar Vania yang berada di lantai dua dan mengetuk pintu, “Vania, ini aku, Ivy. Kamu baik-baik aja?” panggilnya. Beberapa kali ia memanggil, tapi tidak ada jawaban.

“Kalau kamu masih butuh waktu buat sendiri, aku pulang dulu ya. Jangan lupa makan, biar nggak sakit,” ucap Ivy lembut.

Saat Ivy berbalik dan hendak turun, pintu tiba-tiba terbuka. Betapa terkejutnya ia melihat kondisi Vania. Rambutnya berantakan, kantung mata terlihat jelas, bekas tangis masih basah di pipinya. Sebelum Ivy bertanya, Vania langsung memeluknya sambil menangis.

“Gapapa, nangis aja, keluarin semuanya,” ucap Ivy lembut. Ia memilih untuk diam sampai Vania menyelesaikan tangisannya.

Sepuluh menit kemudian, Vania melepaskan pelukannya. Ia terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

“Kamu kenapa? Kamu bisa cerita ke aku kalau kamu mau,” ucap Ivy lembut.

“Aku gapapa, cuma lagi cape aja, kamu kenapa dateng ke sini?” Vania balik bertanya.

“Aku cuma khawatir karena teleponku ngga kamu angkat,” jawab Ivy.

Ia yang sebelumnya ingin menceritakan tentang pernikahannya menjadi enggan setelah melihat keadaan Vania.

“Kalau gitu aku pulang dulu ya, kamu istirahat dan jangan lupa makan, kasian Bi Inem dia panik lihat keadaan kamu kayak gini,” jelas Ivy sambil meletakkan selimut ke tubuh Vania.

“Iya.”

Setelahnya, Ivy memutuskan untuk keluar dari kamar Vania.

“Ivy, maaf ya,” ucap Vania saat Ivy baru akan menutup pintu.

“Maaf kenapa?” tanya Ivy bingung.

“Pokoknya aku minta maaf, nanti kamu juga tahu sendiri,” ucap Vania semakin membuat Ivy kebingungan.

Namun setelahnya, Ivy hanya tersenyum, ia mengira bahwa Vania merasa bersalah karena pada malam itu Vania pulang sendiri tanpa dirinya. Setelahnya Ivy memilih untuk langsung pulang.

Sekitar pukul empat sore, Ivy sudah sampai di rumah. Namun ia melihat ada mobil yang terparkir tepat di depan gerbang rumahnya, membuatnya kesulitan untuk masuk ke dalam. Ivy memutuskan untuk turun dan mendekati mobil tersebut untuk mengecek siapa pemiliknya.

Ia mengetuk kaca jendela mobil sambil berkata, “Permisi, bisa pindahin mobilnya sedikit ke depan? Mobil saya ga bisa lewat.”

Betapa terkejutnya ia saat kaca jendela mobil terbuka dan terlihatlah wajah Evan menggunakan kacamata hitam.

“Kamu ngapain disini?” tanya Ivy terkejut.

“Ayo pergi,” ucap Evan menghiraukan pertanyaan Ivy.

“Pergi kemana?” tanya Ivy.

“Ayo masuk aja ke mobil,” jawab Evan dengan nada datar, ia bahkan tidak melihat wajah Ivy.

“Saya bawa mobil sendiri aja,” ucap Ivy sambil berjalan menuju mobilnya.

Evan turun dari mobil dan mengejar langkah Ivy sehingga belum sempat Ivy membuka pintu mobil, tangan Evan sudah lebih dulu menghentikannya seraya berkata, “Saya bilang masuk ke mobil saya bukan mobil kamu.”

Suara Evan penuh dengan penekanan, Ivy yang mendengarnya hanya melongo. Ia ingin berdebat namun rasanya tak ada gunanya.

“Yaudah, mobil kamu jangan nutupin jalan, mobil saya mau masuk,” ujar Ivy tegas sambil menepis tangan Evan.

Evan kembali masuk ke dalam mobil untuk memajukan mobilnya sehingga mobil Ivy bisa lewat. Setelah mobil Evan sedikit maju, akhirnya mobil Ivy berhasil masuk ke garasi. Setelah memastikan posisinya pas, ia mematikan mesin lalu keluar dari mobil.

