Hujan turun tanpa henti malam itu, seakan langit ikut menangis bersama seorang wanita yang berdiri di atas sebuah jembatan di pinggiran kota. Angin menusuk tulang, dingin merayap seperti rasa putus asa yang telah lama menghuni hatinya. Entah sudah berapa lama ia menyusuri jalan yang sunyi tanpa alas kaki, Wajahnya basah, entah karena hujan atau air mata yang tak lagi mampu ia bedakan. Di tangannya tergenggam erat sebuah foto kecil yang sudah mulai kusut—foto seorang anak perempuan yang tersenyum lebar sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.
Arsya Asyanti, itulah nama wanita yang saat ini sedang dalam keputus asaan. Malam ini, ia berniat menjadikannya sebagai nama terakhir yang tertulis dalam berita esok hari. Setelah berhenti cukup lama di atas jembatan, Kakinyapun perlahan melewati pagar pembatas. Di bawah sana, sungai mengalir deras, gelap, dan sepi. Seperti hidupnya saat ini. Tidak ada lagi yang bisa ia genggam. Tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan. Reysa telah tiada. Dunia telah menghancurkannya, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah kehampaan. "Maafkan Mama, Reysa... Maafkan Mama....Mama terlalu lelah..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin malam. Tubuhnya mulai condong ke depan, bersiap melepas semua beban hidupnya, bersama dengan gengaman tangannya. Tapi takdir kadang datang dalam bentuk yang tak disangka. Suara hentakan sepatu memecah keheningan, menjejak genangan air tanpa peduli basah. Dalam hitungan detik, tangan pria itu berhasil mencengkeram tubuh Arsya sebelum ia terjun ke dalam gelapnya arus. Arsya meronta lemah, tubuhnya gemetar dan basah kuyup. Tapi pria itu lebih cepat. Ia menariknya ke sisi aman jembatan, memeluknya erat seolah mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekitarnya. “Jangan lakukan itu...,” ucap pria itu dengan suara serak, separuh panik, separuh ketakutan. Ia masih memeluk Arsya dengan erat, memastikan wanita itu tak kabur dari pelukannya. Arsya tidak menjawab, tapi masih terus berusaha memberontak dengan lemah. Perlahan kepalanya terkulai di dada pria itu, dan sebelum ia bisa mengatakan apapun, tubuhnya lunglai. Matanya menutup perlahan. Suara dunia memudar. Kegelapan perlahan mengambil alih kesadarannya. Semua menjadi senyap. Tapi di balik keheningan itu, alam bawah sadarnya membawa Arsya kembali, jauh ke masa lalu. Ke masa di mana segalanya belum hancur. Sinar matahari sore menyusup melalui jendela kamar mungil itu. Arsya, yang saat itu baru berusia dua puluh tiga tahun, tertawa lepas sambil merapikan pakaian bayi mungil di rak. Perutnya sudah membuncit, usia kehamilan memasuki bulan ketujuh, membuat ia sedikit kesulitan dalam bergerak. Di sudut ruangan, Bima suaminya sedang memasang lukisan kayu bertuliskan nama, Reysa Pradipta. “Kalau nanti anak kita bandel kayak kamu gimana?” tanya Arsya sambil memanyunkan bibirnya, mengusap perutnya dengan lembut. Ia kembali pada sisi ranjang, setelah merapikan pakaian bayi. Bima mendekat dan mencium keningnya. “Kalau dia bandel kayak aku, berarti dia cerdas. Tapi kalau dia manis dan penyayang kayak kamu, berarti dia anugerah.” Bima menarik senyum bibirnya, manatap istrinya. Arsya tertawa kecil, lalu mengangguk mendengar jawaban suaminya. Saat itu, mereka tinggal di rumah sewa kecil di pinggiran kota, tapi kebahagiaan begitu sederhana dan nyata. Mereka tidak punya banyak harta, tapi punya banyak cinta. Mereka saling mengisi, menjalani hari dengan sederhana. Arsya memasak makanan sederhana setiap pagi, membangunkan Bima dengan senyum, dan menunggu suaminya pulang dengan senyuman dari balik pintu. Bima, meski tidak sempurna, selalu berusaha menjadi suami yang setia dan ayah yang penuh harapan. Saat Reysa lahir, dunia Arsya menjadi sempurna. Ia belajar menjadi ibu dari nol, bangun di tengah malam untuk menyusui, mengganti popok dengan tangan gemetar, dan menangis saat Reysa demam dan rewel. Tapi semua rasa lelah itu terbayar lunas saat anak kecil itu memanggilnya "Mama" untuk pertama kali. Bima juga tampak begitu menyayangi Reysa. Ia suka menggendongnya di pundak, menyanyi di kamar tidur saat malam, dan membacakan buku dongeng sebelum tidur. Mereka juga akan rajin melakukan kegiatan kecil bersama seperti, pergi piknik setiap akhir pekan, makan mie ayam favorit di sudut gang, dan berswafoto dengan wajah konyol. Itu semua dulu. Sebelum Bima mulai berubah. Sebelum cinta mulai pudar. Sebelum Resa datang dan mengambil segala miliknya, merebut kebahagiannya. Dalam lamunannya, Arsya melihat bayangan masa itu seperti potongan film lama, samar, retak, dan menyakitkan. Ia melihat wajah Bima yang dulu penuh cinta, perlahan berubah menjadi dingin dan asing, seperti bukan Bima yang sebelumnya. Ia melihat dirinya sendiri tersenyum meski dihancurkan, berdiri meski dipukul berkali-kali oleh kenyataan. Hingga akhirnya, ia melihat momen paling kelam dan menyakitkan, jasad Reysa di kamar mayat rumah sakit. Mata anaknya terpejam, wajahnya pucat, tubuh mungilnya dibungkus kain putih. Arsya menjerit histeris dalam mimpinya. Air mata membanjiri wajahnya yang tertidur, bahkan dalam ketidaksadaran. Ketika kesadarannya perlahan kembali, Arsya mencium aroma antiseptik dan mendengar bunyi alat monitor berdetak pelan. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya terbaring di sebuah ranjang rumah sakit dalam ruangan hangat. Di sudut ruangan, seorang pria duduk dengan pakaian setengah basah, matanya terus menatap ke arahnya. “Syukurlah kamu sadar,” ucap pria itu, suaranya lembut tapi tegas. Ia perlahan berjalan ke tepi ranjang, mendekat pada Arsya. Arsya memandangnya dengan mata bingung, tak mengenalnya pria itu. Melihat kebingungan Arsya membuatnya memperkenalkan diri “Saya Yasa, saya yang… menarikmu dari jembatan tadi.” jelasnya. Arsya memalingkan wajah, malu dan marah pada dirinya sendiri. Tapi yang paling kuat adalah rasa hampa itu… yang selalu kembali, bahkan saat ia mencoba lari. Yasa tidak berkata-kata lagi. Ia kembali duduk pada sofa yang berada di sudut ruangan, memberi ruang untuk Arsya, Tidak mencoba menghakimi. Tidak mencoba memaksa. Ia hanya diam, tapi dengan kehadiran yang tidak menyakitkan. Dalam hati kecilnya, Arsya bertanya-tanya, Mengapa pria ini menghentikannya? Mengapa seseorang peduli padanya? Ia tidak tahu jawabannya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah insiden yang membuatnya putus asa, Arsya tidak merasa benar-benar sendirian. Dan mungkin, itu adalah permulaan dari sesuatu. Sesuatu yang belum ia pahami. Sesuatu yang akan banyak mengubah hidupnya untuk selamanya.Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A
Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si
Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m
Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang
Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem