“Tidak apa-apa, Manda, bayar kalau sudah ada uangnya saja. Tidak perlu memaksakan diri karena uang itu juga buat SPP Bella bulan depan.” Jelita mengulas senyum sambil meraih tangan Galih dan menggandengnya. “Papanya anak-anak itu, gajinya ke aku semua. Jadi, pas kamu pinjam uang itu, dia pakai yang buat SPP Bella karena memang dia biasanya yang urus masalah bayar membayar.” Jelita memberi kode pada Galih untuk maju karena antrian di depan mereka sudah selesai di kasir.
“Oh … begitu.” Amanda bernapas lega. Dia tertawa sambil menepuk bahu Jelita yang sedang membantu Galih memindahkan belanjaan mereka. “Nanti kalau honorku sudah masuk, langsung aku bayar ya. Sorry, nggak biasanya telat begini. Mami ada urusan, makanya jadi molor sampai dua hari.” “Kamu sudah lama di Jakarta? Pindah kesini atau sekedar berkunjung saja?” Jelita kembali bertanya, mengabaikan ucapan Amanda barudan. Dia melirik ke arah suaminya yang menyibukkan diri dengan dua anak mereka, seperti enggan berbaur dan ikut ngobrol bersama. “Kok nggak berkabar sih, Manda?” “Belum setahun aku pindah kesini, Ta. Ah … panjang ceritanya.” Wanita itu menghela napas panjang. “Kapan-kapan deh kita janjian biar bisa leluasa ngobrol ya? Kalau kamu bawa tiga buntut begitu berasa ada penjaganya.” Amanda terkekeh melihat Jelita mengangguk setuju, sepakat dengan kata ‘penjaga’ barusan. “Kamu masih kerja, Ta? Atau di rumah jaga anak-anak?” Amanda memperhatikan Jelita yang mengambil anaknya dari Galih. Anak lelaki berusia tiga tahunan itu terus merengek sejak tadi. “Ganteng ih, mirip banget sama Galih.” Amanda mengelus lengan Zaky yang mulai diam dalam gendongan Jeliat. Sementara Zaky berdehem pelan, berpura tidak mendengar ucapan Amanda saat Jelita meliriknya dengan ujung mata. Lelaki itu fokus memperhatikan kasir yang menghitung belanjaan mereka dan sesekali ngobrol dengan Bella. “Aku jaga anak-anak di rumah sambil kerja.” Jelita tertawa saat Amanda menatapnya tidak mengerti. “Freelancer writer, Manda. Aku nulis buat blog berdasarkan request dari klien.” “Kamu memang pintar sejak dulu, Ta. Bahkan dari rumah, masih bisa menghasilkan uang.” Amanda menatap Jelita dengan pandangan yang sulit diartikan. Sejak dulu, Jelita memang kreatif dan pemikirannya sulit dia ikuti. “Alhamdulillah, Galih maunya aku fokus ke anak-anak agar bisa mendapatkan perhatian penuh dari aku. Jadi begitu lahiran Bella, aku mantap memutuskan resign.” Jelita memberikan kartu debit saat kasir menyebutkan nominal yang harus dibayar. “Kamu kerja dimana, Manda? Kok bisa gajinya sampai mundur hanya gara-gara pemilik ada urusan keluarga?” Jelita kembali bertanya. Dia menautkan alis saat melihat perubahan wajah temannya mendengar pertanyaannya barusan. “Itu bisa dilaporkan ke disnaker loh. Biasanya sekali karyawan terima, kedepan bakal begitu-begitu lagi.” Amanda hanya mengangguk menanggapi ucapan Jelita. Dia bergeser untuk memindahkan belanjaanya ke meja kasir karena Jelita sudah selesai. Setelah membayar belanjaan, mereka langsung pulang, meninggalkan Amanda yang masih sibuk di kasir. Sepanjang perjalanan, Jelita tidak banyak bicara seperti biasa. Dia hanya duduk diam, tenggelam dalam pikirannya. Begitu juga dengan Galih, lelaki itu sesekali saja bersuara, menanggapi kedua anaknya yang asyik bercanda. Sesekali, dia melirik ke arah Jelita, seakan paham keheningan di antara mereka menyimpan bara. Malam hari menjelang tidur, Galih mendekati Jelita yang sejak tadi siang seperti sengaja mengabaikannya. Istrinya itu bahkan seperti menganggap keberadaannya tidak ada hingga Galih merasa tidak tahan sendiri untuk mengajak Jelita bicara. “Aku bertemu dengan Amanda secara tidak sengaja dua minggu yang lalu.” Jelita bergeming, tidak menanggapi apapun. Dia sengaja tidak bertanya karena menunggu Galih menjelaskan semua. Sebagai seorang istri, jelas dia merasa tersinggung suaminya meminjamkan uang kepada wanita lain tanpa sepengetahuan dirinya. Lebih dari itu, dia jelas menyimpan curiga kenapa Galih tidak menceritakan apapun tentang bagaimana bisa berhubungan kembali dengan Amanda, padahal sudah sekian tahun mereka tidak saling bertukar kabar. “Aku lupa terus setiap kali mau cerita karena kesibukanku yang dikejar deadline pekerjaan.” Galih meneruskan penjelasan walau tidak ada tanggapan apapun dari istrinya. “Minggu lalu, dia pinjam uang karena butuh biaya untuk cuci darah anaknya. Aku tidak berpikir panjang untuk meminjamkan karena urusannya adalah nyawa. Kamu tahu sendiri aku lemah kalau sudah bicara soal anak. Membayangkan dia kebingungan