“Kamu kemana tadi malam?” Jelita menatap Galih penuh selidik saat memberikan jaket. Dia sengaja membalik jaket sehingga aroma parfume yang tertinggal disana tercium dengan jelas. Wanita itu melirik Bella yang baru saja menyelesaikan sarapan. Dia mengulas senyum saat anaknya mencium tangannya dan menuju teras untuk memasang sepatu.
“Lembur.” “Yakin?” Jelita memperhatikan Galih yang menghindari tatapannya. Sepuluh tahun menikah, dia jelas tahu gerak-gerik suaminya. “Sejak kapan kamu punya rekan satu tim perempuan di kantor? Kamu bisa cium aroma ini? Ini jelas aroma parfume wanita yang menempel karena dia memakai jaket ini.” Jelita menunjuk jaket di tangan Galih. “Aku tidak tahu, Ney.” Galih menghela napas panjang. Jelas tidak mungkin dia meralat alasan lembur tadi malam dan jujur mengatakan kalau dia ikut karaoke bersama teman. Dia mengeluh pelan karena harus berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya yang sebelumnya. “Kemarin jaket itu aku geletakkan dimana saja. Mungkin ada yang iseng mencoba” Galih memberikan alasan apapun yang melintas di kepalanya. Dia memaki dalam hati melihat ekspresi wajah Jelita. Jelas saja istrinya tidak akan percaya. Di kantor, jaket itu biasa dia sampirkan di kursi kerjanya. Bagaimana bisa dia mengatakan asal meletakkan dimana saja? “Papa? Nanti Bella telat loh!” “Yes, My Girl, on the way ….” Galih menghela napas lega karena panggilan Bella menyelamatkannya pagi ini. Dia mencium kening Melati dan mengelus kepala Zaky sebelum berangkat. “Ney? Apa aku harus memintakan rekaman CCTV kantor tadi malam untuk meyakinkanmu kalau aku memang lembur sampai lewat tengah malam?” Galih menatap Jelita yang menghela napas panjang. “Hati-hati ….” Jelita akhirnya memutuskan berhenti bertanya walau rasa tidak nyaman masih terasa. Dia jelas tidak mau anak dan suaminya terlambat kalau dia masih berkeras mengorek keterangan dari Galih. Apalagi, Galih sudah menyinggung masalah CCTV. Jelita memilih percaya karena sepanjang sepuluh tahun pernikahan Galih adalah lelaki yang selalu menomorsatukan dirinya dan kedua anak mereka. Jam istirahat kantor, Galih menautkan alis saat melihat ada pesan masuk dari nomor yang tidak dia kenal. Saat membuka pesan, dia mengulas senyum mengetahui itu pesan dari Amanda. Hampir saja dia memberikan nomor Jelita. Namun, Galih urung melakukannya. Bisa-bisa terbongkar kebohongannya tadi malam kalau sampai Jelita bertanya pada Amanda bagaimana mereka bisa berjumpa. “Manda? Please … kalau nanti ketemu Jelita, jangan bahas kita pernah bertemu di tempat karaoke. Aku berani bersumpah itu pertama kalinya aku kesana.” Galih akhirnya mengirimkan pesan setelah menimbang beberapa saat. “Aman lah. Aku juga nggak mungkin jujur ke Jelita kalau kita bertemu karena aku kerja disana ‘kan?” Galih tersenyum kecil dan mengusap wajah membaca balasan pesan dari Amanda. Dia menghela napas panjang mengingat perjumpaan mereka. Amanda berubah jauh dari sepuluh tahun yang lalu dan tidak Galih pungkiri, wanita itu terlihat jauh lebih cantik. Dulu saja saat masih pemalu, dia dan Amanda bisa sangat nyambung saat ngobrol. Apalagi sekarang, Amanda sangat luwes dan enak diajak bicara. “Senyum-senyum aja, Mas Galih? Tumben pagi-pagi cerah itu wajah. Biasanya agak butek. Apa karena habis ngobrol dengan Amanda tadi malam?” Arul yang baru kembali dari istirahat makan bersiul dan mencolek Galih yang duduk bersebelahan meja dengannya. “Kenal baik dengan Amanda?” “Teman dulu waktu kuliah. Makanya kaget pas tahu dia disana.” Galih menyimpan ponselnya dan mulai fokus dengan desain rancangan gedung yang sudah dia garap sejak tiga hari yang lalu. Tidak lama, dia menoleh ke arah Arul kembali. “Mas Arul sering kesana? Cewek-cewek di sana itu bisa ‘dipakai’?” Arul tertawa mendengar pertanyaan Galih. Dia menaikkan sebelah alis dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Pernah beberapa kali kesana. Setahuku, Amanda jarang turun. Dia khusus menemani tamu VIP saja yang memang sudah booking