Beranda / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 3 Rutinitas Baru

Share

Bab 3 Rutinitas Baru

Penulis: Almira Ryanza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 15:09:03

Terminal itu masih ramai meski matahari sudah naik tinggi. Suara klakson terus bersahut-sahutan, bercampur dengan teriakan para calo bus dan pedagang asongan yang menawarkan dagangan dengan suara lantang.

Almira berdiri terpaku di tepi jalan, sambil merapatkan tasnya ke dada. Tubuhnya kecil tampak tenggelam di tengah arus manusia yang bergerak tergesa-gesa.

Udara kota begitu berbeda dengan desa: panas, pengap, dan penuh asap kendaraan. Hidung Almira perih, matanya berair. Sesaat ia merasa menyesal, bertanya dalam hati apakah ia mampu bertahan di tempat sebesar ini. Tapi ia teringat wajah ibunya, dan tekadnya kembali menguat.

“Almira?” Suara seorang perempuan terdengar dari samping.

Almira menoleh cepat. Di sana berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun, berkacamata dengan kemeja sederhana. Senyumnya ramah. “Aku Lestari, sepupunya Bu Rini. Kamu Almira, kan?”

Almira mengangguk cepat, lega rasanya mendengar nama Bu Rini disebut. “Iya, Mbak. Saya Almira.”

“Syukurlah. Aku sempat takut kamu kesasar di terminal sebesar ini. Ayo, ikut aku. Kita ke kosan dulu.”

Almira mengikuti langkah Lestari yang lincah menyusuri kerumunan. Ia berusaha menjaga jarak agar tidak tertinggal, matanya tak henti mengamati sekeliling: gedung menjulang, orang-orang berbusana rapi dengan wajah serius, dan deretan kendaraan yang melintas tanpa henti.

Perjalanan singkat dengan angkot membawa mereka ke sebuah gang sempit. Di sana berdiri deretan rumah kos sederhana—bangunan dua lantai dengan cat yang mulai pudar, pintunya berjejer rapi. “Sementara kamu bisa tinggal disini.. Tempatnya memang kecil tapi lumayan, uang sewanya juga murah.” ujar Lestari sambil menunjuk kamar paling ujung.

Almira masuk ke dalam. Ruangan itu hanya berisi ranjang besi dengan kasur tipis, meja kayu kecil, dan jendela menghadap tembok. Sederhana, bahkan nyaris pengap. Tapi bagi Almira, ini jauh lebih baik daripada tikar dingin di rumah reyotnya.

Ia duduk di ranjang, menatap sekeliling dengan mata berkaca-kaca. Ini tempatku sekarang… rumahku.

Lestari tersenyum melihat ekspresi Almira. “Istirahat dulu. Besok pagi aku ajak kamu ke kantor. Hari ini biar kamu menyesuaikan diri.”

“Terima kasih, Mbak,” suara Almira pelan, tapi tulus.

Malam pun datang dengan cepat. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan, suara kendaraan tak berhenti. Dari jendela kamarnya, Almira bisa melihat bayangan lampu di dinding.

Ia membuka tas lusuhnya, mengeluarkan foto ibunya. Ia letakkan di atas meja kayu. Lalu ia berbaring di kasur. Tubuhnya letih, tapi pikirannya penuh keemasan. Bagaimana jika ia tidak bisa bekerja dengan baik? Apakah orang-orang akan menerimanya?Bagaimana jika dia melakukan kesalahan? apakah bosnya akan marah?dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

"Tidak, Mir… kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Berusaha menguatkan walau air mata mengalir tanpa ia sadari.

Keesokan paginya, Lestari menjemput Almira. Mereka berjalan kaki menuju kantor—sebuah bangunan sederhana tiga lantai dengan papan nama perusahaan distributor sembako. Dari luar tampak biasa saja, tapi bagi Almira, itu terasa megah.

Di dalam, suara mesin ketik dan derap langkah karyawan terdengar ramai. Beberapa orang sibuk dengan berkas, sebagian duduk menatap layar komputer. Almira berdiri kikuk di samping Lestari, tangannya dingin karena gugup.

“Ini anak baru yang kuceritakan,” ucap Lestari pada seorang pria berkacamata yang duduk di meja depan. “Namanya Almira, lulusan SMP. Dia bisa baca tulis dengan baik, rajin juga.”

Pria itu menatap Almira sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Biar dia mulai dari pekerjaan sederhana dulu.”