mencari pinjaman, aku spontan memberikan bantuan. Apalagi, dia berjanji akan segera mengembalikannya.” "Lupa? Lupa karena sibuk atau sengaja dilupakan?" Jelita bertanya sambil tertawa kecil. Dia yang sejak tadi diam saja akhirnya memutuskan untuk berbicara. Wanita itu menoleh ke arah Galih yang duduk di bibir ranjang. Dia yang sejak tadi rebahan akhirnya menegakkan badan. “Kamu lupa bercerita tentang Amanda atau lupa kalau aku ini istrimu?” Melati menggeleng saat Galih hendak memotong ucapannya. “Lupa adalah alasan terbodoh yang pernah kudengar dari seseorang yang berusaha menutupi kebohongan, Galih! Sungguh terasa ganjil sekali seorang suami bisa lupa memberitahu istrinya kalau baru saja bertemu dengan sahabat baik istrinya. Apalagi, sampai sudah meminjamkan uang segala.” “Aku salah. Aku minta maaf.” Galih mengembuskan napas kencang. Seharusnya, sejak awal dia menceritakan pertemuannya dengan Amanda. Namun, saat itu dia dilanda kebingungan karena tidak mungkin jujur pada Jelita kalau dia baru saja dari tempat karaoke. Bisa dibayangkan akan seperti apa reaksi Jelita yang kerepotan di rumah saat tahu dia malah menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bersama rekan kerjanya. “Ada dua alasan kenapa kamu tidak menceritakan tentang Amanda padaku. Pertama, ada yang salah saat pertama kalian berjumpa setelah sekian tahun tidak bertemu. Kedua, kamu merasa Amanda lebih nyaman berteman dan berkomunikasi denganmu sehingga merasa tidak perlu memberitahu aku. Jadi, yang mana alasanmu?”Bella menunduk saat Jelita membelai rambutnya. Mendadak, matanya terasa panas mengingat ucapan papanya tadi siang. Dia tidak bisa menahan tangis saat Jelita meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukan.“Ada apa, Sayang?” Jelita bertanya dengan hati-hati. Dia berusaha mengendalikan diri walau pikirannya sudah kemana-mana. Tidak biasanya anak pertamanya yang mandiri itu menangis seperti ini. “Mau cerita apa sama Mama?” Jelita melepaskan pelukan. Dia membingkai wajah anaknya dan mengusap air mata di wajah Bella.“Mama sama Om Langit pacaran ya?”Jelita menautkan alis mendengar pertanyaan anaknya. Dia memilih diam, menunggu Bella melanjutkan pembicaraan. Wanita itu menduga-duga apa yang terjadi tadi siang saat kedua anaknya dibawa oleh Galih keluar.“Kata Papa, kalau Mama menikah lagi nanti, Mama bakalan sibuk sama Papa baru. Apalagi kalau punya bayi, pasti Bella dan Zaky tidak terurus.” Bella menutup wajah dengan kedua tangan. Ketakutan menguasai hatinya. “Kalau Mama menikah lagi, nan
“Pantas saja selama ini kamu selalu meminta aku menggunakan alat kontrasepsi, kamu tidak ada rencana masa depan denganku, Galih. Kamu hanya menjadikan aku persinggahan sementara karena kehilangan Jelita.” Amanda menatap Galih yang kini terlentang di kasur. Mata lelaki itu menatap langit-langit kamar yang memiliki aksen kayu. Amanda meraba lehernya yang masih terasa sakit karena cekikan Galih tadi.“Sekarang saja kamu mengeluh uang bulanan yang kuberikan kurang, Manda, apalagi kalau kita memiliki anak?” Galih mengembuskan napas kencang. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya. Selama berumah tangga, mereka jarang berbagi pikiran karena kalau sudah membicarakan hal yang penting sering tidak sejalan. “Aku menunda dulu agar fokus tidak terbagi. Aku ingin kita fokus pada pengobatan Dery dan aku tetap memiliki banyak waktu bersama Bella dan Zaky.”Amanda berdiri dan menuju cermin. Dia mengeluh pelan mengetahui dress yang dia kenakan robek di bagian pinggang, mungkin kar
“Memangnya kamu berharap apa dari menikahi duda beranak dua, Amanda? Gajiku ya jelas terbagi untuk mereka juga. Walau mereka tinggal dengan mamanya, tapi untuk makan, pakaian dan kebutuhan lainnya itu tetap tanggung jawabku sebagai Papa mereka.” Galih menggeleng mendengar Amanda mengungkit masalah biaya kecantikan. Memangnya dia pengusaha sukses yang uangnya tidak terbatas?“Jelita dulu perasaan bisa perawatan di tempat-tempat mahal, ke kafe dan belanja-belanja dari postingannya. Kok aku nggak bisa? Aku nggak minta harus rutin seperti dia dulu. Ya setidaknya bisa lah dua bulan sekali aku perawatan, sebulan sekali diajak makan keluar pas gajian, kalau ada momen spesial seperti ulang tahun atau apa dapat kado tas atau cincin. Reward, Lih, aku butuh reward. Butek banget aku sepanjang waktu hanya di rumah saja.”“Dulu aku hanya membiayai Jelita dan anak-anakku saja. Sekarang, aku harus membiayai anak-anakku dan juga pengobatan Dery yang tidak murah. Seharusnya, kamu mengerti akan hal itu.
