로그인Musim semi cenderung lebih hangat, tetapi hujan turun lebih sering.
Di dalam kamar yang remang, suara rintik di luar terdengar lembut, menimpa genting dengan irama lambat. Asap tipis dari dupa di sudut ruangan membubung, bergulung pelan seperti napas yang menahan lelah. Shen Liu Zi duduk sendirian di depan meja rendah. Di hadapannya, mangkuk daging domba pedas manis masih mengepulkan uap harum. Tangannya terulur, menggenggam sumpit perlahan. Ujung jarinya bergetar. Gerakan kecil saja sudah membuat rasa nyeri menjalar dari bahu ke punggung. Luka cambuk yang belum mengering itu menegang setiap kali dia mencoba mengangkat lengan! Sumpit nyaris menyentuh daging, tapi kekuatan di jari-jari itu lenyap. Trak! Sumpit terjatuh, dia menatapnya jengkel. Dia kelaparan, energinya seakan terkuras habis, karena cambukan Shang Xiwu. Yu Li belum terlihat. Kali terakhir datang hanya mengantarkan semangkuk daging, sekaligus minta izin keluar sebentar. Sampai sekarang belum kembali. Lalu, begitu kepala Shen Liu Zi terangkat .... Jantungnya nyaris melompat! Entah kapan datangnya, jenderal Shang Que sudah berdiri di ambang pintu. Sosoknya tinggi, besar, dan tenang seperti malaikat maut. Gluk! Shen Liu Zi tanpa terasa menelan ludah. Bukan takut, tapi terkesima. Jenderal mendekat. Shen Liu Zi dengan gugup beranjak bangun, lanjut sedikit membungkukkan badan. “Jenderal.” Jenderal tidak berkata apapun. Pria itu bahkan tiba-tiba saja duduk di hadapan Shen Liu Zi. Meski masih gugup, Shen Liu Zi turut serta duduk seperti semula. Kemudian jenderal lanjut menyumpit beberapa potongan daging, yang dia letakkan di atas nasi Shen Liu Zi. Shen Liu Zi. “...” Tak mampu berkata-kata walau tahu maksud jenderal. Karena itu, jenderal Shang yang biasanya tidak banyak bicara, pun membuka mulut. “Wanita bangsawan makan tidak terburu-buru.” Shen Liu Zi berkedip singkat. Dia tidak tahu pasti maksud ucapan jenderal, tapi yang jelas, sekarang dia mengambil lagi sumpitnya, coba menyumpit potongan daging kembali, lanjut memasukannya ke mulut. Shen Liu Zi mengunyah potongan secara hati-hati dan perlahan seperti instruksi jenderal, sedangkan jenderal sendiri tidak melakukan apapun, bahkan pandangannya juga tak mengarah jelas. Tidak tahu apa yang harus diobrolkan, Shen Liu Zi memilih diam, sambil sesekali curi-curi pandang, merekam ketampanan berbalut ketegasan di wajah jenderal. Sampai saatnya wanita itu tersedak. Ukhuk! Ukhuk! Jenderal tidak memberinya minum, atau mungkin berinisiatif menuangkan air. Sambil terbatuk-batuk, Shen Liu Zi menuang air sendiri. Namun, ketika dia akan meneguknya, jenderal mendadak menahan pergelangan tangannya hanya untuk mengambil tangan satunya lagi, yang dia arahkan menutupi sebagian wajah wanita itu sendiri. Suara bariton jenderal melanjutkan, “Saat minum, angkat tanganmu yang satunya, halangi orang lain melihat caramu meneguk. Dan biarkan arah matamu tetap ke lurus ke depan, seolah kamu sedang memahami situasi.” Shen Liu Zi mengikuti. Konyolnya, sampai detik ini juga dia tidak tahu pasti maksud jenderal, karena fokus wanita itu saat ini hanya satu .... Setelah sekian lama memandang diam-diam dari kejauhan, akhirnya hari ini mereka duduk saling berhadapan. Hingga akhirnya jenderal beranjak lalu pergi begitu saja, Shen Liu Zi mengunyah sambil berpikir keras. “Eh, kenapa kesannya seperti sedang belajar?” Waktu berputar. Malam harinya, hujan sudah sejak sore tak lagi turun. Namun, Shen Liu Zi justru menggigil hebat sampai menggunakan mantel bulu berlapis selimut tebal. Dia meringkuk di tempat tidur, Yu Li sibuk membuat baskom api, serta keluar dan datang lagi membawakan botol kulit berisi air panas “Ini tidak salah lagi. Nyonya pasti terinfeksi,” ujar Yu Li yakin betul. Shen Liu Zi tidak sepenuhnya membenarkan, tetapi kepalanya mengangguk samar. “Tunggu sebentar, aku akan minta Jenderal Shang memanggil Tabib.” Yu Li tak perlu menunggu respon Shen Liu Zi, gadis itu langsung berlari ke luar. Dia menyelusuri koridor, melewati teras demi teras, kemudian sampai di kamar lain jenderal, yang baru dipakainya setelah menikah. Pintu kamar itu terbuka, jenderal