Suara adzan subuh yang berasal dari ponselnya berhasil membangunkan Ivy dari tidurnya.
Ia membuka matanya perlahan, mencoba mencerna keadaan. Namun seketika tubuhnya menegang saat menyadari sesuatu—ia terbangun dengan posisi memeluk Evan. Jantungnya langsung berdegup kencang. Panik dan bingung bercampur jadi satu. Dengan cepat, Ivy melepaskan pelukannya dan duduk. Tatapannya langsung tertuju ke arah pakaiannya sendiri. Ia meraba-raba pakaiannya, memastikan semuanya masih utuh dan tidak ada yang berubah dari semalam. Rasa cemas membuncah dalam dirinya, apakah semalam mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya? Namun setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Ivy menghela napas lega. Pakaiannya masih lengkap. Gerak-geriknya membangunkan Evan, yang membuka matanya perlahan dengan dahi berkerut. "Ada apa sih?" tanya Evan dengan suara serak dan masih diliputi kantuk. Tanpa menjawab, Ivy langsung bangkit dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia butuh menenangkan diri dan yang terlintas di benaknya saat itu hanya satu: wudu. Setelah selesai berwudu, Ivy mencari mukena yang mungkin disimpan di dalam koper. Namun, ternyata tidak ada. Kalau begini, bagaimana ia akan salat Subuh? "Cari apa?" tanya Evan yang sedang duduk di ujung ranjang. "Cari mukena," jawab Ivy lirih. "Itu ada di lemari, sudah disiapkan sama bunda," balas Evan sambil menunjuk ke arah lemari. "Oh iya, makasih," ucap Ivy lalu berjalan menuju lemari. Ia membuka lemari tersebut dan menemukan mukena berwarna putih yang terlipat rapi dengan sajadah berwarna cokelat di bawahnya. Ivy segera mengenakan mukena itu yang terasa halus saat dipakai. "Tungguin saya wudu, kita salat berjamaah," kata Evan sambil berjalan menuju kamar mandi. Ivy hanya mengangguk, meskipun tahu Evan tak melihatnya. Beberapa menit kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Ia langsung membuka lemari dan mengenakan sarung. Rambutnya masih sedikit basah, menjuntai pelan di dahi, menambah kesan segar di wajahnya yang memang sudah tampan sejak tadi. Ivy yang duduk di sofa diam-diam memerhatikannya. Ia tak bisa memungkiri dalam hati bahwa Evan memang menawan, terutama saat seperti ini, dengan aura tenang dan rambut yang belum sepenuhnya kering. "Ngeliatin apa?" tanya Evan tiba-tiba, suaranya datar tapi cukup mengejutkan. Ivy tersentak, buru-buru memalingkan wajah dengan pipi yang mulai terasa hangat. "Ayo sholat," ajak Evan lalu membentangkan sajadahnya. Begitupun dengan Ivy, yang membentangkan sajadahnya di belakang Evan. Mereka lalu melaksanakan shalat Subuh berjamaah dengan Evan sebagai imamnya. Setelah selesai shalat, Ivy masih terdiam di tempatnya. Ia menundukkan kepala. Dalam hatinya, ia melantunkan doa yang lirih namun penuh harap. “Ya Allah, jika memang kami harus menjalani pernikahan ini dalam sandiwara, tolong beri aku kekuatan untuk tetap menjalankannya dengan baik. Jangan biarkan kebohongan ini melukai hati kami terlalu dalam.” Ketika ia membuka matanya, Evan sudah duduk bersila menghadap dirinya dan perlahan mengulurkan tangan kanannya ke arahnya. Namun, Ivy yang masih tenggelam dalam pikirannya, tidak paham dengan isyarat tersebut. Dengan wajah datarnya, Evan menyentuh pipi Ivy dengan lembut menggunakan punggung tangannya. Ivy terkejut, matanya membesar dan langsung melotot pada Evan. “Salim,” kata Evan singkat memahami kebingungan Ivy. Barulah saat itu Ivy paham. Dengan sedikit canggung, ia meraih tangan Evan dan menciumnya pelan. Wajahnya memerah, sementara Evan hanya tersenyum kecil. Setelah itu, Evan menarik tangannya lalu berdiri dan melipat sajadahnya. Ivy pun ikut melepas mukena dan melipat sajadahnya. "Setelah ini kamu mandi, habis itu bereskan barang-barang lalu kita sarapan. Setelah itu, baru kita pulang," ujar Evan. Evan memang memiliki kepribadian yang teratur dan detail. Semuanya harus berjalan sesuai jadwal. "Mandi jam segini?" tanya Ivy sambil melirik jam di dinding. "Iya, kenapa?" balas Evan. "Masih pagi banget, dingin," keluh Ivy sambil memeluk dirinya sendiri. "Kan bisa pakai air hangat," jawab Evan santai. "Iya sih, tapi—" "Nggak usah banyak alasan. Kita masih banyak kegiatan," potong Evan dengan nada tegas. "Baiklah," ucap Ivy pasrah. Ia lalu mengambil baju ganti dari koper dan berjalan menuju kamar mandi. Saat berada di ambang pintu, Ivy merasa penasaran dengan rencana mereka hari ini. Ia pun berbalik badan dan bertanya kepada Evan, "Emang, apa kegiatan kita hari ini?" "Sehabis sarapan, kita pulang ke rumah kamu. Terus kamu beresin barang-barang yang masih di sana, habis itu kamu pindah ke rumah saya," jelas Evan dengan santai. "Apa? Pindah?" tanya Ivy dengan wajah terkejut. "Iya. Ada masalah?" Evan balik bertanya. "Jelas ada masalah! Dari kemarin kamu nggak bilang kalau setelah menikah kita bakal tinggal di rumah kamu. Terus sekarang kamu tiba-tiba minta saya pindah?" tanya Ivy dengan nada tajam. Evan duduk di ujung ranjang dan menghela napas pelan. "Tanpa saya bilang pun, harusnya kamu sudah tahu," kata Evan tegas. Ivy menatap wajah Evan dengan kesal lalu berkata lirih, "Terserah apa yang kamu bilang. Tapi saya tetap nggak mau pindah ke rumah kamu." Setelah itu, Ivy membalikkan badan dan masuk ke kamar mandi. Sebelum pintu benar-benar tertutup, Evan kembali bersuara, "Apa kita harus berantem pagi-pagi karena masalah sepele?" Ivy hanya diam dan menutup pintu kamar mandi tanpa mengindahkan pertanyaan Evan.Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha
“Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M
"Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma
Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita
Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya
"Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p