LOGINBrak!
Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Shen Liu Zi bersandar di daun pintu, matanya terpejam rapat. Napasnya naik-turun, bukan karena berlari, tapi karena amarah yang mendidih di dada bercampur rasa malu yang menyesakkan. Suara sendok, tawa pelan, dan ejekan samar dari aula tadi masih bergema di telinga, seperti setiap detiknya bagaikan jarum halus yang menusuk pelan-pelan ke dalam kulit. Dia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang yang terdengar getir. Tangannya yang masih berbalut kain putih perlahan menekan dada. Dia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berlari seperti hendak keluar dari tubuh. “Suami macam apa itu,” berangnya pelan, hampir tanpa suara. Shen Liu Zi lantas tanpa sengaja melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Bayangan itu tampak begitu pucat, matanya merah karena menahan emosi. “Benar-benar seperti anak singkong di tengah perkumpulan apel merah,” ujarnya lirih, miris, “tidak ada yang lebih memalukan dari ini.” Tubuhnya lunglai, tapi saat mencoba duduk di tepi ranjang, Shen Liu Zi malah berdiri lagi. Dia tak bisa diam. Setiap kali mencoba menenangkan diri, bayangan wajah-wajah di meja makan itu muncul lagi. 'Di mana Nyonya mu, heh?' Lalu, suara tak asing mendadak mendekat. Baru juga Shen Liu Zi menoleh, pintu sudah terbuka, diawali Yu Li yang masuk dengan tampang menciutnya, diikuti bibi ketiga jenderal Shang Que, Shang Xiwu. “Nyo—” Yu Li tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Bibi ketiga, Shang Xiwu langsung menyela, “Ikuti aku! Mulai hari ini kamu harus belajar etika bangsawan!” Shen Liu Zi. “...” Shang Xiwu tidak suka bantahan, wanita tua itu tanpa basa-basi melempar sebuah buku, yang sigap Shen Liu Zi tangkap. Kemudian, dengan nada ketus yang sama dia berkata, “Pelajari itu malam ini! Besok harus kamu setorkan!” Shen Liu Zi menatap sampul buku sesaat sebelum mengangguk, memaksa senyum. Dia tidak setuju, tetapi tidak mengatakannya. Shang Xiwu pikir Shen Liu Zi akan mematuhi, dia berbalik pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Dan yang terjadi di hari berikutnya .... “Nyonya, kamu tidak pergi belajar ke rumah Nyonya Shang Xiwu?” Yu Li menyajikan teh sambil bertanya. Shen Liu Zi sedang jongkok, mencolek debu nyaris tak kasat mata, tidak jauh dari pintu masuk. Bukannya menjawab pertanyaan Yu Li, Shen Liu Zi malah tersenyum sendiri sebelum beringsut bangun, menyambar teh di atas meja. Sementara itu. Baru saja Shang Xiwu menikmati sarapan dengan kepuasan tinggi, tapi detik ini tampangnya berubah kusut tatkala tidak mendapati Shen Liu Zi di pondok; tempat yang dia siapkan untuk mendidik wanita itu. “Dia belum datang?” Nada suara Shang Xiwu naik satu oktaf. “Apa dia telat bangun lagi, hah?” Pelayan wanita itu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu pasti, Nyonya. Yang jelas, dia sedang duduk santai di kamarnya.” Jawaban itu seketika menyulut emosi Shang Xiwu! “Dasar bocah tidak beretika! Cepat siapkan cambuk! Bocah itu harus diberi pelajaran!” Waktu bergulir. Langkah Shang Xiwu terdengar cepat dan berat, menghentak-hentak tanah berkerikil, jalur menuju kediaman jenderal Shang. “Bocah itu berani-beraninya tidak datang belajar?” geram Shang Xiwu, matanya menyipit tajam. “Lihat saja nanti! Dia pikir bisa menjadi menantu keluarga Shang tanpa tahu sopan santun!” Hening. “Aku sendiri yang akan mengajarinya!” Pelayan di belakangnya berusaha menenangkan, “Nyonya, mungkin Nyonya Shen—” “Diam!” potong Shang Xiwu dengan nada menggertak, “jangan membelanya!” Sementara itu, dari balik tembok gerbang, Yu Li yang sudah bersiaga nyaris menjatuhkan nampan kecil yang dibawanya. Dia melihat jelas sosok nyonya ketiga berjalan cepat dengan cambuk tergulung di tangan, wajahnya merah padam seperti siap meledak. Mata Yu Li membulat. Dia secepatnya berbalik arah, berlari terbirit-birit menuju kamar. Nafasnya tersengal, langkahnya nyaris tersandung di ambang pintu ketika berhasil tiba. “Nyonya!” serunya sambil