LOGINBayangan Vennesa dan Vellery semakin menjauh, menuruni bukit dengan langkah tergesa. Ben hanya berdiri diam menatap punggung mereka sampai hilang di balik semak dan kabut senja. Nafasnya berat, matanya memerah. Lalu tiba-tiba—dorongan emosi yang selama ini ia tahan meledak begitu saja.
Tanpa peringatan, ia menendang Tommy keras hingga tubuh pria itu terpelanting ke semak-semak. “Aargh!” teriak Tommy, tubuhnya menghantam batang pohon kecil. Monica terkejut, menjerit nyaring, “Ben, apa yang kamu lakukan?! Gila kamu!” Namun belum sempat ia bergerak, tangan Ben telah melingkar di lehernya. Cekikan itu kuat—terlalu kuat—hingga wajah Monica memucat dan matanya membelalak. Nafasnya tersengal. Jari-jari Ben mencengkeram lebih erat, amarah dan rasa bersalah bercampur jadi satu di dadanya. “Kau sudah cukup merusak hidup orang!” desis Ben dengan suara parau. Monica meronta, bibirnya bergetar, tapi suaranya nyaris tak keluar. Lalu—Pagi di rumah itu terasa damai. Udara pagi menerobos perlahan dari jendela yang dibiarkan terbuka. Burung-burung berterbangan rendah, dan sinar matahari memantul di dinding putih kamar Vennesa. Ia masih duduk di ranjang, mengelus perutnya dengan lembut, sesekali menarik napas panjang. Pintu kamar diketuk pelan. “Kak, boleh Vel masuk?” suara Vellery terdengar ceria pagi itu. “Masuklah, Vel,” jawab Vennesa lembut. Vellery masuk sambil membawa laptop di tangan. Wajahnya tampak segar, sedikit bersemangat. “Kak,” katanya sambil menutup pintu, “tadi malam Vel kepikiran sesuatu. Ide ini muncul waktu Vel buka media sosial.” Vennesa menatap adiknya, sedikit heran. “Ide apa?” Vellery duduk di tepi ranjang, membuka laptopnya. “Kak tahu kan, dunia sekarang semuanya di internet. Media sosial bisa menjangkau ke mana saja. Kalau Ben masih hidup, kalau dia benar-benar di luar sana, mungkin dia bisa meliha
Setelah Alessandro pulang, suasana rumah terasa tenang. Dari kamar atas, suara ombak terdengar sayup-sayup, seolah memantulkan rasa kosong di hati Vennesa. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur longgar, tangannya mengelus perut yang mulai membulat. Matanya menerawang, jauh, seperti mencari seseorang yang tak tahu di mana keberadaannya. Pintu kamar terbuka perlahan. Vellery masuk membawa segelas susu hangat dan senyum lembut. “Kak, minumlah. Biar nggak pusing,” katanya pelan. Vennesa menoleh dan tersenyum samar. “Terima kasih, Vel.” Vellery duduk di tepi ranjang. Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati kehangatan sore yang menyusup dari balik tirai putih. Lalu, dengan nada hati-hati, Vellery membuka bicara. “Kak… Vel cuma mau bilang sesuatu. Jangan marah, ya?” “Bilang saja, Vel.” “Vel lihat sendiri, Alessandro itu tulus. Dia mencintai kakak tanpa syarat. Dia nggak pernah lelah
Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, akhirnya Vennesa diperbolehkan pulang. Udara pagi terasa segar ketika kursi rodanya didorong perlahan menuju pintu keluar. Cahaya mentari menembus dedaunan, menimbulkan bayangan bergerak di lantai koridor. Vennesa menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih terasa berat. Luka fisik mungkin sudah mulai pulih, tapi luka di dalam dirinya masih segar, baru beberapa hari lalu. Sepanjang empat hari itu, tanpa gagal, Alessandro selalu meluangkan waktunya untuk datang menjenguk. Di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya, lelaki itu selalu menyempatkan diri mengirim pesan singkat — mengingatkan agar Vennesa beristirahat cukup, tidak terlalu banyak berpikir, dan menjaga kandungannya baik-baik. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri,” begitu tulisnya di pagi hari. “Tidurlah lebih awal malam ini, aku akan datang besok pagi.” Pesan-pesan itu terasa hangat, sederhana, namun penuh perhatian. Kadang-kadang Vennesa membac
