LOGINYu Li terlonjak panik.
“Nyonya!” serunya nyaris parau. Tubuh Shen Liu Zi terasa dingin ketika dipeluk, napasnya terputus-putus, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tidak! Tidak boleh begini!” Yu Li mengguncang pelan bahu junjungannya itu, tetapi kelopak mata itu tetap tertutup rapat. Angin malam menyusup lewat celah pintu, membawa hawa lembab bekas hujan yang menusuk tulang. Yu Li menatap ke luar sebentar, lalu menggigit bibir kuat-kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tubuh Shen Liu Zi ke punggungnya sendiri, membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Langkah Yu Li goyah, tapi tekadnya kuat. Selesai membaringkan Shen Liu Zi di tempat tidur, Yu Li tergesa-gesa keluar. Setiap kali kakinya menapak tanah licin di halaman, rasa takut makin menyesak dada. Bukan takut pada kegelapan, melainkan takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah memperlakukannya seperti keluarga. Hujan kembali turun, pelan tapi tak henti. Yu Li setengah berlari, setengah terhuyung, menembus lorong panjang hingga akhirnya tiba di ujung desa sebelah. Di sanalah rumah Tabib yang disebutkan pelayan tadi berdiri, rumah kecil dengan lampu minyak di beranda, bergoyang tertiup angin. Tok! Tok! Tok! “Tabib! Tolong buka pintunya! Ada yang sakit parah!” Beberapa detik sunyi, sebelum suara langkah berat terdengar mendekat dari dalam. Pintu terbuka, menampakkan sosok lelaki paruh baya dengan jubah lusuh dan rambut yang berantakan karena baru bangun. “Siapa yang sakit?” Yu Li menahan tangis. “Nyonya saya, Shen Liu Zi.” Begitu mendengar nama itu, ekspresi tabib berubah. Tatapannya tajam sesaat, entah karena terkejut atau ada sesuatu yang dia tahu. Namun, tanpa bertanya lagi, dia mengambil tas obat dan mengikuti Yu Li. Ketika mereka kembali ke kediaman, udara di kamar Shen Liu Zi sudah penuh aroma minyak gosok dan dupa. Tabib segera bekerja tanpa banyak bicara. Dia memeriksa denyut nadi, membuka perban di bahu wanita itu, dan saat melihat bekas cambuk di punggung, matanya menggelap. “Luka ini tidak dirawat dengan benar, dan tubuhnya terkena angin malam. Jika terlambat sedikit saja, akibatnya bisa fatal,” suara tabib terdengar seperti menahan nafas. Yu Li menunduk, bahunya bergetar. “Tolong, selamatkan beliau, Tabib.” Tabib hanya mengangguk. Dia meracik obat, mengoleskan ramuan hangat berwarna kecokelatan ke luka, lalu menyiapkan rebusan pahit untuk diminum. Sementara itu, di halaman belakang .... Jenderal Shang Que masih berlutut di depan papan arwah yang basah oleh embun. Hujan baru saja reda, tapi genangan air di sekelilingnya memantulkan bayangan tubuhnya yang kaku. Cahaya lentera di dekat papan arwah memantulkan tulisan samar, Chu Qiao. Tangannya menggenggam dupa yang hampir habis terbakar. Namun tiba-tiba, langkah tergesa dari arah koridor terdengar. “Jenderal!” seru pelayan muda, “Tabib datang ke kamar Nyonya Shen! Beliau jatuh pingsan!” Untuk pertama kalinya malam itu, ekspresi jenderal Shang Que berubah. Dia menatap papan arwah beberapa detik, lalu bangkit perlahan, menaruh dupa terakhir di tempatnya, dan berbalik. Hujan menetes lagi, kali ini seolah mengiringi langkahnya menuju kamar Shen Liu Zi. Ketika pintu kamar dibuka, aroma obat segera menyeruak. Shen Liu Zi terbaring pucat di atas ranjang, dengan peluh dingin di dahi, dan tabib sedang menatap nadi pergelangan tangannya. Yu Li menunduk dalam, tapi tidak menyapa. Jenderal Shang Que berdiri di ambang pintu, tak bersuara. Tatapannya lama berhenti pada wajah Shen Liu Zi, sebelum beralih ke tabib. “Bagaimana keadaannya?” Tabib menatap sang jenderal dengan nada tegas. “Dia harus beristirahat total. Luka cambuknya meradang dan tubuhnya demam. Jika tidak dijaga baik-baik, luka itu bisa membusuk.” Ruangan mendadak hening. Shang Que memejamkan mata sebentar, sebelum berkata rendah, “Kamu boleh pergi. Sisanya biar aku urus.” Tabib menatap Yu Li sejenak, lanjut mengemasi peralatannya dan mundur keluar. Begitu pintu tertutup, hanya tersisa mereka bertiga; Shang Que, Yu Li, dan Shen Liu Zi yang masih tak sadarkan diri. Yu Li ingin bicara, tapi tertahan ketika mendengar suara