dari jauh-jauh hari. Masalah bisa itu atau tidak, tergantung ceweknya. Itu sudah diluar transaksi tempat karaoke. Masuknya sudah ke pribadi.” Galih menghela napas panjang mendengar ucapan rekan kerjanya. Sebagai teman lama, diia menyimpan simpati pada Amanda yang harus menjalani kehidupan malam. Namun, dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya. Cuci darah setiap bulan jelas membutuhkan biaya yang tidak murah. Belum obat-obatan lain yang harus dikonsumsi dan kebutuhan mereka sehari-hari. Dua minggu berlalu cepat. Dia dan Amanda hanya beberapa kali saja berkomunikasi seperlunya. Galih sibuk dengan deadline rancangan gedung proyek terbarunya. Dia juga belum membicarakan pertemuan dengan Amanda pada Jelita karena Amanda juga kemarin seperti tidak terlalu antusias saat membahas tentang Jelita. Akhir pekan, Galih menemani Jelita belanja bulanan. Seperti biasa, Galih dan dua anaknya dengan sukacita mendorong trolley belanjaan yang penuh untuk stok makanan dan cemilan di rumah. Saat sedang antri bayar di kasir, Galih terkejut ada yang menepuk bahunya pelan. “Galih.” “Amanda?” Galih dan Jelita sontak berbarengan menyebut nama Amanda saat menyadari yang antre bayar di belakang mereka adalah Amanda. “Kamu kapan balik ke Jakarta? Kok nggak berkabar?” Jelita langsung memeluk Amanda erat. Dia memperhatikan penampilan temannya dari atas hingga bawah. “Ih, tambah cantik banget sekarang. Kayak anak perawan!” Amanda tertawa mendengar ucapan Jelita. “Kalau aku cantik, terus sebutan buat kamu apa?” Wanita itu terkekeh saat Jelita menepuk bahunya pelan. “Oh iya, Lih? Sorry, honorku turunnya mundur dua hari karena Mami ada acara keluarga ke luar kota. Nanti kalau sudah masuk, aku langsung bayar yang kemarin. Maaf ….” Senyum di wajah Jelita padam seketika melihat wajah memelas Amanda saat bicara pada suaminya. Dia menoleh kepada Galih yang tampak salah tingkah dan mengalihkan pandangan ke sembarang arah.“Ada dua alasan kenapa kamu tidak menceritakan tentang Amanda padaku. Pertama, ada yang salah saat pertama kalian berjumpa setelah sekian tahun tidak bertemu. Kedua, kamu merasa Amanda lebih nyaman berteman dan berkomunikasi denganmu sehingga merasa tidak perlu memberitahu aku. Jadi, yang mana alasanmu?”Galih menghela napas panjang mendengar ucapan istrinya. Dia mengalihkan pandang, tidak mampu menatap mata Jelita yang seakan sedang menguliti kebohongannya. “Aku benar-benar lupa, Ney. Maaf. Aku merasa tidak ada yang istimewa dengan pertemuanku dan Amanda. Aku menganggap dia teman biasa, sama seperti yang lainnya. Jadi, aku tidak memprioritaskan dia menjadi bahan obrolan kita yang utama.”Lelaki itu menghela napas panjang. Berusaha memilih kalimat yang tepat agar kemarahan istrinya tidak semakin menjadi. “Akhir-akhir ini juga kamu sibuk sekali. Begitu aku pulang, kamu langsung meninggalkan semua dan fokus di depan laptop. Jadi, yaaaa, bukan masalah ada yang salah saat kami bertemu ata
“Tidak apa-apa, Manda, bayar kalau sudah ada uangnya saja. Tidak perlu memaksakan diri karena uang itu juga buat SPP Bella bulan depan.” Jelita mengulas senyum sambil meraih tangan Galih dan menggandengnya. “Papanya anak-anak itu, gajinya ke aku semua. Jadi, pas kamu pinjam uang itu, dia pakai yang buat SPP Bella karena memang dia biasanya yang urus masalah bayar membayar.” Jelita memberi kode pada Galih untuk maju karena antrian di depan mereka sudah selesai di kasir.“Oh … begitu.” Amanda bernapas lega. Dia tertawa sambil menepuk bahu Jelita yang sedang membantu Galih memindahkan belanjaan mereka. “Nanti kalau honorku sudah masuk, langsung aku bayar ya. Sorry, nggak biasanya telat begini. Mami ada urusan, makanya jadi molor sampai dua hari.”“Kamu sudah lama di Jakarta? Pindah kesini atau sekedar berkunjung saja?” Jelita kembali bertanya, mengabaikan ucapan Amanda barudan. Dia melirik ke arah suaminya yang menyibukkan diri dengan dua anak mereka, seperti enggan berbaur dan ikut ngob
