MasukLaras menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan Ibu jari, lalu ia berusaha tersenyum pada Hilda yang menatap kearahnya
"Laras! Apa nggak sebaiknya kamu ceritakan masalah kamu ini kepada Paman dan juga Bibi? Kan kamu menikah dengan Mas Sofian karena keinginan mereka berdua? Mungkin saja mereka bisa memberikan solusi untuk masalah kamu sekarang? Kamu tidak boleh diam saja kalau suamimu itu membuat kamu tertekan seperti ini?" Hilda mencoba memberi saran pada sahabatnya itu. "Aku rasa tidak perlu, Hilda! Aku yakin, aku bisa menghadapi semua ini! Dan aku tidak mau membebani Pak somad dan juga istrinya yang sudah sangat baik padaku selama ini!" jawab Laras. "Kamu serius Laras? Apa kamu nggak takut kecewa nantinya, setelah berjuang mati-matian dalam membina rumah tanggamu, tapi laki-laki yang menjadi suamimu itu sama sekali tidak pernah menganggapmu. Dan apa yang akan kamu harapkan dari laki-laki seperti itu, Laras? Kamu hanya akan sakit hati! Jadi aku mohon sama kamu, kamu pikirkan dulu sebelum kamu membuat keputusan yang mungkin akan membuat kamu menyesal suatu hari nanti." Hilda berusaha membujuk Laras, agar wanita itu tidak mengambil keputusan yang hanya akan melukai perasaannya. "Insya Allah, aku yakin Hilda! Aku akan mencoba menjalani rumah tanggaku saat ini, dan semoga saja kedepannya Mas Sofian lebih menghargaiku sebagai istrinya. Hilda hanya menghela nafas mendengar jawaban sahabatnya itu. "Oke. Terserah kamu saja kalau gitu! Aku tidak mungkin mencampuri urusan rumah tanggamu terlalu jauh! Tapi kalau kamu butuh sesuatu, kamu telfon saja ke nomor aku ini?" ujar Hilda sambil menyerahkan selembar kertas yang tertulis nomor telfon miliknya. Laras pun menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih Hilda, aku akan menghubungi nomor kamu ini jika aku membutuhkan pertolongan kamu." jawab Laras tersenyum. "Baiklah kalau begitu! Oh iya, nanti kamu pulangnya naik apa?" tanya Hilda. "Aku naik taksi!" jawab Laras singkat. "Gimana kalau kamu pulang bareng aku aja? Aku pengen tau rumah kamu dimana? Siapa tau nanti aku pengen main kerumah kamu!" tawar Hilda. "Emangnya nggak ngerepotin!" Laras merasa tidak enak. "Ya nggaklah! Kenapa pula harus repot? Kan kita jarang-jarang ketemuan kayak gini! Jadi aku pengen menghabiskan waktuku bersama kamu hari ini! Kamu nggak keberatan kan, kalau aku pengen tau dimana rumah kamu?" tanya Hilda. "Tentu saja tidak, Hilda! Justru aku senang kalau kamu mau datang kerumahku!" Laras menjawab jujur. Karena memang dirinya merasa sangat bahagia jika saja Hilda mau datang kerumah pemberian mertuanya. Dengan begitu, Laras tidak merasa kesepian lagi, sahabatnya itu bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah dan teman curhat disaat dirinya sedang merasa kesepian. Hilda tersenyum mendengar perkataan wanita cantik dihadapannya. Setelah membayar makanan yang mereka pesan, Hilda pun menggandeng tangan Laras menuju ketempat parkir. Saat keduanya sudah masuk kedalam mobil, Hilda segera melajukan mobilnya untuk mengantar Laras kerumahnya. Saat diperjalan pulang, Hilda menatap Laras yang terlihat murung. "Kamu kenapa, Laras? Kok diam saja seperti itu, apa yang sedang kamu fikirkan?" tanya Hilda sambil menyetir mobilnya. "Aku teringat dengan nenekku, Hilda! Saat aku berangkat kemari, nenek sedang sakit! Rasanya waktu itu aku tidak tega meninggalkan nenek! Tapi mau bagaimana lagi, aku nggak mungkin kan menolak permintaan mertuaku untuk tinggal dikota ini?" jawab Laras pelan. Hilda, hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Terus. Didesa