menahan napas, “nyonya Shang Xiwu datang! Dia membawa cambuk! Dia—dia hampir melewati gerbang.” Shen Liu Zi tetap tenang, tapi secepatnya dia menelan bulat-bulat kunyahan apel terakhir di mulutnya, menepuk tangan, dan berdiri. “Ayo, cepat! Pintu belakang!” Yu Li melongo. “Pintu belakang?” “Kalau bukan itu, kamu mau kita diseret keliling halaman?” Shen Liu Zi meraih tangan Yu Li, lalu menariknya tanpa banyak bicara. Mereka berlari melewati dapur kecil yang beraroma nasi kukus, kemudian melewati koridor yang mengarah ke taman belakang. Langkah mereka ringan tapi tergesa. Shen Liu Zi sempat menoleh sekali, memastikan tidak ada yang melihat. Suara sandal mereka beradu dengan lantai batu, semakin cepat ketika terdengar gema langkah dari arah depan. “Cepat, Yu Li!” Pintu belakang terbuka dengan suara berderit kecil, disambut hembusan angin lembap dari taman. Tanpa pikir panjang, Shen Liu Zi menarik Yu Li keluar, menyusuri jalan setapak di balik deretan bambu. Mereka berdua akhirnya menghilang di antara dedaunan yang bergoyang lembut, sementara di sisi lain— BRAK! Pintu kamar Shen Liu Zi terbuka keras, membuat angin di ruangan itu bergolak. Shang Xiwu berdiri di ambang pintu. Dadanya naik-turun, cambuk di tangan, pandangannya langsung menyapu ruangan. Namun, yang dia temukan hanyalah kesunyian. Tidak ada Shen Liu Zi, tidak ada Yu Li, tidak ada jejak siapa pun. Dan yang tersisa hanyalah piring kecil di atas meja, berisi dua potongan apel yang setengah termakan. Wajah Shang Xiwu langsung merah padam! “Dia berani kabur dariku!” teriaknya, menggema sampai ke halaman depan. Pelayan-pelayan yang berdiri di luar kamar saling berpandangan tak mengerti. Shang Xiwu menatap piring itu sekali lagi, lalu dengan gerakan kasar dia menyambar apel yang tersisa dan melemparkannya ke lantai. Pluk! “Bocah tengik! Beraninya dia mempermainkan orang tua!” “Tunggu saja dia kembali, Nyonya. Cambuk masih di tanganmu, dia perlu didisiplinkan.”Besoknya. Jenderal Shang beberapa waktu lalu pergi ke pertemuan rutin di istana, dan dengan langkah hati-hati bak maling kecil, Shen Liu Zi memasuki kamar pria itu. Ck! Begitu masuk, mulutnya langsung berdecak. Dia tidak heran jika kamar laki-laki tidak memiliki banyak perabotan, tetapi kamar jenderal ini bukan hanya tidak memiliki banyak perabotan, melainkan hanya ada satu tempat tidur, serta satu meja berisi tumpukan buku. Dua perabot itu saja! Membuat Shen Liu Zi tak habis pikir, tapi sekaligus mempermudah pencariannya. Ya. Wanita itu datang tidak sekedar bermain-main. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan dia mulai bergerak dari meja baca di sisi kiri kamar. Di meja itu ada banyak tumpukan buku, kertas serta satu set kuas juga tintanya. Shen Liu Zi pikir, jenderal Shang mungkin pernah melukis wajah Chu Qiao. Dia membuka tiap buku yang diambil, membolak-balikan lembaran kertas yang ada. Sayangnya, hampir sebagian buku dia buka, tak dia temukan satupun wajah seorang
Yu Li terlonjak panik. “Nyonya!” serunya nyaris parau. Tubuh Shen Liu Zi terasa dingin ketika dipeluk, napasnya terputus-putus, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tidak! Tidak boleh begini!” Yu Li mengguncang pelan bahu junjungannya itu, tetapi kelopak mata itu tetap tertutup rapat. Angin malam menyusup lewat celah pintu, membawa hawa lembab bekas hujan yang menusuk tulang. Yu Li menatap ke luar sebentar, lalu menggigit bibir kuat-kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tubuh Shen Liu Zi ke punggungnya sendiri, membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Langkah Yu Li goyah, tapi tekadnya kuat. Selesai membaringkan Shen Liu Zi di tempat tidur, Yu Li tergesa-gesa keluar. Setiap kali kakinya menapak tanah licin di halaman, rasa takut makin menyesak dada. Bukan takut pada kegelapan, melainkan takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah memperlakukannya seperti keluarga. Hujan kembali turun, pelan tapi tak henti. Yu Li setengah berlari, setengah terhuyung, menembus lor
