Home / Romansa / Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan / Bab 4. Mendisiplinkan Shen Liu Zi

Share

Bab 4. Mendisiplinkan Shen Liu Zi

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2025-11-03 20:15:35

Di pusat kota, suasana bagaikan lukisan hidup.

Suara pedagang bersahutan dengan teriakan bocah yang berlari-lari membawa layang-layang kertas, serta ada pula yang membawa permen tang hu lu. Aroma manisan, minyak wijen, dan bunga kering bercampur di udara.

Shen Liu Zi dan Yu Li berjalan di tengah keramaian itu, wajah keduanya tersembunyi di balik tudung tipis, tapi tawa mereka pelan terkendali, seperti dua gadis yang tahu betul sedang bermain api.

“Lihat, Nyonya!” seru Yu Li lirih sambil menunjuk ke arah kiri, “gelang gioknya bagus sekali, lihat kilauannya!”

Shen Liu Zi menoleh. Di balik rak kayu jati, seorang penjaga toko sedang memperlihatkan gelang hijau muda yang memantulkan cahaya matahari. Dia mendekat dengan langkah santai, mengamati seolah sedang menilai karya seni.

“Berapa ini?” tanyanya lembut.

“Dua tael per gelang, Nyonya,” jawab si penjaga toko.

Shen Liu Zi menatapnya sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Dua tael untuk giok yang bahkan tak sepadan dengan kaca di kamar mandiku?”

Yu Li buru-buru menahan tawa di balik lengan bajunya. Penjaga toko langsung tergagap, wajahnya merah. “Haha, kalau begitu satu tael saja, Nyonya.”

“Setengah,” potong Shen Liu Zi dengan tenang, “kalau tidak, aku pergi.”

Penjaga toko menelan ludah, akhirnya mengangguk cepat. “Baik-baik, setengah!”

Yu Li menutup mulut, tertawa kecil saat mereka berjalan pergi dengan satu kantong kecil di tangan.

“Kalau Nyonya terus begini, aku yakin orang-orang di pasar ini akan hafal wajahmu,” katanya geli.

Shen Liu Zi menoleh sekilas, senyum di bibirnya mulai lebar.

Mereka terus berjalan. Di kanan, kedai aksesoris rambut menampilkan jepit giok dengan bentuk bunga peoni dan kupu-kupu perak. Di kiri, kedai riasan memperlihatkan bedak halus beraroma mawar dan minyak rambut dari negeri selatan.

Shen Liu Zi berhenti di depan kedai riasan itu, mengambil satu wadah kecil berukir naga. Dia membukanya dan menghirup pelan.

“Ah.” Matanya menyipit. “Ini wewangian dari Hangzhou. Lembut tapi tahan lama.”

Yu Li mengangguk penuh semangat. “Kalau begitu beli dua saja, Nyonya. Satu buat Nyonya, satu buat aku.”

Shen Liu Zi menatapnya geli. “Berani juga kamu minta dibelikan, ya?”

“Kalau Nyonya lagi murah hati seperti ini, aku harus memanfaatkan kesempatan,” jawab Yu Li cepat, membuat Shen Liu Zi tertawa.

Saat yang sama ....

“Yo! Bukankah itu Nyonya Shen Liu.” Kaisar berkata di balik cadar hitam, yang menutupi sebagian wajahnya.

Jenderal Shang yang duduk di seberangnya dengan wajah sama-sama tertutup cadar, tak sama sekali terganggu dari kesibukan menuang arak, meski dia tahu siapa yang dimaksud Kaisar.

“Kamu bilang, hari ini dia akan didisiplinkan,” lanjut Kaisar, “kurasa dia melarikan diri.”

Jenderal Shang masih diam.

Kaisar kemudian mengalihkan perhatiannya dari Shen Liu Zi yang tampak asyik bergurau dengan Yu Li.

Pria itu menatap jenderal Shang sesaat sebelum diakhiri memalingkan wajah diikuti helaan napas dalam-dalam.