Almira menunduk hormat. “I-iya, Pak…”

Hari itu, tugas pertamanya hanyalah merapikan berkas-berkas faktur dan membantu memasukkan data ke komputer. Sederhana, tapi bagi Almira terasa sangat sulit. Ia belum pernah menyentuh komputer sebelumnya. Tangannya gemetar saat mengetik, sering salah menekan tombol.

“Mir, jangan panik,” bisik Lestari yang duduk di sampingnya. “Pelan-pelan saja. Semua orang juga belajar dari awal.”

Almira mengangguk, meski wajahnya memerah. Ia takut dianggap bodoh, takut dimarahi. Namun ia terus mencoba, menekan huruf demi huruf dengan teliti.

Menjelang siang, ia berhasil menyelesaikan satu lembar laporan. Meski penuh coretan koreksi, ia menatapnya dengan rasa bangga kecil. Aku bisa… aku benar-benar bisa belajar.

Hari berganti hari, Almira perlahan mulai terbiasa. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan diri, berjalan ke kantor dengan semangat meski pakaian kerjanya hanya seadanya. Kadang ia masih kikuk dengan komputer, tapi ia selalu berusaha memperbaiki diri.

Namun di balik semua itu, ada rasa sepi yang semakin dalam. Setiap malam ia menatap foto ibunya, menceritakan hari-harinya dalam bisikan lirih. Tentang rekan kerja yang baik, tentang kesulitannya memahami angka, juga tentang kerinduannya pada pelukan seorang ibu.

Ia tidak tahu bahwa langkah kecilnya di kantor sederhana itu akan membawanya pada pertemuan besar—sosok yang kelak mengubah seluruh hidupnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Takdir Almira   Bab 29 Tamparan

    Malam itu, di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di tikungan tak jauh dari kosan Almira.Lampu jalan yang temaram hanya sedikit menerangi bodi mobil itu. Di dalamnya, seorang pria duduk diam, memperhatikan setiap gerak-gerik di halaman kecil itu. Matanya tajam, tak berkedip, menatap Alvaro dan Almira dari balik kaca. Dialah Arman, orang suruhan Rania yang ditugaskan untuk mengikuti Alvaro tanpa sepengetahuannya. Sudah berhari-hari ia membuntuti pria itu, mencatat ke mana ia pergi, dengan siapa ia bertemu, bahkan kapan ia pulang. Dan malam ini, ia kembali menjalankan perintah itu. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. “Sudah saya pastikan, Nona,” katanya pelan ketika panggilan tersambung. “Pak Alvaro menemui seorang wanita… di kosan sederhana, di kawasan Rawasari.” Di ujung sana, suara perempuan terdengar datar namun tajam. “ Siapa Wanita itu?” “Namanya Almira, salah satu staf admin dari salah satu perusaha

  • Jejak Takdir Almira   Bab 28 Rencana

    Malam itu, setelah semua staf pulang, kantor terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan langkah Alvaro yang terdengar bergema di lorong. Ia berdiri sejenak di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—penyesalan, rindu, dan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan lagi. Akhirnya, ia mengambil jasnya dan melangkah cepat menuju lift. Malam itu, ia hanya ingin menemui satu orang: Almira. Ketika ia tiba di depan kosan sederhana Almira. Ia memarkir mobilnya sedikit agak jauh, tak ingin menarik perhatian. Ia berdiri sejenak di depan pagar kecil itu, menenangkan napas. Lalu mengetuk perlahan. Tak lama, pintu terbuka. Almira muncul dengan pakaian sederhana, wajah lelah sehabis pulang kerja. Matanya terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. “Pak Alvaro?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Alvaro hanya menatapnya. Sekian hari ia menahan rindu, tapi kini tatapan gadis itu dingin — tidak seperti dulu. Ada jarak yang