nenekmu tinggal sama siapa?" tanya Hilda lagi. "Sama Pak somad dan juga Bu Nuning!" jelas laras. "Oh! Jadi nenek kamu tinggal dirumah Paman dan Bibiku?" Hilda pun mangut-mangut. "Kalau sama Bibi dan Paman, kayaknya kamu nggak perlu merasa khawatir, Laras! Nenekmu pasti akan baik-baik saja." ujar Hilda menenangkan sahabatnya. Laras pun tersenyum kerah Hilda. "Iya, tapi aku tetap kefikiran sama nenek, Hilda! Aku takut kalau aku tidak akan bertemu lagi dengannya!" ucap Laras sambil menundukkan wajahnya. "Huuss... Kamu ini ngomong apaan sih? Kamu jangan berfikir yang tidak-tidak! Kalau misalnya kapan-kapan kamu ingin pulang dan menjenguk nenekmu, aku bisa kok mengantarkan kamu pulang kedesa." Jawab Hilda memberi semangat. "Yang benar Hilda?" ucap Laras tidak percaya. "Ya benarlah! Aku akan selalu siap mengantar dan menjemput kamu kalau memang kamu ingin pulang kedesa," jawab Hilda lagi, ia mencoba meyakinkan sahabatnya itu. "Wah. Terimakasih ya Hilda! Kamu memang sahabat aku yang paling baik dari dulu." ujar Laras dengan bola mata berbinar. Hilda menganggukkan kepalanya, menanggapi ucapan Laras. Tidak terasa, mobil Hilda pun sudah sampai didepan rumah mewah yang dihuni oleh Laras dan Sofian. Laras segera menarik tangan Hilda, dan mengajak sahabatnya itu masuk kedalam rumah. Rumah besar itu terlihat sangat sepi. "Laras! Kok sepi banget? Kemana suamimu?" tanya Hilda, saat dirinya sudah masuk kedalam rumah tersebut, dan duduk diruang tamu. "Mas Sofian sedang keluar!" jawab Laras, perempuan itu ingin melangkah kedapur dan berniat membuatkan minuman untuk sahabatnya, Hilda. "Kamu duduk dulu sebentar, ya? Aku mau membuatkan minum dulu?" kata Laras seraya tersenyum kearah sahabatnya. "Eh, nggak perlu repot-repot Laras! Kan tadi direstaurant kita baru saja minum! Mendingan kamu duduk disini aja dulu, kita ngobrol-ngobrol." Hilda meraih tangan Laras, dan mengajak perempuan itu duduk bersamanya. Laras pun mengikuti Sahabatnya, duduk diruang tamu sambil bersenda gurau. Tidak lama kemudian, terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumah. Beberapa saat kemudian, terlihat Sofian yang berjalan masuk kedalam rumah, tanpa mengucapkan salam sama sekali. Laki-laki itu terus saja berjalan melewati Laras dan Hilda yang sedang duduk diruang tamu. Sikapnya sangat cuek, seolah-olah ia memang tidak melihat keberadaan kedua perempuan cantik itu disana. "Mas Sofian!" panggil Hilda, yang membuat Sofian menoleh kearah wanita berparas manis itu. "Siapa ya, memangnya kita pernah ketemu?" tanya Sofian datar. Hilda segera menghampiri pria tampan tersebut sambil tersenyum kecil. "Mas Sofian lupa ya, sama aku? Aku Hilda Mas, keponakannya Pak somad!" Hilda berusaha mengingatkan Sofian pada dirinya. Laki-laki dihadapannya itu mengerutkan keningnya, ia berusaha mengingat-ngingat tentang gadis yang berdiri dihadapannya saat ini. "Oh, Hilda yang dulu itu pernah numpahin air minum kebajuku, saat aku dan Papaku bertamu kerumah Pak Somad, ya?" Sofian mulai mengingat tentang Hilda. "I-iya, Mas! Kamu apa kabarnya, Mas?" Hilda mencoba berbasa basi dengan suaminya Laras. Sedangkan Laras hanya diam saja, ia melihat sahabat dan suaminya itu kelihatan akrab. "Seperti yang kamu lihat sekarang! Kabarku baik-baik saja!" Sofian menjawab ramah. Sangat berbeda dengan tadi, saat dirinya baru saja melihat Hilda. "Aku nggak nyangka loh! Kalau Mas akan menikah dengan sahabatku, Laras! Kalau begini, hubungan keluarga kita akan bertambah akrab lagi." Hilda masih saja berbicara dengan Sofian. Sedangkan Sofian hanya