Callista menoleh, ia segera bangkit dari sofa dan tersenyum lebar melihat kedatangan Rudi. Tentu dia tidak sabar membahas bagaimana rencana keberangkatan mereka besok. Callista sudah cukup bosan di unit ini! Sangat bosan sekali. "Kenapa?" Tanya Rudi dengan alis berkerut. Senyum lebar yang tergambar di wajah Callista sontak lenyap. Ia mengerucutkan bibir lalu kembali menjatuhkan tubuh di atas sofa. "Katanya tadi mau bahas rencana besok berangkat mudiknya. Aku nungguin dari tadi, Mas!" Desis Callista dengan wajah cemberut. Nampak Rudi ikut tersenyum, meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk di sofa yang tak jauh dari tempat Callista duduk. Callista menoleh, nampak wajah itu tengah mengamatinya. Senyum tipis di wajah itu membuat Rudi terlihat begitu indah dan enak dilihat. "Jadi, kamu serius mau ikut pulang?"Mata Callista melotot, jadi rengekan lewat sambungan telepon tadi masih membuat Rudi meragukan niatnya untuk ikut Rudi mudik? Astaga! "Mas, aku serius!" Tegas Callista dengan
Rudi melepaskan tautan bibir mereka setelah sepersekian detik bibir mereka beradu. Mata mereka begitu dekat, saking tatap tanpa sekalipun berkedip. Rudi kini bisa sedikit bernapas setelah beberapa detik yang lalu dia hampir kehabisan napas. "Bilang apa kamu tadi, Ta?" Tanya Rudi lirih, ia belum mau menjauhkan wajah. Jemarinya mengelus lembut bibir yang masih mengkilap basah itu. "Harusnya aku yang tanya ke kamu, Mas. Punya power apa kamu sampai-sampai aku bisa secepat ini luluh?"Rudi tidak menjawab, ia hendak menjauhkan wajah ketika tangan Callista malah melingkar ke lehernya. Menekan kepala Rudi agar Callista kembali meraih bibirnya dengan begitu lembut. Bibir mereka kembali bertaut, nampak tangan Callista bergitu posesif mempertahankan kepala Rudi semata-mata agar dia bisa dengan mudah menikmati bibir itu. Hingga pada detik selanjutnya, Rudi melepaskan bibir mereka, tangannya melepaskan tangan Callista yang menahan kepalanya. "Sudah malam, cepat tidur. Kita berangkat pagi-pagi
"Jangan lupa Dod, kirim terus follow up kamu ke saya. Saya bakal pantau terus!" Titah Arga pada salah satu residennya. "Baik siap, Dokter!" Dody, residen jantung tahun ke 3 itu mengangguk dengan mantab, mana bisa dia menolak perintah yang sudah Arga berikan kepadanya? "Ingat, awasi betul-betul. Kalau sampai kenapa-kenapa kita berdua juga yang kena, Dod!" Tegas Arga mengingatkan residennya itu. "Saya mengerti, Dokter."Arga mengangguk, menepuk pundak residennya itu. Ia lantas melangkahkan kaki keluar dari IGD. Resiko jadi dokter seperti ini! Tengah malam pun kalau mereka diperlukan, mereka harus datang! Dan itu yang Arga lakukan sekarang. Arga hendak melangkahkan kaki menuju mobilnya ketika sudut matanya menatap sosok itu. Gadis itu nampak mengenakan jaket pink dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat tinggi-tinggi, membuat wajah itu terlihat jelas begitu menggemaskan di mata Arga. "Key?" sapa Arga yang entah dari mana keberanian itu datang. Tapi apa salahnya? Dia dokter ayah ga
Arga menyusut air matanya, memaksakan diri tersenyum sambil menghela napas panjang-panjang. Kepalanya lantas menggeleng. Berusaha meyakinkan Kezia bahwa tidak ada hal penting dibalik lelehan air matanya. "Saya nggak yakin kalau Dokter baik-baik saja." Gumam suara itu lirih. "Lelaki biasanya paling jago menyembunyikan apa yang dia rasa. Menutupi kesedihannya, kalau sampai dia lantas menitikkan air mata, itu tandanya ada sesuatu."Arga terkekeh, entah keberanian dari mana tangan Arga lantas terulur dan mengacak gemas rambut Kezia. Macam mereka sudah kenal saja, dan sungguh itu semua di luar kendali Arga! "Agaknya pacar kamu banyak nih? Tau banget soal itu?" Goda Arga yang jujur juga merasa terkejut kenapa tangannya bisa seberani itu menyentuh Kezia. Kini tawa Kezia pecah, "Nggak! Saya belum berani pacaran malah. Saya bisa tau dari ayah, Dok. Ayah sering cerita dan bilang ke saya kalau sampai ayah itu nangis, artinya dia benar-benar udah nggak bisa lagi menyembunyikan perasaan dan mas
