LOGINSudah lebih tiga minggu sejak tragedi yang meragut banyak nyawa di laut Pulau Serenova. Ombak masih bergulung seperti biasa, tapi bagi pasukan penyelamat, setiap deburnya terasa berat—seolah menyimpan rahsia yang enggan dilepaskan.
Setiap hari mereka menyisir permukaan laut dengan kapal, penyelam, bahkan dron laut. Namun hasilnya tetap sama. Benjamin Addam masih belum ditemukan. Pada minggu keempat, pihak berkuasa akhirnya mengambil keputusan yang paling sukar—pencarian dihentikan. Kes itu diklasifikasikan sebagai orang hilang di laut. Bagi mereka yang mengenalnya, berita itu bagai pisau yang mengiris perlahan. Di pangkalan kecil tentera laut, suasana hening menyelimuti ruang mesyuarat ketika Kapten Renz menerima dokumen rasmi pemberhentian operasi. Lelaki itu hanya menatap kosong ke helaian kertas, sementara tangan kirinya menggenggam sesuatu—surat terakhir yang pernah dititipkan Ben padanya sebelum operasi pengejaran berlangsung.Pagi itu, notifikasi di akun media sosial Vennesa terus berdentang tanpa henti. Sejak unggahan videonya semalam — video yang ia buat atas saran Vellery untuk menumpahkan perasaannya yang tak pernah tersampaikan — jumlah komentar meningkat tajam. Awalnya, ia mengira semuanya akan berjalan tenang. Namun ketika ia membuka aplikasi itu sebelum tidur, matanya membesar membaca deretan komentar yang menusuk hati. “Kenapa sih, attention seeker banget.” “Kalau sudah ditinggalkan, ya sudah. Jangan maluin diri sendiri.” “Move on aja, Mbak. Kasihan cowoknya, udah nggak tenang hidupnya fotonya di-publish terus.” “Perempuan jalang! Belum nikah udah hamil duluan, malah ngumbar foto di internet. Malu-maluin banget.” “Anak saya aja nanya, ‘Mama, kok belum nikah tapi hamil?’ Panutan yang nggak baik, nih.” Vennesa menatap layar itu lama. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk pelan ke dalam dadanya. Tangannya bergetar, bibirnya gemetar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak y
Sudah seminggu berlalu sejak unggahan pertama Vennesa. Namun kabar tentang Benjamin Addam masih tetap tak ada. Tak ada satu pun pesan, panggilan, atau tanda kehadiran. Yang ada hanya notifikasi yang terus berdenting — ratusan, ribuan komentar dari orang asing yang ikut hanyut dalam kisah cintanya. Setiap pagi, Vennesa membuka ponselnya, mengunggah satu foto kenangan baru. Ia tidak tahu apakah Ben benar-benar melihatnya, tapi di hatinya, ada keyakinan: jika cinta itu nyata, ia pasti akan menemukan jalan pulang. Foto kelima Dua rantai diletakkan di atas meja kayu, loket bintang dan bulan bertemu dalam bentuk yang indah. Cahaya matahari pagi memantul lembut di permukaannya. ✨ Caption: “Kau bulanku, dan aku bintangmu. 🌙⭐ Bersama, kita ciptakan cahaya yang tak akan padam. #Vennesa&BenjaminAddam #CintaAbadi” Komentar netizen berbunyi “Simbol cinta mereka keren banget 😭✨” “Mbak, ini bukan sekadar perhiasan, ini kenangan hidup 🥺” “Semoga Bang Ben liat postinga