menatap dingin kearah Laras. "Ya sudah kalau begitu! Kalian lanjutkan saja mengobrolnya, aku mau kekamar dulu!" ujar Laki-laki itu, ia segera berjalan kearah kamarnya, meninggalkan Laras dan Hilda yang hanya menatap punggung Sofian dari kejauhan. Setelah itu, Hilda kembali duduk disamping Laras. "Kamu yang sabar ya? Semoga saja kamu bisa menjalani kehidupan rumah tanggamu dengan laki-laki seperti, Mas Sofian?" tutur Hilda sambil menepuk bahu sahabatnya. Ia berkata seperti itu karena tadi Hilda bisa melihat, bagaimana sikap Sofian terhadap sahabatnya itu? Pria itu bahkan sama sekali tidak mau menegur Laras, padahal keduanya adalah pasangan suami istri. "Amiin... Insya Allah!" jawab Laras seraya tersenyum kecil. Hilda pun berpamitan pada Laras. Wanita itu meninggalkan Laras sendirian yang menatap kepergiannya. Ada perasaan iba dihati Hilda, saat melihat sahabatnya itu harus menghadapi rumah tangga yang entah seperti apa. Tapi hilda sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa, karena dia tidak ingin dianggap terlalu mencampuri urusan rumah tangga Laras.Sofian yang saat ini jatuh terduduk ditanah. Hanya meraba bagian keningnya yang terasa sangat sakit.Tiba-tiba ia merasa kalau telapak tangannya basah, dan pandangannya buram.Laki-laki itu menggelengkan kepalanya berulang kali.Preman yang saat ini menatap kearahnya tertawa senang."Mampus lo! Makanya, jangan coba-coba ikut campur urusan kami, hahaha... "Ujar preman itu sambil tertawa."Siapa suruh lo jadi pahlawan kesiangan?" sambungnya lagi."Eh goblok, ini tengah malam bukan siang! Dasar tolol!" maki salah satu temannya yang berada dibelakang, kemudian temannya itu kembali mengaduh kesakitan."Nggak nyambung! Lo lebih goblok. Memangnya lo pernah dengar, ada yang namanya pahlawan kemalaman?" protes temannya satu lagi."Diam kalian semua! Berisik!" teriak kepala preman. Yang juga tergeletak diantara teman-temannya."Wooii... Lo hajar terus itu laki-laki sialan! Berani-beraninya dia membuat kita babak belur seperti ini! Kenapa lo masih diam aja? Takut lo...?" sambungnya lagi.Preman
Dan tiba-tiba saja...Laras melihat ada beberapa pria yang sedang mengendari motor secara ugal-ugalan.Wanita cantik itu bisa menyimpulkan, kalau laki-laki yang berjumlah lima orang tersebut, sedang berada didalam pengaruh minuman keras.Terlihat dari cara mereka mengendarai motornya dengan tidak seimbang.Tampang mereka pun terlihat seperti preman.Laras merasa sangat takut, sampai-sampai ia memeluk tas kecil miliknya dengan erat.Saat melihat Laras, para preman tersebut hanya menatap kearah wanita itu. Lalu kemudian, mereka melewati Laras begitu saja.Tentu saja hal tersebut membuat Laras menghembuskan nafas lega.Setidaknya, walaupun para preman-preman tadi sempat menatap kearahnya. Namun ternyata, mereka sama sekali tidak berniat mengganggu atau pun berbuat jahat pada wanita itu.Laras kembali berjalan, agar dirinya lekas sampai dirumah Hilda.Namun, baru saja ia berjalan beberapa langkah, raungan sepeda motor terdengar jelas dari arah belakangnya dan terasa memekakkan telinga.Sa