Ivy membuka pintu mobil Evan dengan tenang lalu duduk di kursi penumpang sebelah Evan. “Ayo berangkat.” Ucap Ivy.

“Bentar,” ucap Evan. Ia mengamati penampilan Ivy dari atas hingga bawah.

“Apalagi?” tanya Ivy tidak sabar, ia sudah lelah.

“Kamu yakin mau pergi dengan pakaian kaya gini?” tanya Evan sambil menunjuk pakaian Ivy dari atas hingga bawah.

“Kenapa emang?” tanya balik Ivy, ia merasa tidak ada yang salah dengan pakaiannya.

“Kita mau pergi ke butik buat beli baju pernikahan, kalau kamu pergi pake baju kaya gini, mereka pasti ngira saya nikah sama pembantu,” jelas Evan jujur.

“Apa?! Pembantu?!” seru Ivy kaget, atau lebih tepatnya kesal.

Ia memang berpakaian seadanya hari ini, baju oblong berwarna biru muda, celana training, dan tak lupa kerudung bergo hitamnya. Sangat kontras dengan Evan yang berstelan kemeja berwarna hitam.

Tapi tega sekali Evan menyebutnya seperti pembantu.

“Iya, lebih baik sekarang kamu ganti baju yang lebih bagus, jangan sampai kita terlambat,” ucap Evan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi pengemudi.

Ivy menarik napas dalam, lalu dengan satu gerakan cepat membuka pintu mobil dan membantingnya. Di dalam mobil, Evan hanya menoleh sesaat, seolah tak merasa bersalah sekaligus tak terganggu oleh amarah Ivy.

Ivy mendorong pintu rumah dengan keras, suaranya berderit seolah menambah beban emosinya. Ia berjalan menuju kamarnya sambil menghentakkan kakinya, menandakan suasana hatinya yang sedang buruk.

“Nyebelin banget si, jahat banget mulutnya!” teriak Ivy sambil memilih baju yang tertata rapi di lemari, “Belum nikah aja udah ngatur-ngatur, apalagi kalo udah nikah?”

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memilih memakai setelan blazer dan loose pants berwarna abu-abu lengkap dengan kerudung pasminanya. Ia masih dalam tahap belajar berhijab, jadi kadang ia mengenakannya, kadang tidak. Ia juga memoles wajahnya dengan make up tipis agar wajahnya tidak pucat. Tak lupa ia memakai sepatu hak tinggi untuk menyamakan tingginya dengan Evan.

Setelah siap, ia menghampiri Evan yang masih setia menunggunya di dalam mobil.

“Kita udah telat satu jam tiga puluh empat menit karena nunggu kamu pulang dan nunggu kamu siap-siap, jadi ayo kita berangkat sekarang,” ucap Evan sambil menjalankan mobilnya.

Ivy hanya diam, ia memilih untuk melihat ke arah jendela. Ia masih kesal dengan perkataan Evan yang menyebutnya seperti pembantu. Evan yang menyadari hal itu tampak tak merasa bersalah, ia tetap fokus menyetir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Hadiah istimewa

    Mobil perlahan berhenti di halaman parkiran rumah yang sudah dipenuhi oleh deretan mobil para tamu. Keduanya kemudian melangkah masuk ke dalam rumah tempat acara akan dilaksanakan.Ivy sempat tertegun. Matanya menyapu ruangan yang telah dihias dengan lampu gantung kristal dan bunga-bunga di setiap sudut. Tamu-tamu berdandan rapi, suara percakapan dan tawa terdengar samar bercampur musik lembut yang mengalun dari sudut ruangan.“Lihat tuh, siapa yang datang?”Ivy spontan menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita paruh baya berbalut kebaya merah delima menunjuk ke arahnya dan Evan. Beberapa tamu di sekitarnya ikut menoleh, membuat Ivy merasa sedikit canggung.Ia menampilkan senyum kaku, tidak tahu harus membalas dengan cara apa.“Ayo, kita ke sana,” bisik Evan lembut di telinganya. Ia lalu menuntun Ivy menuju meja paling depan, tempat wanita itu berada.“Selamat malam, Tante. Ini Ivy, istriku,” ucap Evan sambil sedikit menunduk hormat.Wanita itu menyambut dengan senyum ramah dan men