Dua hari berlalu sejak video emosional itu diunggah. Video yang memperlihatkan sisi rapuh sekaligus kuat dari seorang perempuan yang mencintai dengan sepenuh jiwa. Ribuan komentar mengalir, banyak yang tersentuh, tapi tak satu pun dari nama yang paling ia nantikan—Benjamin Addam. Namun Vennesa tak berhenti berharap. Ia tahu, kalau cinta itu nyata, pasti akan menemukan jalannya sendiri. Dan hari itu, ia memulai sesuatu — perjalanan kecil di dunia maya untuk menemukan seseorang yang mungkin masih hidup, entah di mana. “Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia pasti akan mengenali kenangan ini,” katanya lirih sambil memegang rantai berloket bintang peninggalan Ben. Vellery memperhatikan dari kursi dekat jendela, kagum sekaligus khawatir. “Kak, kamu yakin mau buat begini? Dunia bisa kejam, lho.” Vennesa tersenyum lemah. “Biar orang bicara apa saja, Vel. Aku cuma ingin dia tahu… aku masih menunggunya.” Lalu, dengan hati berdebar, ia mulai mengunggah foto pertama. Foto satu
Pagi di rumah itu terasa damai. Udara pagi menerobos perlahan dari jendela yang dibiarkan terbuka. Burung-burung berterbangan rendah, dan sinar matahari memantul di dinding putih kamar Vennesa. Ia masih duduk di ranjang, mengelus perutnya dengan lembut, sesekali menarik napas panjang. Pintu kamar diketuk pelan. “Kak, boleh Vel masuk?” suara Vellery terdengar ceria pagi itu. “Masuklah, Vel,” jawab Vennesa lembut. Vellery masuk sambil membawa laptop di tangan. Wajahnya tampak segar, sedikit bersemangat. “Kak,” katanya sambil menutup pintu, “tadi malam Vel kepikiran sesuatu. Ide ini muncul waktu Vel buka media sosial.” Vennesa menatap adiknya, sedikit heran. “Ide apa?” Vellery duduk di tepi ranjang, membuka laptopnya. “Kak tahu kan, dunia sekarang semuanya di internet. Media sosial bisa menjangkau ke mana saja. Kalau Ben masih hidup, kalau dia benar-benar di luar sana, mungkin dia bisa meliha
Setelah Alessandro pulang, suasana rumah terasa tenang. Dari kamar atas, suara ombak terdengar sayup-sayup, seolah memantulkan rasa kosong di hati Vennesa. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur longgar, tangannya mengelus perut yang mulai membulat. Matanya menerawang, jauh, seperti mencari seseorang yang tak tahu di mana keberadaannya. Pintu kamar terbuka perlahan. Vellery masuk membawa segelas susu hangat dan senyum lembut. “Kak, minumlah. Biar nggak pusing,” katanya pelan. Vennesa menoleh dan tersenyum samar. “Terima kasih, Vel.” Vellery duduk di tepi ranjang. Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati kehangatan sore yang menyusup dari balik tirai putih. Lalu, dengan nada hati-hati, Vellery membuka bicara. “Kak… Vel cuma mau bilang sesuatu. Jangan marah, ya?” “Bilang saja, Vel.” “Vel lihat sendiri, Alessandro itu tulus. Dia mencintai kakak tanpa syarat. Dia nggak pernah lelah
Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, akhirnya Vennesa diperbolehkan pulang. Udara pagi terasa segar ketika kursi rodanya didorong perlahan menuju pintu keluar. Cahaya mentari menembus dedaunan, menimbulkan bayangan bergerak di lantai koridor. Vennesa menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih terasa berat. Luka fisik mungkin sudah mulai pulih, tapi luka di dalam dirinya masih segar, baru beberapa hari lalu. Sepanjang empat hari itu, tanpa gagal, Alessandro selalu meluangkan waktunya untuk datang menjenguk. Di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya, lelaki itu selalu menyempatkan diri mengirim pesan singkat — mengingatkan agar Vennesa beristirahat cukup, tidak terlalu banyak berpikir, dan menjaga kandungannya baik-baik. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri,” begitu tulisnya di pagi hari. “Tidurlah lebih awal malam ini, aku akan datang besok pagi.” Pesan-pesan itu terasa hangat, sederhana, namun penuh perhatian. Kadang-kadang Vennesa membac







