Share

Bab 2

Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu. Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Asmoro hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak terlalu lebat.

Kabutpun hadir membungkus puncak Gunung Asmoro. Tebal sekali, seperti selimut domba. Puncak Gunung Asmoro bagai lenyap ditelan langit. Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu.

"Oaaa...! Oaaa.. ! Oaaa. !"

Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi. Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini. Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi. Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau tumbang entah ke mana. Rumah-rumah penduduk di kaki gunung ikut bergetar, gentengnya melorot dan pada pecah. Hewan-hewan ternak saling menjerit ketakutan, ada yang sampai lepas dari kandangnya dan mengamuk di sana-sini.

Terdengar suara tangis bayi, membuat Barata tersentak. Pandangannya langsung tertuju ke arah bagian bawah Ratri Kumala. Tampak tergolek seorang bayi yang masih terbalut darah dan tersambung ari-ari.

Hoaaghh!

Bersamaan dengan itu terdengar suara desisan naga kecil yang kini tampak terbang menukik kearah bawah, menuju kearah bayi yang masih tergolek di ranjang kayu.

“Hei!” Barata berteriak kaget melihat hal itu, tapi terlambat, gerakan sang naga kecil terlalu cepat menyambar kearah sang bayi.

Cleb!

Mata Barata dan nenek dukun beranak terlihat membesar saat melihat bagaimana sosok naga kecil itu tiba-tiba saja menghilang saat menyentuh tubuh sang bayi, sosok si bayi mungil kecil itu tiba-tiba saja mengeluarkan semburat cahaya keemasan disekujur tubuhnya, cahaya keemasan itu secara perlahan lenyap seperti terserap kedalam kulit sibayi dan kini sosok sang bayi, sekujur kulit ditubuhnya sudah berubah menjadi keemasan. Ratri Kumala sendiri yang melihat hal itu sampai tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tangisan sang bayi tiba-tiba saja terhenti.

“A-apa yang terjadi kakang ?” tanyanya tanpa menoleh kearah Barata. Barata sendiri tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Sementara, warna keemasan disekujur tubuh sang bayi perlahan mulai menyurut, dari kepala kebawah, dari kaki keatas.

Plasshh!

Begitu warna keemasan bertemu ditengah-tengah, tepatnya didada sang bayi, cahaya emas itu kembali menyemburat terang, tapi cuma sesaat, kemudian cahaya keemasan itu membentuk wujud bayangan seekor naga kecil yang terlihat berputar-putar diarea dada sang bayi, lalu merayap diantara kulit bayi kecil itu menuju kearah lengan kiri sang bayi. Tepat dilengan kirinya, cahaya keemasan yang berbentuk naga itu berhenti, lalu bayangan naga emas itu terlihat melingkar dilengan sang bayi. Sesaat setelah cahaya keemasan itu menghilang, kini dilengan sang bayi terlihat rajah seekor naga berwarna keemasan melingkar.

Tiba-tiba saja mata sang bayi terlihat terbuka. Ini suatu keanehan, karena biasanya bayi baru lahir tak bisa membuka mata. dan untuk sesaat terlihat kedua bola mata sang bayi berwarna keemasan, tapi saat kedua mata itu berkedip, kedua bola mata itu kembali berubah menjadi agak kebiru-biruan, kulitnya putih walaupun masih berlumur darah, namun bau badannya wangi sekali seperti harumnya bunga melati!

Bayi itu adalah bayi lelaki. Tali pusarnya digunting oleh dua jari Barata. Barata tampak gembira sekali ketika berhasil menolong kelahiran anaknya sendiri. Tapi beberapa saat kemudian ia menjadi lemas, terpuruk sambil memeluk bayi itu. Si nenek dukung beranak terpaksa mengambil alih sang jabang bayi dan menyerahkannya kepada Ratri Kumala.

Ratri Kumala agak terkejut, setelah mengetahui dilengan sang bayi mempunyai rajah bergambar Naga emas melingkar.

"Kakang, apakah rajah di lengan kiri anak kita ini yang membuatmu lemas?"

Barata menjawab dengan gelengan kepala, setelah bangkit merayap dan duduk di tepi pembaringan baru berkata, "Kekuatanku telah hilang!" Barata terengah-engah. Sang bayi masih menjerit dalam tangisnya. Baru berhenti setelah disusui oleh Ratri Kumala. Bayi itu tampak riang, ceria, mulutnya lahap sekali menikmati air susu sang ibu.

"Kekuatanku sudah menitis ke dalam ragamu, Nak! Jaga dan pelihara baik-baik. Kau harus menjadi pemandu kebenaran dan keadilan. Harus punya keberanian! Keberanian menentang si angkara murka, keberanian melawan tindakan sesat, juga keberanian mengakui kesalahan diri sendiri."

“Akan kita berikan nama apa anak kita kakang ?”

Barata terdiam sejenak, teringat akan pesan Sang Hyang Guru Dewa kepadanya tentang nama anaknya. Sejenak pandangan Barata terbentur pada rajah naga emas yang ada dilengan kiri sang bayi.

“Jejaka...” ucap Barata pelan tanpa sadar. Tapi Ratri Kumala sudah cukup mendengar hal itu.

“Jejaka, kakang!” ulang Ratri Kumala hingga menyadarkan Barata dari lamunannya.

“Yah, Jejaka, seperti pesan Sang Hyang Guru Dewa kepada kita dulu” kata Barata lagi tersenyum. Ratri Kumala ikut tersenyum mendengar hal itu.

“Jejaka” ulang Ratri Kumala lagi.

Tiba-tiba sang jabang bayi melepas nenennya. Matanya memandangi sang ibu, ada senyum tipis di bibir mungil sang bayi yang sewajarnya tak bisa tersenyum. Sang ibu mulai tegang dan terheran-heran.

Tangan sang bayi bergerak-gerak menepuk-nepuk air minumnya yang ada di dada sang ibu. Ia bagaikan bermain 'tempat minuman' tersebut. Ia tampak girang, sehingga sang ibu yang memandangi dadanya ditepuk-tepuk sang anak menjadi sedikit cemas. Ia berkata kepada suaminya. "Gawat anakmu ini! Masih kecil sudah senang bermain 'tempat minumnya', bagaimana kalau sudah besar nanti?"

"Mudah-mudahan gerakan itu hanya suatu kebetulan saja. Jangan terbawa menjadi kebiasaan sampai dewasa. Kasihan para gadis yang kasmaran padanya," ujar Barata sambil tersenyum-senyum.

"Jangan-jangan kebiasaanmu menurun pada anak ini?"

"Kebiasaan yang mana?"

"Kebiasaan romantismu!" jawab Ratri Kumala agak ketus. Barata menjadi tertawa pelan. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya, "Apakah anak ini kelak juga akan ikut-ikutan suka merayu wanita? Wah, kacau juga kalau dia begitu."

Hujan pun berhenti, badai reda, petir sembunyikan diri, kabut sirna dan alam menjadi terang. Seakan mereka takut dengan kemunculan sang jabang bayi yang kelak akan melanglang buana, menembus belantara persilatan dan cinta.

-o0o-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status