Suasana di ruang rawat masih sama — tenang, tapi menyimpan keheningan yang berat. Vennesa duduk bersandar di tempat tidur dengan wajah pucat. Matanya masih bengkak, bekas tangis yang belum lama berhenti. Di meja kecil di samping ranjang, segelas air dan beberapa vitamin ibu hamil tersusun rapi. Pintu diketuk pelan. Alessandro melangkah masuk dengan membawa sebungkus roti gandum dan jus buah segar. Senyumnya lembut, suaranya tenang seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. “Selamat pagi, Vennesa,” ucapnya pelan. “Sudah sarapan?” Vennesa menatapnya sekilas. Wajah lelaki itu seperti tidak menyimpan duka, padahal beberapa jam lalu ia mendengar sendiri tangisan perempuan yang dicintainya memanggil nama lelaki lain. “Sudah,” jawab Vennesa singkat. “Bagus. Jangan lupa minum vitaminmu, ya. Dokter bilang tekanan darahmu masih agak rendah,” katanya sambil meletakkan bungkusan roti di meja. Gerak-geriknya hati-hati, seperti takut menyentuh ruang di antara mereka yang masih rapuh. Dari sudut r
Di luar pintu kamar itu, Alessandro berdiri terpaku. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, ia mendengar tangisan Vennesa — pilu, dalam, dan menyayat. Suara itu memantul di lorong sunyi rumah sakit, membuat dadanya sesak. Tangannya yang semula tergantung di sisi tubuh kini mengepal erat, seolah menahan perih yang terlalu berat untuk ditanggung.Hatinya seperti diremas. Seumur hidup, Alessandro tak pernah membayangkan akan jatuh dalam cinta sepahit ini — cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Ia lelaki yang selalu yakin, selalu menang. Tapi kali ini, ia kalah. Ia jatuh cinta pada seorang wanita yang hatinya telah dimiliki lelaki lain… lelaki yang kini hilang tanpa jejak.Langkahnya perlahan menjauh dari pintu kamar itu. Ia berjalan tanpa arah, menuruni lorong panjang rumah sakit yang mulai disinari cahaya pagi. Udara pagi yang lembut masuk melalui jendela kaca besar, membawa aroma embun dan wangi samar bunga kamboja dari taman di luar. Alessandro melangkah k
Helaian surat itu bergetar di tangan Vennesa. Air matanya menitik satu persatu, membasahi tinta tulisan tangan Ben yang masih jelas terbaca meski sudah sedikit pudar. Dengan suara bergetar, dia teruskan membaca setiap baris kalimat yang terasa menusuk ke dalam jiwanya. "Vennesa, aku tahu aku telah banyak berdosa padamu. Aku berkhianat kepada cinta kita, dan aku tak akan pernah cukup meminta maaf untuk semua luka yang kuberi. Tapi ketahuilah, sejak malam pertama kita bertemu di Serenova Bar & Lounge, aku tahu hidupku takkan sama lagi. Aku jatuh cinta padamu — bukan karena parasmu yang cantik, tapi karena matamu, karena cara kamu menatap dunia dengan tenang walau hidupmu keras. Sejak malam itu, aku tahu kamu adalah rumah yang tak pernah kumiliki." Vennesa menggigit bibirnya, menahan sesak yang makin menekan dadanya. Ia melanjutkan bacaan, setiap kalimat seperti belati yang menyayat perlahan. "Aku berusaha keras mencari bukti untuk menjatuhk