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya. Laras keluar dari restaurant tempat ia bekerja dan menuju ke tempat parkir.Ia berniat menunggu Hilda yang berjanji akan menjemputnya saat dirinya pulang kerja.Namun, setelah dua jam menunggu, tapi sahabatnya itu tidak kunjung datang.Wanita berdagu lancip itu berusaha menghubungi nomor sahabatnya tersebut. Namun ternyata, ponsel Hilda juga sedang tidak aktif."Hilda kemana ya, apa dia ketiduran?"Laras bertanya pada dirinya sendiri.Akhirnya, Laras memutuskan pulang menggunakan taksi.Tapi, karena malam yang mulai larut, Laras juga sangat sulit menemukan taksi yang lewat.Sehingga, dengan perasaan yang was-was, akhirnya ia berjalan pelan menyusuri jalan yang terasa semakin sunyi dan mencekam.Udara malam yang dingin terasa menusuk sampai ke tulang-tulangnya.Laras mengusap-usap kedua lengannya menggunakan telapak tangan untuk mengusir rasa dingin.Gadis itu mulai bingung, bagaimana ia akan sampai kerumah kalau hanya berjalan kaki seperti itu
"Keluar kalian berdua dari rumah ini sekarang juga!" ucap Sofian sambil menatap kearah lain.Mendengar hal itu, Yuda dan Celina sangat terkejut."Apa kalian tidak mendengar apa yang aku katakan? Cepat keluar dari rumah ini, dan jangan pernah lagi kalian berani memperlihatkan wajah kalian itu dihadapanku!" ujar Sofian dengan suara lantang."Tapi Sofian...?""Keluaaarrr...!!!"Suara Yuda tertahan kala Sofian membentaknya.Celina berusaha mendekati kekasihnya. Bahkan ia memegangi kedua kaki Sofian sambil meraung."Mas, maafkan aku! Tolong kamu jangan bersikap begini, aku sangat mencintaimu dan aku tidak ingin pergi darimu!" ujar Celina.Perkataan Celina justru membuat Sofian berdecih."Cinta?? Cuiih... Bulshit! Kau masih berani mengaungkan cinta dihadapanku, Celina? Sedangkan diluar sana kau menjajakan tubuhmu pada laki-laki lain! Apa yang kau harapkan? Apakah kau menginginkan uang? Baiklah kalau begitu!" ujar Sofian.Kemudian laki-laki itu berjalan masuk kekamarnya.Dan tidak lama kemud
"Celina!!"Yuda menatap perempuan itu dengan perasaan khawatir."Sedang apa kamu disini?" sambungnya lagi sambil menoleh kiri kanan dan juga menatap kearah pintu masuk.Yuda merasa takut karena bisa saja Sofian masih berada disana, dan melihat saat Celina memeluknya tadi."Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Mas Sofian itu kekasihku! Dan tidak lama lagi aku akan menjadi istrinya, jadi bebas dong kalau aku mau datang kerumah ini kapan pun!" jawab Celina datar."Celina, sebaiknya kamu batalkan keinginanmu untuk menikah dengan Sofian!" ujar Yuda Kemudian. Membuat Celina terbelalak."Apa maksudmu, Mas?" jawab Celina lagi. Sambil menatap Yuda dengan perasaan marah.Bisa-bisanya laki-laki itu memintanya membatalkan pernikahannya dengan Sofian. Laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan untuk menjadi suaminya."Karena aku tidak ingin Sofian menikah denganmu!" ucap Yuda.Namun hal itu membuat Celina tersenyum miris."Kenapa Mas, apa kamu cemburu? Karena dulu aku menolakmu saat kamu mengajak
Sudah beberapa hari Sofian tidak masuk kantor. Bahkan ia sama sekali tidak mengangkat ponsel saat Burhan menelfonnya.Pria itu benar-benar ingin menyendiri.Diatas meja ruang tengah rumahnya. Terdapat sebuah asbak yang sudah terisi penuh dengan puntung rokok.Entah sudah berapa banyak batang rokok yang telah ia habiskan, untuk meringankan beban fikirannya.Wajahnya yang terlihat lesu, dan rambutnya yang acak-acakan, menambah kesan bahwa laki-laki itu sudah tidak lagi mengurus dirinya.Saat ia sedang sibuk melamun, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi.Sofian berusaha mengabaikannya. Tapi lama kelamaan bel itu semakin mengganggu ditelinganya. Karena seseorang yang berada diluar rumah menekannya terus menerus.Dengan perasaan malas, Sofian bangun dari tempat duduknya dan berjalan untuk membuka pintu."Ceklek."Sesaat setelah pintu terbuka, Sofian menatap laki-laki yang berdiri didepan pintu rumahnya itu. Seraya tersenyum kearahnya."Hallo, Sofian! Apa kabar lo?" sapa laki-laki yang tern