Shang tidak ada di dalam. Pelayan yang kebetulan lewat lantas berkata dengan tatapan mengejek. “Jenderal ada di halaman belakang, berlutut di depan papan arwah kekasihnya.” Yu Li tidak menjawab, hanya tangannya yang mengepal kuat. Setelah itu, dia kembali ke kamar Shen Liu Zi. Masih juga tidak mengatakan apapun, bahkan wajahnya tampak jelek seperti awan mendung. Shen Liu Zi bertanya, “Sudah?” Yu Li hanya bergumam singkat. Sebagai orang yang mengenal Yu Li selama bertahun-tahun, Shen Liu Zi langsung sadar ada yang tidak beres. “Dia tidak di kamar?” tanya Shen Liu Zi kembali. Barulah Yu Li mengangguk, tapi tak mengatakan kemana jenderal pergi. Shen Liu Zi mengangguk. “Tidak apa-apa, kita cari tabib sendiri.” Yu Li agak terkejut. “Nyonya! Di kediaman Shen, kita bahkan tak pernah mengundang Tabib sendiri meski kamu sakit parah sekalipun!” Dada Yu Li terasa sesak, oksigen seakan kesulitan masuk. Shen Liu Zi tak berkomentar. Dalam keadaan menggigil hebat, wanita itu memaksa diri menyingkap selimut. Tanpa banyak kata, dia menuruni tempat tidur, melangkah hati-hati meninggalkan kamar. Yu Li mengekor. Hatinya menjerit ingin menangis. Namun, entahlah. Air mata seperti kering di pelupuk. Hingga akhirnya mereka keluar kediaman .... “Nyonya! Kediaman Jenderal jauh dari keramaian, rumah tabib entah di sebelah mana, hari sudah gelap, bagaimana kalau aku sendiri saja yang pergi,” usul Yu Li. Shen Liu Zi menoleh tersenyum. “Justru karena itu, aku tidak bisa membiarkan kamu pergi sendiri.” Yu Li. “...” Shen Liu Zi pikir hujan akan kembali turun, langkahnya terhenti, dia berbalik memerintah, “Yu Li, minta pelayan menyiapkan kereta.” “Baik.” Yu Li secepatnya mencari pelayan, tapi begitu ketemu. “Ahh, kereta yah. Sayang sekali, rodanya sedang rusak, sedang dalam perbaikan, jadi tidak bisa digunakan dalam waktu dekat ini,” dalih si pelayan. Yu Li tersenyum kaku. Firasatnya mengatakan, pengakuan pelayan itu palsu. “Jika kamu mau memanggil Tabib sendiri, silahkan undang Tabib keluarga Shang. Rumahnya ada di sudut gang dari desa sebelah.” Kali ini Yu Li percaya. Dia secepatnya kembali menghadap Shen Liu Zi. Sayangnya wanita itu sudah tergeletak tak sadarkan diri!Besoknya. Jenderal Shang beberapa waktu lalu pergi ke pertemuan rutin di istana, dan dengan langkah hati-hati bak maling kecil, Shen Liu Zi memasuki kamar pria itu. Ck! Begitu masuk, mulutnya langsung berdecak. Dia tidak heran jika kamar laki-laki tidak memiliki banyak perabotan, tetapi kamar jenderal ini bukan hanya tidak memiliki banyak perabotan, melainkan hanya ada satu tempat tidur, serta satu meja berisi tumpukan buku. Dua perabot itu saja! Membuat Shen Liu Zi tak habis pikir, tapi sekaligus mempermudah pencariannya. Ya. Wanita itu datang tidak sekedar bermain-main. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan dia mulai bergerak dari meja baca di sisi kiri kamar. Di meja itu ada banyak tumpukan buku, kertas serta satu set kuas juga tintanya. Shen Liu Zi pikir, jenderal Shang mungkin pernah melukis wajah Chu Qiao. Dia membuka tiap buku yang diambil, membolak-balikan lembaran kertas yang ada. Sayangnya, hampir sebagian buku dia buka, tak dia temukan satupun wajah seorang
Yu Li terlonjak panik. “Nyonya!” serunya nyaris parau. Tubuh Shen Liu Zi terasa dingin ketika dipeluk, napasnya terputus-putus, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tidak! Tidak boleh begini!” Yu Li mengguncang pelan bahu junjungannya itu, tetapi kelopak mata itu tetap tertutup rapat. Angin malam menyusup lewat celah pintu, membawa hawa lembab bekas hujan yang menusuk tulang. Yu Li menatap ke luar sebentar, lalu menggigit bibir kuat-kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tubuh Shen Liu Zi ke punggungnya sendiri, membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Langkah Yu Li goyah, tapi tekadnya kuat. Selesai membaringkan Shen Liu Zi di tempat tidur, Yu Li tergesa-gesa keluar. Setiap kali kakinya menapak tanah licin di halaman, rasa takut makin menyesak dada. Bukan takut pada kegelapan, melainkan takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah memperlakukannya seperti keluarga. Hujan kembali turun, pelan tapi tak henti. Yu Li setengah berlari, setengah terhuyung, menembus lor
