Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu. Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Asmoro hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak terlalu lebat.
Kabutpun hadir membungkus puncak Gunung Asmoro. Tebal sekali, seperti selimut domba. Puncak Gunung Asmoro bagai lenyap ditelan langit. Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu.
"Oaaa...! Oaaa.. ! Oaaa. !"
Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi. Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini. Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi. Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau tumbang entah ke mana. Rumah-rumah penduduk di kaki gunung ikut bergetar, gentengnya melorot dan pada pecah. Hewan-hewan ternak saling menjerit ketakutan, ada yang sampai lepas dari kandangnya dan mengamuk di sana-sini.
Terdengar suara tangis bayi, membuat Barata tersentak. Pandangannya langsung tertuju ke arah bagian bawah Ratri Kumala. Tampak tergolek seorang bayi yang masih terbalut darah dan tersambung ari-ari.
Hoaaghh!
Bersamaan dengan itu terdengar suara desisan naga kecil yang kini tampak terbang menukik kearah bawah, menuju kearah bayi yang masih tergolek di ranjang kayu.
“Hei!” Barata berteriak kaget melihat hal itu, tapi terlambat, gerakan sang naga kecil terlalu cepat menyambar kearah sang bayi.
Cleb!
Mata Barata dan nenek dukun beranak terlihat membesar saat melihat bagaimana sosok naga kecil itu tiba-tiba saja menghilang saat menyentuh tubuh sang bayi, sosok si bayi mungil kecil itu tiba-tiba saja mengeluarkan semburat cahaya keemasan disekujur tubuhnya, cahaya keemasan itu secara perlahan lenyap seperti terserap kedalam kulit sibayi dan kini sosok sang bayi, sekujur kulit ditubuhnya sudah berubah menjadi keemasan. Ratri Kumala sendiri yang melihat hal itu sampai tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tangisan sang bayi tiba-tiba saja terhenti.
“A-apa yang terjadi kakang ?” tanyanya tanpa menoleh kearah Barata. Barata sendiri tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Sementara, warna keemasan disekujur tubuh sang bayi perlahan mulai menyurut, dari kepala kebawah, dari kaki keatas.
Plasshh!
Begitu warna keemasan bertemu ditengah-tengah, tepatnya didada sang bayi, cahaya emas itu kembali menyemburat terang, tapi cuma sesaat, kemudian cahaya keemasan itu membentuk wujud bayangan seekor naga kecil yang terlihat berputar-putar diarea dada sang bayi, lalu merayap diantara kulit bayi kecil itu menuju kearah lengan kiri sang bayi. Tepat dilengan kirinya, cahaya keemasan yang berbentuk naga itu berhenti, lalu bayangan naga emas itu terlihat melingkar dilengan sang bayi. Sesaat setelah cahaya keemasan itu menghilang, kini dilengan sang bayi terlihat rajah seekor naga berwarna keemasan melingkar.
Tiba-tiba saja mata sang bayi terlihat terbuka. Ini suatu keanehan, karena biasanya bayi baru lahir tak bisa membuka mata. dan untuk sesaat terlihat kedua bola mata sang bayi berwarna keemasan, tapi saat kedua mata itu berkedip, kedua bola mata itu kembali berubah menjadi agak kebiru-biruan, kulitnya putih walaupun masih berlumur darah, namun bau badannya wangi sekali seperti harumnya bunga melati!
Bayi itu adalah bayi lelaki. Tali pusarnya digunting oleh dua jari Barata. Barata tampak gembira sekali ketika berhasil menolong kelahiran anaknya sendiri. Tapi beberapa saat kemudian ia menjadi lemas, terpuruk sambil memeluk bayi itu. Si nenek dukung beranak terpaksa mengambil alih sang jabang bayi dan menyerahkannya kepada Ratri Kumala.
Ratri Kumala agak terkejut, setelah mengetahui dilengan sang bayi mempunyai rajah bergambar Naga emas melingkar.
"Kakang, apakah rajah di lengan kiri anak kita ini yang membuatmu lemas?"