Sikap dingin jenderal Shang bukan hal aneh, bukan hal baru, tapi sejak kematian Chu Qiao, pria itu sudah seperti siluman es yang tidak bisa bicara.

Benar-benar dingin!

Waktu bergulir.

Matahari sudah sampai puncaknya.

Shen Liu Zi berjalan perlahan bersama Yu Li, keduanya kini tampak jauh lebih tenang dibanding beberapa shichen lalu.

“Kurasa, Nyonya Shang Xiwu sudah pulang sekarang,” ujar Yu Li dengan nada ragu, “kita bisa masuk tanpa ketahuan, bukan?”

Shen Liu Zi memiringkan kepala sedikit. “Seharusnya begitu. Lagipula, siapa yang bisa marah terus-menerus sampai siang begini?” katanya ringan, bibirnya menahan senyum kecil.

Yu Li mengangkat bahu, mencoba percaya pada keyakinan itu.

Mereka berdua menapaki lantai kayu yang berderit pelan setiap kali kaki Shen Liu Zi melangkah. Tangannya sempat menahan napas saat hendak membuka pintu kamarnya.

“Lihat? Aman.” Dia menoleh ke Yu Li dengan ekspresi puas. “Aku bilang juga apa, badai sudah lewat.”

Sayangnya, baru saja dia mengayunkan satu langkah ke dalam—

“SHEN LIU ZI!”

Suara Shang Xiwu meledak dari belakang, keras dan lantang, seperti petir menyambar di siang bolong.

Langkah Shen Liu Zi langsung membeku. Napasnya tersangkut di tenggorokan, sementara Yu Li di belakangnya spontan memekik pelan dan hampir menjatuhkan kantong belanjaan mereka.

Udara di sekitar tiba-tiba terasa padat. Perlahan, sangat perlahan, Shen Liu Zi menoleh.

Dan di sanalah, berdiri Shang Xiwu dengan wajah merah padam, mata melotot tajam, dan cambuk menggulung di tangan yang sedang ditepuk-tepuk pelan ke telapak satunya.

Shen Liu Zi menelan ludah. Tangannya refleks menyembunyikan kantong kecil berisi gelang giok di balik lengan bajunya.

“B-bibi ketiga,” ucapnya kaku, memaksa senyum.

“Aku, aku baru saja pulang dari berdoa di kuil utara.” Dia berbohong.

“Berdoa?” Shang Xiwu menyipitkan mata. “Kuil utara? Dengan wewangian Hangzhou dan gelang giok di tanganmu?”

Yu Li menunduk dalam-dalam, ingin lenyap dari dunia.

Shen Liu Zi, di sisi lain, masih berusaha bertahan dengan wajah setenang mungkin.

“Selain tidak beretika, kamu rupanya pintar berbohong, yah,” suara Shang Xiwu meninggi, “kamu pikir aku akan membiarkan masalah ini begitu saja, hm?”

Cambuk di tangannya berderak keras saat digetarkan di udara.

Cetar!

Shen Liu Zi spontan mundur setapak. “Bibi ketiga, aku bisa jelaskan—”

“Tidak perlu dijelaskan!” potong Shang Xiwu, “kamu sengaja tidak datang belajar pagi ini, sekarang kamu pulang sambil membawa belanjaan pasar! Kamu pikir jadi istri Jenderal Shang artinya bisa bersenang-senang sepuas hati?”

“Bibi ketiga, aku tidak—”

“Diam!”

Kemarahan Shang Xiwu tak mudah ditaklukkan.

“Pelayan! Seret Nyonya Shen ke halaman depan! Wanita itu harus didisiplinkan!” perintah Shang Xiwu, meninggi, tak terbantahkan.

Sebelum bisa menghindar, dua pelayan sudah lebih dulu menangkap pergelangan tangan Shen Liu Zi.

Mereka bahkan sengaja menekannya dengan kasar!

Shen Liu Zi melotot tanda memprotes. “Aku bisa jalan sendiri!”