Musim semi cenderung lebih hangat, tetapi hujan turun lebih sering. Di dalam kamar yang remang, suara rintik di luar terdengar lembut, menimpa genting dengan irama lambat. Asap tipis dari dupa di sudut ruangan membubung, bergulung pelan seperti napas yang menahan lelah. Shen Liu Zi duduk sendirian di depan meja rendah. Di hadapannya, mangkuk daging domba pedas manis masih mengepulkan uap harum. Tangannya terulur, menggenggam sumpit perlahan. Ujung jarinya bergetar. Gerakan kecil saja sudah membuat rasa nyeri menjalar dari bahu ke punggung. Luka cambuk yang belum mengering itu menegang setiap kali dia mencoba mengangkat lengan! Sumpit nyaris menyentuh daging, tapi kekuatan di jari-jari itu lenyap. Trak! Sumpit terjatuh, dia menatapnya jengkel. Dia kelaparan, energinya seakan terkuras habis, karena cambukan Shang Xiwu. Yu Li belum terlihat. Kali terakhir datang hanya mengantarkan semangkuk daging, sekaligus minta izin keluar sebentar. Sampai sekarang belum kembali. Lal
Cambuk pertama menghantam punggung Shen Liu Zi tanpa ampun. Cetar! Shen Liu Zi. “...” Tubuh Shen Liu Zi menegang, pekikannya tertahan di tenggorokan. Cetar! Cambukan kedua meluncur. Kali ini membuat tubuhnya sedikit goyah, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. Dingin, keras kepala, menolak tunduk! “Beraninya kamu tidak patuh di kediaman Jenderal Shang!” bentak Shang Xiwu, mengangkat cambuknya lagi. Cetar! Cambuk kedua mendarat lebih keras dari sebelumnya. Kain tipis di punggung Shen Liu Zi robek, menyingkap garis merah yang perlahan menggelap. Yu Li, yang berlutut tak jauh dari situ, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, matanya berkaca-kaca. “Nyonya Ketiga! Tolong maafkan Nyonya Shen!” Pelayan kecil itu bukan hanya memohon pengampunan untuk nyonya nya, tetapi juga lekas melindunginya dari belakang. Cetar! “Diam!” hardik Shang Xiwu sambil tetap mencambuk alhasil mengenai Yu Li, “kamu pembantu, bukan juru bicara!” Shen Liu Zi yang tadinya bersikap angku
Di pusat kota, suasana bagaikan lukisan hidup. Suara pedagang bersahutan dengan teriakan bocah yang berlari-lari membawa layang-layang kertas, serta ada pula yang membawa permen tang hu lu. Aroma manisan, minyak wijen, dan bunga kering bercampur di udara. Shen Liu Zi dan Yu Li berjalan di tengah keramaian itu, wajah keduanya tersembunyi di balik tudung tipis, tapi tawa mereka pelan terkendali, seperti dua gadis yang tahu betul sedang bermain api. “Lihat, Nyonya!” seru Yu Li lirih sambil menunjuk ke arah kiri, “gelang gioknya bagus sekali, lihat kilauannya!” Shen Liu Zi menoleh. Di balik rak kayu jati, seorang penjaga toko sedang memperlihatkan gelang hijau muda yang memantulkan cahaya matahari. Dia mendekat dengan langkah santai, mengamati seolah sedang menilai karya seni. “Berapa ini?” tanyanya lembut. “Dua tael per gelang, Nyonya,” jawab si penjaga toko. Shen Liu Zi menatapnya sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Dua tael untuk giok yang bahkan tak sepadan dengan kaca di k
Brak! Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Shen Liu Zi bersandar di daun pintu, matanya terpejam rapat. Napasnya naik-turun, bukan karena berlari, tapi karena amarah yang mendidih di dada bercampur rasa malu yang menyesakkan. Suara sendok, tawa pelan, dan ejekan samar dari aula tadi masih bergema di telinga, seperti setiap detiknya bagaikan jarum halus yang menusuk pelan-pelan ke dalam kulit. Dia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang yang terdengar getir. Tangannya yang masih berbalut kain putih perlahan menekan dada. Dia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berlari seperti hendak keluar dari tubuh. “Suami macam apa itu,” berangnya pelan, hampir tanpa suara. Shen Liu Zi lantas tanpa sengaja melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Bayangan itu tampak begitu pucat, matanya merah karena menahan emosi. “Benar-benar seperti anak singkong di tengah perkumpulan apel merah,” ujarnya lirih, miris, “tidak ada yang lebih memalukan dari in