Barata menjawab dengan gelengan kepala, setelah bangkit merayap dan duduk di tepi pembaringan baru berkata, "Kekuatanku telah hilang!" Barata terengah-engah. Sang bayi masih menjerit dalam tangisnya. Baru berhenti setelah disusui oleh Ratri Kumala. Bayi itu tampak riang, ceria, mulutnya lahap sekali menikmati air susu sang ibu.
"Kekuatanku sudah menitis ke dalam ragamu, Nak! Jaga dan pelihara baik-baik. Kau harus menjadi pemandu kebenaran dan keadilan. Harus punya keberanian! Keberanian menentang si angkara murka, keberanian melawan tindakan sesat, juga keberanian mengakui kesalahan diri sendiri."
“Akan kita berikan nama apa anak kita kakang ?”
Barata terdiam sejenak, teringat akan pesan Sang Hyang Guru Dewa kepadanya tentang nama anaknya. Sejenak pandangan Barata terbentur pada rajah naga emas yang ada dilengan kiri sang bayi.
“Jejaka...” ucap Barata pelan tanpa sadar. Tapi Ratri Kumala sudah cukup mendengar hal itu.
“Jejaka, kakang!” ulang Ratri Kumala hingga menyadarkan Barata dari lamunannya.
“Yah, Jejaka, seperti pesan Sang Hyang Guru Dewa kepada kita dulu” kata Barata lagi tersenyum. Ratri Kumala ikut tersenyum mendengar hal itu.
“Jejaka” ulang Ratri Kumala lagi.
Tiba-tiba sang jabang bayi melepas nenennya. Matanya memandangi sang ibu, ada senyum tipis di bibir mungil sang bayi yang sewajarnya tak bisa tersenyum. Sang ibu mulai tegang dan terheran-heran.
Tangan sang bayi bergerak-gerak menepuk-nepuk air minumnya yang ada di dada sang ibu. Ia bagaikan bermain 'tempat minuman' tersebut. Ia tampak girang, sehingga sang ibu yang memandangi dadanya ditepuk-tepuk sang anak menjadi sedikit cemas. Ia berkata kepada suaminya. "Gawat anakmu ini! Masih kecil sudah senang bermain 'tempat minumnya', bagaimana kalau sudah besar nanti?"
"Mudah-mudahan gerakan itu hanya suatu kebetulan saja. Jangan terbawa menjadi kebiasaan sampai dewasa. Kasihan para gadis yang kasmaran padanya," ujar Barata sambil tersenyum-senyum.
"Jangan-jangan kebiasaanmu menurun pada anak ini?"
"Kebiasaan yang mana?"
"Kebiasaan romantismu!" jawab Ratri Kumala agak ketus. Barata menjadi tertawa pelan. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya, "Apakah anak ini kelak juga akan ikut-ikutan suka merayu wanita? Wah, kacau juga kalau dia begitu."
Hujan pun berhenti, badai reda, petir sembunyikan diri, kabut sirna dan alam menjadi terang. Seakan mereka takut dengan kemunculan sang jabang bayi yang kelak akan melanglang buana, menembus belantara persilatan dan cinta.