lembut tapi dingin dari jenderal. “Keluar dulu.” Nada suaranya tidak keras, tapi tidak memberi ruang untuk membantah. Yu Li menunduk, menatap sebentar ke arah tuannya yang pucat, lantas melangkah mundur perlahan dan menutup pintu dari luar. Kini hanya ada suara napas lirih Shen Liu Zi, dan desiran hujan yang kian lembut di luar jendela. Jenderal Shang Que mendekat. Tangannya terulur perlahan, mengusap pelipis Shen Liu Zi, menyibak beberapa helai rambut yang menempel karena keringat. Pandangan matanya redup. Entah karena rasa bersalah, atau karena bayangan masa lalu yang belum benar-benar hilang. Sampai akhirnya pria itu berbalik keluar. Menghampiri Yu Li yang berdiri di pojokan, dengan kepala tertunduk, ada letih sekaligus kesal di wajahnya. Jenderal menghampiri, dan berkata dingin. “Kamu tidak punya mulut untuk melaporkan.” Pandangan Yu Li terangkat. “Jenderal sedang sibuk mendoakan mendiang kekasih, aku mana berani mengganggu.” Kata-kata itu penuh cibiran! Luapan kekesalan! Jenderal bergeming, menatapnya begitu dingin sekaligus tajam. Tak ada ketakutan sedikitpun di wajah Yu Li. Pelayan kecil ini memang punya nyali. “Meski begitu,” sambung jenderal tapi berhenti sesaat dan dilanjutkan, “di masa depan, sesuatu apapun yang terjadi pada Shen Liu Zi, segera laporkan padaku meski aku sedang berdoa atau tidur sekalipun.” Yu Li tak menanggapi. Jenderal Shang juga tak perlu tanggapannya. Pria ini sudah seperti balok es berjalan. Dia tidak kembali melihat keadaan Shen Liu Zi, melainkan pergi, hilang di balik ruangan. Yu Li menghentak kaki jengkel. “Ini salah Nyonyaku sendiri! Bisa-bisanya mau menikah dengan batu kutub utara seperti dia!” Tanpa Yu Li tahu, Shen Liu Zi di dalam sejak awal mendengar karena sudah siuman. Dia terkekeh tanpa suara, tidak tahu menertawakan diri sendiri atau kejengkelan Yu Li. Namun, satu yang mengganggu dalam pikirannya. Jenderal Shang terlalu sering ke makam Chu Qiao! “Secantik apa wanita itu?” Shen Liu Zi jadi penasaran. Brak! Pintu mendadak dibuka kasar. Yu Li berdiri di ambang pintu masih dengan wajah jengkel. “Nyonya! Pernikahan kamu dan Jenderal baru beberapa hari! Daripada tersiksa seumur hidup, cepat ceraikan saja batu kutub utara itu!”Besoknya. Jenderal Shang beberapa waktu lalu pergi ke pertemuan rutin di istana, dan dengan langkah hati-hati bak maling kecil, Shen Liu Zi memasuki kamar pria itu. Ck! Begitu masuk, mulutnya langsung berdecak. Dia tidak heran jika kamar laki-laki tidak memiliki banyak perabotan, tetapi kamar jenderal ini bukan hanya tidak memiliki banyak perabotan, melainkan hanya ada satu tempat tidur, serta satu meja berisi tumpukan buku. Dua perabot itu saja! Membuat Shen Liu Zi tak habis pikir, tapi sekaligus mempermudah pencariannya. Ya. Wanita itu datang tidak sekedar bermain-main. Dia tahu apa yang harus dilakukan, dan dia mulai bergerak dari meja baca di sisi kiri kamar. Di meja itu ada banyak tumpukan buku, kertas serta satu set kuas juga tintanya. Shen Liu Zi pikir, jenderal Shang mungkin pernah melukis wajah Chu Qiao. Dia membuka tiap buku yang diambil, membolak-balikan lembaran kertas yang ada. Sayangnya, hampir sebagian buku dia buka, tak dia temukan satupun wajah seorang
Yu Li terlonjak panik. “Nyonya!” serunya nyaris parau. Tubuh Shen Liu Zi terasa dingin ketika dipeluk, napasnya terputus-putus, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tidak! Tidak boleh begini!” Yu Li mengguncang pelan bahu junjungannya itu, tetapi kelopak mata itu tetap tertutup rapat. Angin malam menyusup lewat celah pintu, membawa hawa lembab bekas hujan yang menusuk tulang. Yu Li menatap ke luar sebentar, lalu menggigit bibir kuat-kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tubuh Shen Liu Zi ke punggungnya sendiri, membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Langkah Yu Li goyah, tapi tekadnya kuat. Selesai membaringkan Shen Liu Zi di tempat tidur, Yu Li tergesa-gesa keluar. Setiap kali kakinya menapak tanah licin di halaman, rasa takut makin menyesak dada. Bukan takut pada kegelapan, melainkan takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah memperlakukannya seperti keluarga. Hujan kembali turun, pelan tapi tak henti. Yu Li setengah berlari, setengah terhuyung, menembus lor