“Mama kenal dimana? Sering pergi bareng Mama ya?”“Nggak tahu kenal dimana. Setahu Bella, Om Langit itu ada usaha bareng sama Mama. Ya lumayan sering pergi berdua. Kadang kalau perginya sore atau malam, Bella dan Zaky juga diajak.” Bella menjawab ringan. Dia tertawa saat melihat adiknya tersedak kuah ramen. “Om Langit baik, Pa. Dia sering beliin Zaky mainan sama buku cerita buat Bella. Setiap datang, pasti bawa makanan yang enak-enak. Kakek dan Nenek juga suka sama Om Langit.”Galih menghela napas panjang mendengar cerita putrinya. Sebagai lelaki, dia tahu betul kalau Langit sedang berusaha mengambil hati Jelita dengan mendekati orangtua dan anak-anaknya. Melihat dari pakaian dan mobil Langit tadi, dia bisa menduga kalau lelaki itu sudah cukup mapan. Dari segi usia, dia yakin mereka tidak berjauhan. Galih tampak berpikir sejenak karena aneh saja lelaki mapan dan berusia matang seperti Langit belum memiliki pasangan. “Bella tahu banyak ya tentang Om Langit?”Bella mengangkat bahu sambi
“Ya namanya usaha masih merangkak, cara promosinya seperti ini. Ikut mengisi stand-stand kalau ada acara sehingga bisa dikenal masyarakat langsung.” Langit bertepuk tangan saat Zaky berhasil menyelesaikan rancangan kincir dari lego yang disusunnya. “Hebat! Nanti Om belikan mainan kincir biar sama dengan legonya ya.”“Kenapa tidak fokus ke usaha katering saja, Nak Langit?” Asep bertanya setelah sejak tadi hanya menjadi pendengar saja. Mereka kenal cukup baik karena Langit sering datang kesana setiap ada yang perlu dibicarakan dengan Jelita. Lelaki itu tahu kalau Langit ada usaha lain yang sudah kuat selain usaha sabun herbal yang kini sedang dikerjakan bersama Jelita.“Kalau bisa dua, kenapa harus satu, Pak?” Langit terkekeh pelan. “Itu usaha punya orangtua. Saya hanya meneruskan saja. Dulu, kuliah ambil jurusan kimia. Jadi usaha sabun herbal ini untuk menyalurkan hobi. Dari dulu saya itu suka membuat formula produk. Ya karena katering sudah jalan dan manajemennya sudah kuat, saya jadi
Suara ketukan di pintu membuat Amanda mengangkat kepala dan meletakkan ponselnya. Dia menatap Galih yang masuk ke rumah dengan wajah sumringah. Wanita itu mengembuskan napas panjang saat mendengar Galih bersiul pelan, seolah hatinya sedang berbunga-bunga dan sangat bahagia. Dia berdiri dan mengikuti Galih ke kamar. “Yang habis makan bareng sama mantan istri, senang banget kayaknya.”Galih menautkan alis mendengar nada suara Amanda yang sedikit berbeda. Lelaki itu menghela napas panjang saat melihat wajah Amanda yang biasanya selalu tersenyum itu terlihat sedikit kusut. “Aku senang karena bisa makan bersama anak-anakku. Selain itu aku juga senang karena hubunganku dengan orangtua Jelita bisa tetap baik-baik saja. Aku dan Jelita juga bisa berinteraksi dengan baik sehingga kedepan tidak akan ada masalah dalam membersamai perkembangan Bella dan Zaky.”Amanda mengembuskan napas kencang mendengar jawaban Galih. Wanita itu tahu Galih memang sempat resah memikirkan hal itu. Galih selalu berce