Jenazah Suamiku
Bab 14 : Perjanjian Dua Saudara
"Bu Hera, saya hanya mencintai almarhum Bang Wawan saja dan takkan bisa mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah dengan Tuan Restu. Walau wajah mereka mirip, tapi mereka orang yang berbeda," ujarku tiba-tiba setelah sama-sama diam beberapa saat.
"Tapi, Restu sudah berjanji kepada Wawan untuk menikahi kamu, Wulan!" Bu Hera menggenggam tanganku.
"Bang Wawan tega ... Menyuruh saudara kembarnya menikahi istri jandanya?" Aku menitikkan air mata mendengarnya, perasaan jadi tak menentu. Antara kesal juga sesak.
"Jangan salah paham, Wulan! Itu isi dari perjanjian mereka, karena pada awalnya ... Wawan melarang kami menemui kalian meski ia sudah tak ada pun. Akan tetapi Restu tetap ngotot, karena demi Wawan ... ia telah banyak berkorban. Tapi ... Wawan malah meminta Restu menikahi kamu sekalian jika tetap ngotot menemui kamu, Winka, juga makamnya." Bu Hera kembali berkata.
Ya Tuhan, kepalaku semakin mumet
Jenazah SuamikuBab 15 : Saudagar Tambang EmasDengan langkah ragu-ragu, aku naik juga ke teras rumah Ibu dan melewati lorong sebelah kanan untuk masuk lewat pintu samping. Dengan jantung yang mendadak berdebar kencang, kusempatkan melirik lewat jendela kaca samping. Ah, seperti ada pembicaraan serius diantara rombongan orang asing dengan keluargaku itu. Entah kenapa, perasaanku semakin tak tenang saja."Wulan, akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk!" Kak Melati--istri kedua Bang Wahyu menyambutku ramah dan ini tak seperti biasanya. Benar-benar mencurigakan. "Kak Mawar, Wulan sudah datang ini!" sambungnya sambil menariakkan nama istri pertama Abangku. Iya, mereka hidup rukun damai dan entah ilmu pelet jenis apa juga yang digunakan Bang Wahyu untuk menjinakkan dua wanita dengan nama bunga-bungaan itu."Wulan, adik iparku ... Ayo ke kamar Kakak!" Kak Mawar menarikku ke dalam kamarnya.Tak salah lagi, pasti ada apa-apanya ini. Oke, Wulan, kalem aj
Jenazah SuamikuBab 16 : Dijaga 10 PremanKutumpah segala kesusahan di hati ini di atas sajadah, lewat sujud panjang dengan harapan Allah memberikan pertolongan-Nya atas masalah berat yang sedang kualami sekarang.Keluargaku memang keterlaluan dan ancaman Bang Wahyu sungguh membuatku takut. Jika aku dan Winka nekad kabur, maka dia akan membakar makam Bang Wawan. Sungguh sadis memang ancamannya, dia manusia paling zholim."Bu, kok nasinya cuma dipandangin aja sih? Ayo, dimakan! Ibu kenapa sih? Coba cerita sama Winka!" ujar Winka mengejutkan lamunanku."Eh, iya, Nak. Ibu makan kok," jawabku sambil menyuap nasi ke mulut.Sebenarnya aku tak berselera untuk makan, tapi aku tak boleh terlalu larut dan menyiksa diri. Aku tetap harus kuat dan tak boleh pasrah dengan keadaan.Usai makan malam berdua, Winka langsung mengemaskan piring kotor dan membawanya ke tempat pencucian. Putriku ini terlihat semakin pintar saja, dia selalu berusaha m
Jenazah SuamikuBab 17 : Kabur"Ibu jangan keluar sendiri, Winka ikut! Suara Om Restu 'kan itu yang kesakitan?" Winka menarik tanganku, ia terlihat menahan tangis."Nak, kamu tunggu di kamar saja, biar Ibu yang nolongin Om Restu!" Aku menghapus cepat air mataku sembari mengusap kepalanya dan mendorongnya melangkah menuju kamar.Perasaanku campur aduk saat ini, antara kesal, khawatir juga takut. Ya Allah, bantu hamba."Winka, cepat masuk kamar!" teriakku pada Winka yang ternyata masih berdiri di depan tirai."Ibu hati-hati!" jawabnya dengan berteriak pula sambil masuk ke dalam kamar.Aku menghembuskan napas panjang dan membuka pintu dengan perlahan. Benar saja dugaanku, ternyata preman itu sedang menghajar Restu--saudara kembar Bang Wawan.Dengan berusaha mengerahkan segenap keberanian, aku turun dari rumah. Aku takkan membiarkan preman itu membunuh kembaran suamiku. Kuseka air mata di pipi dengan kasar sambil membawa kayu
Jenazah SuamikuBab 18 : Hanya Wulan!"Tuan Wahyu, Tuan Wahyu!!!"Rumah keluarga Wahidin diketuk 2 orang preman bertubuh kekar, namun penuh luka dan babak belur."Tuan Wahyu, buka pintunya!!" Kedua berteriak bersamaan.Pria berkumis tebal yang dipeluk oleh dua istri di kanan dan kirinya itu menajamkan pendengaran sembari membuka matanya."Mawar, Melati, pinggirkan tangan kalian ini!" sentak Wahyu garang kepada dua istrinya itu."Ada apa sih, Bang?" rengek Melati--sang istri kedua."Abang .... " Mawar malah tak mau kalah saing, bukannya menjauh, ia malah semakin mengeratkan pelukannya.Melihat sang madu masih bermanja di dada sang suami, Melati pun tak mau kalah saing. Ia juga semakin menempelkan tubuh kepada sang suami."Aagghh ... Kalian ini, minggir sana! Ada yang teriak-teriak itu di depan pintu!" Wahyu segera bangun dan mendorong dua istrinya itu."Abang .... " Keduanya kembali merengek manja.