-o0o-
MALAM itu di Puncak Gunung Asmoro. Rembulan tampak bersinar terang dipuncaknya, begitu tinggi menjulangnya puncak gunung asmoro sehingga terlihat seakan-akan bulan terlihat begitu dekat. Bintang-bintang tampak bertaburan menemani sang bulan. Sesekali terlihat bintang jatuh dilangit. Di ujung tebing puncak gunung asmoro, terlihat dua sosok tengah berdiri menatap langit. Mereka adalah Ratri Kumala dan Barata, sementara itu digendongan Ratri Kumala, terlihat bayi mungil Jejaka tengah tertidur dengan pulas. Di hadapan keduanya menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Hari ini tepat Jejaka berumur 40 hari. Ratri Kumala terlihat tak henti-hentinya menangis menatap bayi mungil yang ada digendongannya. “Tabahkan hatimu Ratri Kumala, ini sudah menjadi kehendak Sang Hyang Guru Dewa” ucap Barata berusaha menegarkan hati istrinya, Ratri Kumala. Tapi hal itu tak cukup untuk menghentikan derasnya air mata yang mengalir di wajah Ratri Kumala. "Jejaka anakku… ingat-ingatl
Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, dalam kosmologi Hindu Semeru diartikan sebagai pusat jagat raya orang-orang menjulukinya sebagai gunung tempat bersemayamnya para Dewa. Puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Mahameru. Penamaan puncak Mahameru ini menurut legenda ada kaitannya dengan sebutan Paku Pulau Jawa. Istilah Mahameru berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Meru Agung. Kata Meru berarti”pusat jagat raya", sedangkan Agung berarti”besar". Di dalam kitab kuno Tantu Pagelaran disebutkan, bahwa suatu saat Pulau Jawa mengapung terombang-ambing di lautan. Kemudian, Batara Guru yang dianggap sebagai sosok penguasa tunggal memerintahkan para dewa dan raksasa agar memindahkan Gunung Mahameru di India, untuk menjadikannya sebagai paku Pulau Jawa agar tidak terombang-ambing. Para dewa dan raksasa kemudian meletakkan Gunung Mahameru di bagian barat Pulau Jawa. Namun, disebabkan timur Pulau Jawa posisinya terjungkit ke atas, hingga akhirnya gunung tersebut dipindah ke bagian
Naga Emas itu tampak terbang berputar-putar dipuncak Gunung Semeru. Sementara dibawah, Raja Meru tampak semakin bersikap waspada. Untunglah Begawan Tapa Pamungkas terus menenangkannya dengan mengusap-usap kepalanya. Setelah cukup lama berputar-putar di atas puncak semeru, Naga Emas itu kemudian tampak terbang turun melayang kembali kebawah, lalu berputar-putar diatas tubuh si bayi. Anehnya justru si bayi tampak tertawa tergelak-gelak melihat wujud Naga Emas raksasa yang ada diatasnya, tidak ada sedikit kesan takut apalagi menangis. Bahkan saat sang Naga Emas mendekatkan kepalanya kearah si bayi, tiba-tiba saja si bayi justru menarik kumis panjang si Naga Emas hingga langsung membuat si Naga Emas menjerit dengan keras, entah kaget entah sakit karena kumisnya ditarik oleh si bayi. Hroaagghhh ... ! Jeritan keras si Naga Emas sampai membuat Gunung Semeru bergetar seperti dilanda gempa skala kecil. Tapi hal ini justru membuat si bayi tergelak-gelak tertawa. Begitu gembira sekali seperti
Tiba-tiba saja rajah Naga Emas melingkar yang ada lengan kiri pemuda itu keluar dan membentuk seekor ular Naga Emas raksasa yang kini sudah berada dihadapan Jejaka dan berhadapan langsung dengan ular naga putih tersebut. Hroaagghhh ... ! Naga Emas mengeluarkan suara kerasnya. Tapi tentu saja hal ini hanya terjadi dibatin sang pemuda. Akhirnya perlahan ular naga raksasa putih jadi-jadian itu pun hilang dari pandangan. Ular Naga Emas milik Jejaka terlihat tersenyum sinis, lalu kembali merasuk masuk menjadi rajahan naga melingkar dilengan kiri pemuda itu. “Terima kasih kak” ucap pemuda itu melalui batinnya. Seiring dengan berjalannya waktu, Jejaka memang sudah mengetahui kalau dirinya memiliki kakak yang bersemanyam didalam tubuhnya melalui rajah Naga Emas melingkar dilengan kirinya. Sesekali Naga Emas memang menampakkan dirinya untuk membantu ataupun sekedar menemani Jejaka dalam kesendiriannya. Dari Naga Emas pula, Jejaka banyak mengetahui tentang kedua orangtua mereka yang belum per