Musim semi cenderung lebih hangat, tetapi hujan turun lebih sering. Di dalam kamar yang remang, suara rintik di luar terdengar lembut, menimpa genting dengan irama lambat. Asap tipis dari dupa di sudut ruangan membubung, bergulung pelan seperti napas yang menahan lelah. Shen Liu Zi duduk sendirian di depan meja rendah. Di hadapannya, mangkuk daging domba pedas manis masih mengepulkan uap harum. Tangannya terulur, menggenggam sumpit perlahan. Ujung jarinya bergetar. Gerakan kecil saja sudah membuat rasa nyeri menjalar dari bahu ke punggung. Luka cambuk yang belum mengering itu menegang setiap kali dia mencoba mengangkat lengan! Sumpit nyaris menyentuh daging, tapi kekuatan di jari-jari itu lenyap. Trak! Sumpit terjatuh, dia menatapnya jengkel. Dia kelaparan, energinya seakan terkuras habis, karena cambukan Shang Xiwu. Yu Li belum terlihat. Kali terakhir datang hanya mengantarkan semangkuk daging, sekaligus minta izin keluar sebentar. Sampai sekarang belum kembali. Lal
Cambuk pertama menghantam punggung Shen Liu Zi tanpa ampun. Cetar! Shen Liu Zi. “...” Tubuh Shen Liu Zi menegang, pekikannya tertahan di tenggorokan. Cetar! Cambukan kedua meluncur. Kali ini membuat tubuhnya sedikit goyah, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. Dingin, keras kepala, menolak tunduk! “Beraninya kamu tidak patuh di kediaman Jenderal Shang!” bentak Shang Xiwu, mengangkat cambuknya lagi. Cetar! Cambuk kedua mendarat lebih keras dari sebelumnya. Kain tipis di punggung Shen Liu Zi robek, menyingkap garis merah yang perlahan menggelap. Yu Li, yang berlutut tak jauh dari situ, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, matanya berkaca-kaca. “Nyonya Ketiga! Tolong maafkan Nyonya Shen!” Pelayan kecil itu bukan hanya memohon pengampunan untuk nyonya nya, tetapi juga lekas melindunginya dari belakang. Cetar! “Diam!” hardik Shang Xiwu sambil tetap mencambuk alhasil mengenai Yu Li, “kamu pembantu, bukan juru bicara!” Shen Liu Zi yang tadinya bersikap angku
Di pusat kota, suasana bagaikan lukisan hidup. Suara pedagang bersahutan dengan teriakan bocah yang berlari-lari membawa layang-layang kertas, serta ada pula yang membawa permen tang hu lu. Aroma manisan, minyak wijen, dan bunga kering bercampur di udara. Shen Liu Zi dan Yu Li berjalan di tengah keramaian itu, wajah keduanya tersembunyi di balik tudung tipis, tapi tawa mereka pelan terkendali, seperti dua gadis yang tahu betul sedang bermain api. “Lihat, Nyonya!” seru Yu Li lirih sambil menunjuk ke arah kiri, “gelang gioknya bagus sekali, lihat kilauannya!” Shen Liu Zi menoleh. Di balik rak kayu jati, seorang penjaga toko sedang memperlihatkan gelang hijau muda yang memantulkan cahaya matahari. Dia mendekat dengan langkah santai, mengamati seolah sedang menilai karya seni. “Berapa ini?” tanyanya lembut. “Dua tael per gelang, Nyonya,” jawab si penjaga toko. Shen Liu Zi menatapnya sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. “Dua tael untuk giok yang bahkan tak sepadan dengan kaca di k
Brak! Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, Shen Liu Zi bersandar di daun pintu, matanya terpejam rapat. Napasnya naik-turun, bukan karena berlari, tapi karena amarah yang mendidih di dada bercampur rasa malu yang menyesakkan. Suara sendok, tawa pelan, dan ejekan samar dari aula tadi masih bergema di telinga, seperti setiap detiknya bagaikan jarum halus yang menusuk pelan-pelan ke dalam kulit. Dia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang yang terdengar getir. Tangannya yang masih berbalut kain putih perlahan menekan dada. Dia bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berlari seperti hendak keluar dari tubuh. “Suami macam apa itu,” berangnya pelan, hampir tanpa suara. Shen Liu Zi lantas tanpa sengaja melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Bayangan itu tampak begitu pucat, matanya merah karena menahan emosi. “Benar-benar seperti anak singkong di tengah perkumpulan apel merah,” ujarnya lirih, miris, “tidak ada yang lebih memalukan dari in