Jenazah SuamikuBab 19 : AmanSeperti kemarin, subuh ini aku juga menggigil di kamar, walau kuhabiskan waktu hingga menunggu pagi dengan menumpahkan keluh kesah di atas sajadah dan mengadukan segala kezholiman keluargaku kepada Allah.Salah satu alasanku tak mau tinggal di rumah Bu Hera ya ini, aku nggak tak tahan hawa dinginnya.Aku naik ke atas tempat tidur dan menumpang selimut Winka agar bisa menghangatkan diri. Ya Tuhan, kalau aku tinggal di sini, berarti aku memang harus siap kedinginan setiap saat."Ibu ... Udah bangun? Jam berapa ini? Kok nggak bangunin Winka? Winka 'kan harus sekolah .... " Winka segera duduk dan celingukan."Kamu izin dulu sekolahnya hari ini, Winka, kita 'kan sedang ngungsi di rumah Oma .... " Kuusap kepalanya sambil tersenyum."Oh iya, ya, Bu ... Winka lupa ... Ya udah deh ... Winka mau ke kamar mandi dulu deh." Putriku itu turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi."Mandi sekalian, Nak! Ibu ud
Jenazah SuamikuBab 20 : Pemindahan Makam"Mbak Wulan, perkenalkan saya Pak Anton--Pengacaranya Tuan Restu. Di sini saya sudah menyiapkan berkas-berkas untuk pemindahan makam almarhum Tuan Wawan. Mbak Wulan tinggal menadatangani saja, dan saya beserta tim akan langsung menuju Desa. Semoga saja prosesnya bisa selesai hari ini. Saya juga sudah menghubungi pihak Kepolisian, tim medis dan seorang Ustaz untuk mendampingi prosesnya nanti," ujar seorang pria paruh baya, dengan setelan jas berwarna abu-abu sembari meletakkan sebuah map di depanku.Bu Hera menganggukkan kepala sambil mengusap bahuku."Ini berkas surat izinnya, Bu Wulan. Silakan dibaca dan ditanda tangani," ujarnya lagi sambil membuka map itu dan meletakkan pulpen di atasnya.Aku mengangguk sambil meraih map itu, lalu membaca isinya. Ternyata ini surat izin yang menyebutkan kalau aku memberi izin jika makam almarhum Bang Wawan yang berada di depan rumahku itu dipindahkan ke makam keluarga mi
Jenazah SuamikuBab 21 : Panggil Ayah"Kenapa bengong di sini?" Restu tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku."Eh, tidak, hmm ... Ini ... Raport Winka, ternyata ... Ada dibawa .... " Aku segera menyodorkan raport Winka di tanganku."Ohhh .... " Dia segera meraihnya dengan wajah tanpa dosa, padahal baru saja dua detik yang lalu dia ngata-ngatain aku."Tolong ... Segera diuruskan pindah sekolahnya Winka, soalnya ... Dia ... Udah nanyain sekolah tiap hari," ujarku lagi."Oke." Dia menjawab cepat dan segera berlalu dari harapanku.Isshh ... Gayanya itu loh, songong amat ... Nyebelin. Dia juga bilang aku ini bikin sumpek, lola dan nggak ada yang menarik. Sebenarnya, benar juga sih. Kutatap pakaian yang kukenakan sekarang juga wajah yang memang tak cantik ini, dia jujur sih tapi kok bikin nyesak, ya? Aduuhh ...."Wulan, kamu sini?" Bu Hera--mertuaku yang paling baik itu menghampiriku."Iya, Bu, habis ngasihin raportnya Winka sam
Jenazah SuamikuBab 22 : Cemburu"Duda sebelah mana yang digodain Wulan, Res?" Mertuaku mengerutkan dahi, menatap ke arah sang putra yang sedang menggulung kemejanya sampai siku."Tanya aja sendiri menantu Mama itu!" Restu langsung membalikkan badan dan berlalu dari hadapan kami.Ya ampun, kenapa dia itu? Kok nuduh-nuduh gitu? Wajahnya sangar pula, kayak suami yang mergokin istrinya selingkuh aja. Eh!"Wulan, kenapa itu, Restu? Kok Tante kayak lihat gelagat cemburu di matanya?" Tante Rani menatapku sambil menahan tawa."Eh, saya nggak tahu, Tante." Aku menggeleng, benar-benar nggak ngerti deh sama sikap kembaran suamiku itu, wajahnya kecut aja. Pelit senyum, nggak kayak almarhum, yang ramah dan murah senyum."Ya udah deh, Restu itu emang aneh. Kita kembali kepada Wulan yang mau kerja di kantor saja. Jadi, gimana Wulan, kamu mau kerja di kantor Restu?" Bu Hera menatapku."Saya nggak punya ijazah, SMA aja nggak tamat, Bu, gimana