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Orang yang sama

    "Kenapa harus dia?" tanya Evan dengan tajam."Aku juga awalnya ngga tahu kalau manajer di sini ternyata dia," jawab Ivy dengan hati-hati.Setelah itu hening. Evan tidak membalas lagi. Ia memandang ke arah toko yang tampak sepi. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang tak biasa. "Waktu kamu tahu dia ada di sini kenapa kamu ngga langsung pergi? Kenapa kamu tetap mau beli kado di sini? Emangnya ngga ada tempat lain lagi?" tanyanya menggebu-gebu. Ivy yang diberikan pertanyaan beruntun itu hanya bisa diam. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Evan ada benarnya juga. Sehingga apapun yang akan ia katakan sepertinya tak ada gunanya. "Ngga bisa jawab kan? Itu artinya kamu emang cuma beralasan pengin ketemu dia, padahal masih banyak tempat lain di dunia ini yang jual kado," lanjut Evan."Ngga gitu, ak-" "Cukup! Jangan bicara lagi! Biar saya aja yang ngambil pesanan kamu, kamu duduk diam di sini, jangan pergi kemana-mana!" perintah Evan dengan tegas. Ia merasa tidak butuh pembelaan apapun dari ist

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Pelayanan terbaik

    Ivy melirik Evan yang duduk di sampingnya dengan takut. Pria itu belum juga menjalankan mobilnya padahal mereka sudah masuk ke dalam mobil sepuluh menit yang lalu. Evan juga hanya menatap ke arah depan tanpa berkata apapun.“Ekhem. Kita kapan mau pergi dari sini?” tanya Ivy pelan.Evan masih tetap diam. Ivy benar-benar tidak tahu isi pikiran pria itu dan apa yang harus ia lakukan saat ini.“Kamu marah gara-gara tadi? Aku ngga beneran suka sama Andre kok, aku tadi Cuma bercanda,” ucap Ivy. Namun pria itu masih terdiam.“Aku serius, aku ngga mungkin suka sama dia. Aku kan udah nikah sama kamu.” “Bicara dong jangan diem aja. Kalau kayak gini aku gatau ma-“ Ucapan Ivy terhenti karena tiba-tiba saja Evan menempelkan bibirnya kepada bibir Ivy. Ivy begitu terkejut, ia memukul-mukul bahu Evan agar pria itu segera berhenti.“Kamu udah gila ya? Kalau ada yang liat gimana?!” seru Ivy sambil menoleh ke arah samping jendela. Ia takut kalau ada orang yang melihat perbuatan mereka.Evan tersenyum

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Saling memaafkan

    "Berarti sekarang kita udah baikan?" tanya Ivy kepada Evan yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang makan di restoran yang berada di dalam mall."Emang sebelumnya kita berantem?" tanya Evan. Ivy langsung mengangguk. "Iya?""Ngga sih, kamu yang marah-marah sampai tidur di luar," jawab Evan lalu menyeruput kopi hangatnya.Ivy melirik Evan dengan tatapan kesal. Ia malu sendiri harus mengingat-ingat penyebab pertengkaran mereka hanya karena ponsel."Udah sih jangan dibahas mulu!" seru Ivy. Pipinya yang penuh karena sedang mengunyah membuat perkataannya tak jelas.Evan menggelengkan kepala. "Kalau ngomong jangan sambil makan!" ucapnya. Sesekali ia meregangkan kakinya yang terasa pegal karena terlalu lama berdiri dan berkeliling bangunan yang luas ini.Ivy yang di depannya buru-buru ingin menyelesaikan kunyahan terakhirnya, karena ia memiliki banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada suaminya ini."Pelan-pelan aja kalo makan, nanti kesedak," ucap Evan. Ia mengelap wajah Ivy yang t

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menunggu

    Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Permintaan maaf

    Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status