  • Jejak Takdir Almira   Bab 27 Keputusan

    Siang itu, suasana ruang kerja Alvaro terasa sangat menegangkan. Walau pendingin ruangan sudah dihidupkan, namun dia masih merasa gerah. Ada gemuruh yang berkecamuk di dadanya. Ia baru saja menyelesaikan rapat dengan tim manajemen rumah sakit ketika pintu ruangannya diketuk pelan. “Masuk,” ucapnya datar. Clara, asisten pribadinya masuk. Wajahnya terlihat ragu. Ia memegang tablet dengan kedua tangan, matanya menatap layar seolah tak yakin ingin membicarakannya. “Pak… ada hal yang sepertinya harus Bapak lihat.” Alvaro mengangkat kepala perlahan. “Apa?” Clara menelan ludah sebelum menjawab. “Beberapa portal berita… menulis tentang rencana pertunangan Bapak dengan Nona Rania Adiningrat.” Waktu seperti berhenti. Pena di tangan Alvaro jatuh ke meja. “Pertunangan?” suaranya meninggi tanpa sengaja. Clara langsung menunduk. “Iya, Pak. Sudah tersebar sejak pagi. Ada beberapa foto dari acara jamuan semalam. Semua portal besar sudah memuatnya. Bahkan media sosial perusahaan Adi

  • Jejak Takdir Almira   Bab 26 Gosip

    Pagi itu suasana kantor terlihat lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan terdengar pelan dari beberapa staf yang ia temui sejak ia melewati pintu utama. Almira baru saja duduk di mejanya, ketika dua rekan kerja dari divisi lain datang menghampiri. “Mir, kamu udah denger belum?” tanya salah satunya dengan nada penuh gosip. Almira menatap sekilas sambil menyalakan komputernya. “Denger apa?”. "Berita tentang keluarga Pradipta Grup.” Tangannya yang hendak membuka laptop terhenti. “Kenapa dengan mereka?” “Katanya… semalam ada jamuan makan malam di rumah mereka. Dan sumber yang datang bilang, itu jamuan buat membicarakan pertunangan anaknya — Alvaro Pradipta — sama Rania Adiningrat.” Kalimat itu seperti palu yang jatuh di tengah dadanya. “Pertunangan?” ia mengulang pelan, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. “Iya. Katanya dua keluarga itu udah lama menjalin kerja sama di proyek besar. Jadi, ya… kayaknya mau disatukan lewat pernikahan juga.” Temannya menatap Alm

  • Jejak Takdir Almira   Bab 25 Amarah

    Malam itu, Alvaro mendapat pesan singkat dari ayahnya. "Datanglah ke rumah. Ada jamuan makan malam penting. Tepat pukul delapan." Tak ada penjelasan lebih lanjut, tapi nada pesannya tak memberi ruang untuk bertanya. Alvaro sempat berpikir untuk menolak, namun sesuatu di dalam dirinya tahu — percuma. Ketika ayahnya sudah berbicara, penolakan hanyalah bentuk lain dari perlawanan yang akan berujung panjang. Ia tiba di rumah besar itu sedikit lewat pukul delapan. Lampu-lampu taman menyala lembut, bayangan pepohonan memantul di jendela kaca besar ruang tamu. Aroma masakan mewah tercium samar dari dapur. “Selamat malam, Nak Alvaro,” sapa salah satu pelayan dengan sopan. “Tuan dan Nyonya sudah menunggu di ruang makan.” Alvaro mengangguk singkat. Langkahnya pelan, tapi hatinya seperti diisi kabut. Sejak pertemuan dengan Rania malam sebelumnya, pikirannya tak pernah tenang. Namun begitu memasuki ruang makan, langkahnya spontan terhenti. Di meja makan panjang itu — ayahnya, ibu

  • Jejak Takdir Almira   Bab 24 Goyah

    Sejak pertemuan di kantor itu, pikiran Alvaro tak tenang. Keputusannya untuk menjauh akan menyembuhkan segalanya — menenangkan hati, menenangkan keadaan, melindungi Almira dari bayang-bayang kekuasaan ayahnya yang dingin dan kejam. Namun nyatanya, justru membuat batinnya semakin berantakan. Ia masih bisa mengingat dengan jelas tatapan Almira tadi siang nampak dingin. Seolah-olah mereka hanya sekadar rekan kerja. Padahal dulu, setiap kali ia menatap mata itu, dunia seolah berhenti berputar. Alvaro menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit-langit apartemen dengan fikirannya yang tak bisa diam. Ia menghela napas berat, menutup mata. Tapi yang muncul justru wajah Almira, senyumnya, suaranya, cara ia menunduk dengan lembut tapi tegas. Ia bahkan masih bisa merasakan bagaimana udara di ruang itu berubah ketika mereka berdiri dengan jarak hanya beberapa langkah. “Kamu sepertinya sengaja menghindariku, Mir…” gumamnya lirih. Tapi ia tahu jawabannya — karena itu keinginannya send

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status