Musim semi cenderung lebih hangat, tetapi hujan turun lebih sering. Di dalam kamar yang remang, suara rintik di luar terdengar lembut, menimpa genting dengan irama lambat. Asap tipis dari dupa di sudut ruangan membubung, bergulung pelan seperti napas yang menahan lelah. Shen Liu Zi duduk sendirian di depan meja rendah. Di hadapannya, mangkuk daging domba pedas manis masih mengepulkan uap harum. Tangannya terulur, menggenggam sumpit perlahan. Ujung jarinya bergetar. Gerakan kecil saja sudah membuat rasa nyeri menjalar dari bahu ke punggung. Luka cambuk yang belum mengering itu menegang setiap kali dia mencoba mengangkat lengan! Sumpit nyaris menyentuh daging, tapi kekuatan di jari-jari itu lenyap. Trak! Sumpit terjatuh, dia menatapnya jengkel. Dia kelaparan, energinya seakan terkuras habis, karena cambukan Shang Xiwu. Yu Li belum terlihat. Kali terakhir datang hanya mengantarkan semangkuk daging, sekaligus minta izin keluar sebentar. Sampai sekarang belum kembali. Lal
Cambuk pertama menghantam punggung Shen Liu Zi tanpa ampun. Cetar! Shen Liu Zi. “...” Tubuh Shen Liu Zi menegang, pekikannya tertahan di tenggorokan. Cetar! Cambukan kedua meluncur. Kali ini membuat tubuhnya sedikit goyah, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. Dingin, keras kepala, menolak tunduk! “Beraninya kamu tidak patuh di kediaman Jenderal Shang!” bentak Shang Xiwu, mengangkat cambuknya lagi. Cetar! Cambuk kedua mendarat lebih keras dari sebelumnya. Kain tipis di punggung Shen Liu Zi robek, menyingkap garis merah yang perlahan menggelap. Yu Li, yang berlutut tak jauh dari situ, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, matanya berkaca-kaca. “Nyonya Ketiga! Tolong maafkan Nyonya Shen!” Pelayan kecil itu bukan hanya memohon pengampunan untuk nyonya nya, tetapi juga lekas melindunginya dari belakang. Cetar! “Diam!” hardik Shang Xiwu sambil tetap mencambuk alhasil mengenai Yu Li, “kamu pembantu, bukan juru bicara!” Shen Liu Zi yang tadinya bersikap angku
Di pusat kota, suasana bagaikan lukisan hidup. Suara pedagang bersahutan dengan teriakan bocah yang berlari-lari membawa layang-layang kertas, serta ada pula yang membawa permen tang hu lu. Aroma manisan, minyak wijen, dan bunga kering bercampur di udara. Shen Liu Zi dan Yu Li berjalan di tengah keramaian itu, wajah keduanya tersembunyi di balik tudung tipis, tapi tawa mereka pelan terkendali, seperti dua gadis yang tahu betul sedang bermain api. “Lihat, Nyonya!” seru Yu Li lirih sambil menunjuk ke arah kiri, “gelang gioknya bagus sekali, lihat kilauannya!” Shen Liu Zi menoleh. Di balik rak kayu jati, seorang penjaga toko sedang memperlihatkan gelang hijau muda yang memantulkan cahaya matahari. Dia mendekat dengan langkah santai, mengamati seolah sedang menilai karya seni. “Berapa ini?” tanyanya lembut. “Dua tael per gelang, Nyonya,” jawab si penjaga toko. Shen Liu Zi menatapnya sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Dua tael untuk giok yang bahkan tak sepadan dengan kaca di k
Brak! Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Shen Liu Zi bersandar di daun pintu, matanya terpejam rapat. Napasnya naik-turun, bukan karena berlari, tapi karena amarah yang mendidih di dada bercampur rasa malu yang menyesakkan. Suara sendok, tawa pelan, dan ejekan samar dari aula tadi masih bergema di telinga, seperti setiap detiknya bagaikan jarum halus yang menusuk pelan-pelan ke dalam kulit. Dia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang yang terdengar getir. Tangannya yang masih berbalut kain putih perlahan menekan dada. Dia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berlari seperti hendak keluar dari tubuh. “Suami macam apa itu,” berangnya pelan, hampir tanpa suara. Shen Liu Zi lantas tanpa sengaja melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Bayangan itu tampak begitu pucat, matanya merah karena menahan emosi. “Benar-benar seperti anak singkong di tengah perkumpulan apel merah,” ujarnya lirih, miris, “tidak ada yang lebih memalukan dari in







