Share

Perdebatan kecil

Author: Simplyree
last update Huling Na-update: 2025-05-19 10:14:52

Suasana meja makan pagi ini terasa dingin, bukan karena udara, melainkan karena jarak yang tiba-tiba tercipta di antara Ivy dan Evan. Mereka duduk berhadapan, namun seolah-olah dipisahkan oleh dinding tak kasatmata.

Mereka makan dalam diam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Beberapa kali Ivy menatap ke luar jendela, menghindari mata Evan. Setelah beberapa detik berlalu, Evan akhirnya menghela napas.

“Baiklah, kita akan tinggal di rumah kamu selama dua minggu. Setelah itu, kamu pindah ke rumah saya,” kata Evan tiba-tiba.

Ivy menghentikan kunyahannya. Ia menatap Evan yang saat itu juga sedang memandangnya lekat.

“Cuma dua minggu?” tanyanya memastikan.

“Iya. Dua minggu, atau tidak sama sekali,” jawab Evan lugas.

“Terus nanti kalau saya tinggal di rumah kamu, siapa yang bakal tempatin rumah saya? Saya nggak mau rumah saya jadi kosong,” jelas Ivy panjang lebar, nada suaranya mulai terdengar resah.

“Sebaliknya, kalau saya tinggal di rumah kamu, siapa yang bakal tinggal di rumah saya? Saya juga nggak mau rumah saya jadi rumah kosong,” balas Evan sambil mengunyah suapan terakhirnya.

“Tapi—”

“Saya ini suami kamu, jadi tugas kamu adalah nurut sama apa yang saya katakan,” potong Evan dengan nada tegas. Ia kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan pergi, meninggalkan Ivy yang masih ternganga di kursinya.

“Waktu itu bilangnya mau ngasih kebebasan… terus sekarang apa?” gumam Ivy sedikit keras.

Evan mendengar gumaman itu. Langkahnya terhenti sejenak, namun ia tak menoleh dan kembali melanjutkan langkahnya.

Setelah menyelesaikan makannya, Ivy memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia berjalan dengan langkah pelan, hatinya terasa berat—kesal pada Evan yang bersikap seenaknya. Sesampainya di depan kamar, Ivy melihat Evan sedang berbicara dengan dua orang laki-laki yang tidak ia kenal. Mereka tampak serius, namun Ivy tak berniat mencari tahu.

Tanpa berkata apa pun, Ivy mengacuhkan keberadaan Evan. Ia langsung masuk ke dalam kamar, tanpa sedikit pun memedulikan pria itu atau orang-orang yang bersamanya.

Setelah masuk ke dalam kamar, Ivy duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya. Sudah sejak semalam ia belum sempat mengeceknya dan kini muncul rasa khawatir—takut jika ada informasi penting yang terlewat.

Baru saja ia hendak membuka aplikasi chatting, suara Evan tiba-tiba mengagetkannya.

“Ayo pulang sekarang,” ujar Evan dari ambang pintu.

“Hah? Sekarang banget?” tanya Ivy memastikan, alisnya terangkat heran. Ia menatap jam di dinding, masih menunjukkan pukul tujuh pagi.

“Iya. Saya ada pekerjaan penting. Cepat bereskan barang-barang kamu,” kata Evan dengan nada tergesa-gesa.

Namun bukannya segera menuruti, Ivy malah kembali menunduk ke ponselnya, jari-jarinya mulai menjelajahi layar. Melihat itu, Evan langsung kesal. Tanpa banyak bicara, ia menghampiri dan merebut ponsel Ivy dari tangannya.

“Apa sih!” teriak Ivy kesal, menatap Evan tajam.

“Saya paling nggak suka sama orang yang main HP saat saya lagi bicara,” ujar Evan dengan suara dingin.

Ia kemudian memasukkan ponsel Ivy ke dalam saku celananya, tanpa memberi kesempatan untuk protes lebih lanjut.

Ivy menghela napas panjang lalu dengan terpaksa menuruti perkataan Evan. Ia mulai melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper, satu per satu dengan gerakan pelan.

Matanya sempat tertuju pada tumpukan kado yang belum tersentuh. Ia menoleh ke arah Evan dan bertanya, “Terus… nanti gimana cara bawa kadonya?”

“Nanti ada yang ngambil,” jawab Evan singkat, tanpa menoleh sedikit pun.

Ivy hanya mengangguk kecil, lalu kembali melanjutkan beres-beres barangnya.

Setelah semua barang-barang masuk ke dalam koper, Ivy melihat Evan yang sedang menelepon. Saat Evan balik menatapnya, ia langsung memalingkan wajahnya.

“Ayo, pulang sekarang,” ujar Evan setelah menutup telepon. Ia kemudian berjalan mendekat dan langsung mengambil alih koper dari tangan Ivy.

Evan berjalan menuju pintu, diikuti oleh Ivy yang melangkah pelan di belakangnya. Saat pintu terbuka, tampak dua orang laki-laki yang sebelumnya sempat berbicara dengan Evan berdiri di luar.

“Nanti koper sama kado-kadonya masukin ke mobil, ya. Saya pergi dulu,” ucap Evan kepada mereka.

“Baik, pak,” jawab keduanya serentak.

Evan dan Ivy berjalan keluar dari kamar. Saat mereka melewati ambang pintu, Evan meraih pinggang Ivy untuk mendekatkan tubuhnya membuat Ivy berjengit kaget namun tidak menjauhkan diri.

Mereka melangkah menyusuri koridor hotel dengan langkah pelan. Namun baru beberapa meter berjalan, Ivy mulai merasa ada yang aneh. Pandangan orang-orang mulai tertuju pada mereka. Para karyawan hotel yang lewat tampak mencuri pandang lalu berbisik-bisik dengan rekan mereka.

Tak sedikit yang terang-terangan menatap dan satu-dua di antaranya terlihat mengangkat ponsel untuk merekam mereka.

Ivy menoleh perlahan ke Evan. Ia berkata lirih, hampir berbisik, “Kok mereka semua kayak liatin kita, ya?”

Evan tak menoleh. Tatapannya lurus ke depan dengan memasang wajah datarnya.

“Diam saja, tetap senyum,” ucapnya pelan tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

Ivy menelan kata-katanya. Meski hatinya masih diliputi tanda tanya, ia menuruti Evan. Ivy tersenyum canggung, berusaha terlihat tenang sampai mereka akhirnya meninggalkan hotel.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menunggu

    Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Permintaan maaf

    Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Insiden memalukan

    Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menikmati uang suami

    “Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Sang pemberi trauma

    “Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Penawaran yang menarik

    Setelah perjalanan kurang lebih selama lima belas menit, mobil Ivy akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di sudut jalan. Bagian depan bangunan itu ditutupi oleh kaca, sehingga setiap orang yang lewat bisa mengetahui aktivitas di dalamnya. Dari situ juga Ivy tahu, walaupun bangunan tersebut tampak kecil, namun banyak pengunjung yang datang. Di bagian atas pintu, terdapat tulisan yang terbuat dari ukiran kayu: Kilas Kenangan. Ivy membuka pintu itu secara perlahan. Bunyi lonceng langsung menyambutnya. Beberapa orang yang berada di dalam toko langsung menatap ke arahnya sebentar, kemudian kembali fokus kepada benda di depan mereka. Ivy berkeliling untuk mengamati satu per satu cangkir-cangkir putih yang berada di etalase kaca. Sebagai orang yang menyukai seni, ia tersenyum senang melihat desain cangkir yang begitu unik dan cantik. Ivy mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu pandangannya berhenti ke arah seorang perempuan muda yang memakai seragam berwa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status