Dari gerakan kedua telapak tangannya yang membentuk cakar naga, tercipta serangkum angin kencang yang berkesiur menggoyanggoyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh tombak. Belum lagi kalau menilik hawa panas dan dingin yang diakibatkan dari sambaran-sambaran kedua telapak tangannya. Yang sebelah kanan mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebelah kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Es'. Akibatnya pohon-pohon dalam jarak sepuluh tombak yang tadi hanya bergoyang-goyang, kini sebagian ada yang layu dan sebagian membeku. Hebat sekali jurus sakti 'Naga Pamungkas' itu. Begawan Tapa Pamungkas dan Harimau putih, si Raja Meru yang menonton di pinggir tempat latihan, jadi terlongong saking kagumnya. "Hyaaa...!" Tiba-tiba Begawan Tapa Pamungkas yang dari tadi hanya menonton Jejaka telah berkelebat menyongsong tubuh Jejaka yang berkelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki tua itu telah berubah menjadi merah penuh 'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya berubah menjadi keputiha
"Nih lihat seranganku. ” Jejaka cepat melenting ke belakang, mengambil jarak. Begitu mendarat, dipasangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya yang membentuk cakar naga disilangkan di depan dada, siap mengeluarkan jurus maut 'Naga Pamungkas'. Telapak tangan yang sebelah kanan telah berubah menjadi kemerah-merahan penuh 'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah berubah putih terang penuh 'Tenaga Inti Es'. "Hyaaat. !" Disertai teriakan keras membahana Jejaka mencelat ke udara, menyongsong serangan Begawan Tapa Pamungkas dan Harimau Putih dengan kedua kakinya. "Bagus, Cucuku! Rupanya kau mengalami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga dulu. Sebab belum tentu kami dapat dikalahkan!" Begawan Tapa Pamungkas cepat memapak serangan Jejaka dengan jurus sakti 'Naga Pamungkas'. Sedang Harimau Putih kembali menerkam dengan ganasnya. Dugh! Dugh! Terdengar dua kali benturan tenaga dalam di udara. Akibatnya Jejaka terlempar beberapa tombak. Cepat dia mematahkan lontaran tubuhnya dengan ber
"Senjata apa itu, Eyang? Kok, bentuknya aneh sekali?" tanya Jejaka saking herannya. "Sekarang bukan waktunya bercakap-cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana senjata ini membuat tubuhmu babak belur! Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan Tapa Pamungkas, menakut-nakuti. ”Jurus satu!" Begawan Tapa Pamungkas dan Siluman Ular Naga serentak menyerang Jejaka. Dan begitu senjata aneh di tangan lelaki tua ini bergerak menyerang, terlebih dahulu Jejaka merasakan angin dingin berkesiur menyerang tubuhnya. Bahkan dari dua buah gerigi di samping kanan-kiri kepala ular senjata aneh itu bertiup angin kencang yang menyerang Jejaka. Dari sudut lain, Raja Merupun menyerang tak kalah hebat. Bukan main hebatnya serangan mereka, membuat Jejaka benar-benar kewalahan. Serangan Raja Meru memang tidak begitu membahayakan keselamatannya. Karena, Jejaka sudah terbiasa berlatih tanding dengannya. Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah serangan Begawan Tapa Pamungkas deng
"Ah...!" pekik Jejaka kebingungan. Sementara itu serangan Raja Meru sudah demikian dekatnya. Tak mungkin Jejaka menangkis serangan. Dan akibatnya... Dugh!”Augh...!" Tanpa ampun lagi, terkaman Raja Meru mendarat telak di dada Jejaka. Tubuhnya terlontar beberapa, tombak disertai pekik tertahan. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi Jejaka. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan main. Belum lagi akibat terkaman Raja Meru tadi yang menyebabkan isi dadanya seperti mau pecah! Bahkan dari mulutnya telah menyembur darah segar pertanda terluka dalam. Tidak ada pilihan lain, Jejaka harus cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni 'Titisan Siluman Ular Naga' yang baru saja dikuasai. Setelah berpikir demikian kekuatan batinnya segera dikerahkan untuk melawan suara aneh dari senjata eyangnya, sekaligus untuk mengeluarkan ilmu pamungkasnya. Perlahan-lahan suara-suara aneh dari senjata di tangan Begawan Tapa Pamungkas terdengar lirih di telinga Jejaka. Dan bersamaan dengan itu pula, sekujur