“Kamu kemana tadi malam?” Jelita menatap Galih penuh selidik saat memberikan jaket. Dia sengaja membalik jaket sehingga aroma parfume yang tertinggal disana tercium dengan jelas. Wanita itu melirik Bella yang baru saja menyelesaikan sarapan. Dia mengulas senyum saat anaknya mencium tangannya dan menuju teras untuk memasang sepatu.“Lembur.”“Yakin?” Jelita memperhatikan Galih yang menghindari tatapannya. Sepuluh tahun menikah, dia jelas tahu gerak-gerik suaminya. “Sejak kapan kamu punya rekan satu tim perempuan di kantor? Kamu bisa cium aroma ini? Ini jelas aroma parfume wanita yang menempel karena dia memakai jaket ini.” Jelita menunjuk jaket di tangan Galih.“Aku tidak tahu, Ney.” Galih menghela napas panjang. Jelas tidak mungkin dia meralat alasan lembur tadi malam dan jujur mengatakan kalau dia ikut karaoke bersama teman. Dia mengeluh pelan karena harus berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya yang sebelumnya. “Kemarin jaket itu aku geletakkan dimana saja. Mungkin ada yang isen
“Memangnya apa yang tidak bisa kamu miliki, Amanda?”“Kamu ….”Galih dan Amanda sontak tertawa bersamaan setelah sekian detik terdiam. Mereka berteman cukup dekat dulu. Galih bahkan bisa dekat dengan Jelita juga atas bantuan Amanda. Dia bisa berteman baik dengan Amanda yang pendiam dan sedikit pemalu hingga membuat Jelita mulai merasa tertarik dengan kepribadian lelaki itu.“Kenapa tidak main ke rumah, Manda? Komunikasi kita benar-benar terputus sejak kamu menikah dan pindah keluar kota.” Galih kembali bertanya. Lelaki itu menggeleng pelan saat beradu pandang dengan Arul yang mengedipkan sebelah mata kepadanya karena tampak sangat akrab dengan Amanda. “Aku tidak mau merepotkan orang lain, Galih. Aku … trauma menerima penolakan. Jangankan teman, bahkan keluarga suamiku pun enggan memberi bantuan. Sementara keluargaku juga kamu tahu sendiri keadaannya bagaimana. Jadi ya begitulah. Aku memilih berjuang sendiri karena kalau tidak begitu, siapa yang akan membiayai pengobatan anakku?”Gali
“Bicara disini saja, Pak. Tidak perlu buka room lagi.” Galih menggeleng, menanggapi ucapan Raka barusan. Dia langsung menunjuk sofa panjang dan mengajak Amanda duduk di posisi paling pojok. Berduaan dengan lawan jenis di ruangan tertutup jelas bukan ide yang bagus bagi Galih. Apalagi, Amanda berpakaian sangat seksi. Biasanya, dia melihat wanita berpakaian seperti ini dari jarak yang sangat dekat saat dia dan Jelita akan melakukan ritual malam.“Kamu nggak dingin?” Galih membuka percakapan. Dia bisa merasakan kekakuan di antara mereka. Sekian tahun tidak bertemu, lalu berjumpa di tempat ini dan dalam keadaan seperti ini jelas tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Pakai jaketku.” Galih melepaskan jaket kulit yang dia kenakan dan meminta Amanda memakainya. Sejujurnya, dia tidak nyaman melihat wanita itu mengenakan pakaian seperti itu.“Kerja di perusahaan yang sama dengan Om Raka ya? Sering main-main ke tempat begini?” Amanda mengulas senyum setelah mengenakan jaket. Aroma minyak wangi
“Yaelah, Bro, cemen banget jadi laki! Masih zaman takut sama istri? Lelaki nakal-nakal dikit ya wajar lah. Sekedar buat hiburan tidak apa-apa. Apalagi, duitnya ada.” Arul menggosokkan jari telunjuk dengan ibu jari. Lelaki itu lalu merangkul bahu Galih yang sedang membereskan meja kerja. Dia menggeleng melihat rekan kerjanya itu bergeming mendengar ucapannya.“Ikut kita yuk! Sesekali ini. Mbak Jelita nggak bakal tahu, amaaan. Emang kamu nggak bosan kerja pulang kerja pulang terus? Mlipir sebentar, ngopi-ngopi.” Farhat ikut mendekat. Dia mengedipkan sebelah mata pada Arul yang mengangkat jempol mendengar ucapannya. “LC disana mantap-mantap, Mas Galih. Ini tempat karaoke jempolan. Sekelas selebgram, artis tik tok dan artis baru di TV bahkan sering jadi LC panggilan disana.”“Memangnya kamu tidak bosan nyangkul sawah itu-itu saja, Mas Galih? Sesekali cobain lah sawah lain. Mana tahu lebih becek lumpurnya. Semakin basah semakin menyenangkan rasanya. Ya nggak, Mas Farhat?” Arul tertawa saat