Pelayan tadi tak menghiraukan. Mereka malah tersenyum miring, juga semakin menekan pergelangan tangan Shen Liu Zi hingga akhirnya membuat kantong yang dia bawa jatuh.

Klontang!

Gelang giok yang dibelinya terbentur halaman berbatu.

Shen Liu Zi menoleh, tatapan cemas terlihat jelas di matanya.

Yu Li segera mengambil alih kantong itu, dan ketika isinya dikeluarkan, gelang giok sudah patah menjadi tiga bagian.

Wajah Shen Liu Zi tak berekspresi, dia menatap lurus ke depan, mau tak mau mengikuti langkah-langkah kasar para pelayan hingga tiba di halaman ....

Bug!

Shang Xiwu memukul lutut belakangnya.

Dug!

Shen Liu Zi seketika jatuh berlutut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 8. Mencari Gambar Chu Qiao

    Besoknya. Jenderal Shang beberapa waktu lalu pergi ke pertemuan rutin di istana, dan dengan langkah hati-hati bak maling kecil, Shen Liu Zi memasuki kamar pria itu. Ck! Begitu masuk, mulutnya langsung berdecak. Dia tidak heran jika kamar laki-laki tidak memiliki banyak perabotan, tetapi kamar jenderal ini bukan hanya tidak memiliki banyak perabotan, melainkan hanya ada satu tempat tidur, serta satu meja berisi tumpukan buku. Dua perabot itu saja! Membuat Shen Liu Zi tak habis pikir, tapi sekaligus mempermudah pencariannya. Ya. Wanita itu datang tidak sekedar bermain-main. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan dia mulai bergerak dari meja baca di sisi kiri kamar. Di meja itu ada banyak tumpukan buku, kertas serta satu set kuas juga tintanya. Shen Liu Zi pikir, jenderal Shang mungkin pernah melukis wajah Chu Qiao. Dia membuka tiap buku yang diambil, membolak-balikan lembaran kertas yang ada. Sayangnya, hampir sebagian buku dia buka, tak dia temukan satupun wajah seorang

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 7. Yu Li Pelayan Bernyali

    Yu Li terlonjak panik. “Nyonya!” serunya nyaris parau. Tubuh Shen Liu Zi terasa dingin ketika dipeluk, napasnya terputus-putus, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tidak! Tidak boleh begini!” Yu Li mengguncang pelan bahu junjungannya itu, tetapi kelopak mata itu tetap tertutup rapat. Angin malam menyusup lewat celah pintu, membawa hawa lembab bekas hujan yang menusuk tulang. Yu Li menatap ke luar sebentar, lalu menggigit bibir kuat-kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tubuh Shen Liu Zi ke punggungnya sendiri, membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Langkah Yu Li goyah, tapi tekadnya kuat. Selesai membaringkan Shen Liu Zi di tempat tidur, Yu Li tergesa-gesa keluar. Setiap kali kakinya menapak tanah licin di halaman, rasa takut makin menyesak dada. Bukan takut pada kegelapan, melainkan takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah memperlakukannya seperti keluarga. Hujan kembali turun, pelan tapi tak henti. Yu Li setengah berlari, setengah terhuyung, menembus lor

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 6. Tiba-tiba Sakit

    Musim semi cenderung lebih hangat, tetapi hujan turun lebih sering. Di dalam kamar yang remang, suara rintik di luar terdengar lembut, menimpa genting dengan irama lambat. Asap tipis dari dupa di sudut ruangan membubung, bergulung pelan seperti napas yang menahan lelah. Shen Liu Zi duduk sendirian di depan meja rendah. Di hadapannya, mangkuk daging domba pedas manis masih mengepulkan uap harum. Tangannya terulur, menggenggam sumpit perlahan. Ujung jarinya bergetar. Gerakan kecil saja sudah membuat rasa nyeri menjalar dari bahu ke punggung. Luka cambuk yang belum mengering itu menegang setiap kali dia mencoba mengangkat lengan! Sumpit nyaris menyentuh daging, tapi kekuatan di jari-jari itu lenyap. Trak! Sumpit terjatuh, dia menatapnya jengkel. Dia kelaparan, energinya seakan terkuras habis, karena cambukan Shang Xiwu. Yu Li belum terlihat. Kali terakhir datang hanya mengantarkan semangkuk daging, sekaligus minta izin keluar sebentar. Sampai sekarang belum kembali. Lal

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 5. Jenderal Akhirnya Datang

    Cambuk pertama menghantam punggung Shen Liu Zi tanpa ampun. Cetar! Shen Liu Zi. “...” Tubuh Shen Liu Zi menegang, pekikannya tertahan di tenggorokan. Cetar! Cambukan kedua meluncur. Kali ini membuat tubuhnya sedikit goyah, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. Dingin, keras kepala, menolak tunduk! “Beraninya kamu tidak patuh di kediaman Jenderal Shang!” bentak Shang Xiwu, mengangkat cambuknya lagi. Cetar! Cambuk kedua mendarat lebih keras dari sebelumnya. Kain tipis di punggung Shen Liu Zi robek, menyingkap garis merah yang perlahan menggelap. Yu Li, yang berlutut tak jauh dari situ, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, matanya berkaca-kaca. “Nyonya Ketiga! Tolong maafkan Nyonya Shen!” Pelayan kecil itu bukan hanya memohon pengampunan untuk nyonya nya, tetapi juga lekas melindunginya dari belakang. Cetar! “Diam!” hardik Shang Xiwu sambil tetap mencambuk alhasil mengenai Yu Li, “kamu pembantu, bukan juru bicara!” Shen Liu Zi yang tadinya bersikap angku

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 4. Mendisiplinkan Shen Liu Zi

    Di pusat kota, suasana bagaikan lukisan hidup. Suara pedagang bersahutan dengan teriakan bocah yang berlari-lari membawa layang-layang kertas, serta ada pula yang membawa permen tang hu lu. Aroma manisan, minyak wijen, dan bunga kering bercampur di udara. Shen Liu Zi dan Yu Li berjalan di tengah keramaian itu, wajah keduanya tersembunyi di balik tudung tipis, tapi tawa mereka pelan terkendali, seperti dua gadis yang tahu betul sedang bermain api. “Lihat, Nyonya!” seru Yu Li lirih sambil menunjuk ke arah kiri, “gelang gioknya bagus sekali, lihat kilauannya!” Shen Liu Zi menoleh. Di balik rak kayu jati, seorang penjaga toko sedang memperlihatkan gelang hijau muda yang memantulkan cahaya matahari. Dia mendekat dengan langkah santai, mengamati seolah sedang menilai karya seni. “Berapa ini?” tanyanya lembut. “Dua tael per gelang, Nyonya,” jawab si penjaga toko. Shen Liu Zi menatapnya sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Dua tael untuk giok yang bahkan tak sepadan dengan kaca di k

  • Jenderal! Istrimu Bukan Pajangan   Bab 3. Mempermainkan Bibi Shang Xiwu

    Brak! Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Shen Liu Zi bersandar di daun pintu, matanya terpejam rapat. Napasnya naik-turun, bukan karena berlari, tapi karena amarah yang mendidih di dada bercampur rasa malu yang menyesakkan. Suara sendok, tawa pelan, dan ejekan samar dari aula tadi masih bergema di telinga, seperti setiap detiknya bagaikan jarum halus yang menusuk pelan-pelan ke dalam kulit. Dia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang yang terdengar getir. Tangannya yang masih berbalut kain putih perlahan menekan dada. Dia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berlari seperti hendak keluar dari tubuh. “Suami macam apa itu,” berangnya pelan, hampir tanpa suara. Shen Liu Zi lantas tanpa sengaja melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Bayangan itu tampak begitu pucat, matanya merah karena menahan emosi. “Benar-benar seperti anak singkong di tengah perkumpulan apel merah,” ujarnya lirih, miris, “tidak ada yang lebih memalukan dari in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status