"Kamu semangat ya, Sayang. Aku balik duluan. Besok aku yang jemput karena Rudi udah balik kampung." Morgan tersenyum, tangannya mengelus pipi Clara dengan begitu lembut. Clara hanya mengangguk pelan, ia berdiri di depan pintu IGD yang untungnya malam ini aman. Morgan mengulurkan tangan, memberi kode Clara agar mencium tangannya seperti biasa. "Makasih, Sayang. Kamu hati-hati di jalan."Morgan tersenyum, ia lantas mendapatkan kecupan di puncak kepala Clara. Segera ia membalikkan badan, melangkah menuju di mana mobilnya berada. Morgan hendak masuk ke dalam mobilnya ketika kemudian ia melihat mobil itu berhenti. Itu kan .... Morgan bersembunyi di salah satu sisi mobil, itu mobil Arga! Untuk apa dia kemari? Ah ... Morgan lupa, ini rumah sakit! Arga dokter dan dia bekerja di sini. Jadi sudah jelas apa alasan yang membuat Arga lantas kemari. "Mau apa dia? Agaknya aku harus pastikan dulu!" Ujar Morgan para dirinya sendiri. Benar saja! Arga nampak keluar dari mobil dan yang lebih mengej
"Ta, bangun! Jadi mau ikut, kan?"Callista mengerjapkan mata, terlebih dia merasakan ada tangan yang membelai lembut pipinya. Ia dengan susah payah berusaha untuk segera membuka matanya. Benar saja! Sosok itu sudah duduk di tepi ranjang, pakaiannya sudah rapi dengan atasan polo dan celana jeans. "Jam berapa?" Tanya Callista lalu bangkit dan duduk. Matanya masih terasa begitu berat. Satu tangan menutup mulutnya yang menguap. "Jam lima. Tapi bukanlah aku sudah bilang kemarin kalau kita akan berangkat pagi sekali?" Senyum Rudi mengembang, membuat mata Callista auto melek seketika. "Kupikir aku masih bisa bangun barang beberapa jam nanti." desis Callista dengan tangan mengucek kedua mata. "Mandilah. Sarapan sudah siap, aku tunggu di depan!" Rudi bangkit, menjatuhkan kecupan di puncak kepala Callista. Sebuah kecupan yang lembut dan sedikit lama. Kecupan yang membuat Callista hampir terlonjak kaget. "Mandinya cepetan, oke?" Rudi mengelus pipi Callista dengan lembut. Melangkah keluar d
Arga begitu bersemangat melangkahkan kaki ke ruangan itu pagi ini. Padahal biasanya dia berangkat mepet dengan jam buka poli, tetapi kali ini ... Ada power yang luar biasa kuat yang membuat Arga dengan begitu semangat datang pagi-pagi sekali. Arga sudah pakai parfum terbaik favoritnya. Setelah scrub dan snelli dia pipih yang paling rapi setrikaannya. Rambut dia sisir rapi dengan pomade aroma kopi. Ah ... Dia jadi balik macam remaja kasmaran begini! Dan semua itu karena Kezia! Arga menghentikan kakinya di depan pintu ruangan itu. Mematut sejenak pantulan dirinya di kaca pintu lalu menekan pintu itu. Bisa dia lihat, gadis yang membuat jiwanya kembali muda tengah duduk sambil menggenggam tangan sang ayah yang terbaring di atas ranjang. "Selamat pagi, Pak, Key. Bagaimana sudah siap?" Sapa Arga ramah seraya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. "Selamat pagi Dokter Arga." Jawab Joko dengan senyum ramahnya. "Ya siap nggak siap harus tetap siap, kan, Dok?"Arga mengangguk, senyum itu
"Kalo capek, aku nanti yang setir, Mas."Callista sudah duduk di jok depan. Masker dan kacamata sudah bertengger di wajahnya, antisipasi kalau ada orang yang kenal dengan dirinya tahu keberadaan dia sekarang. Mobil milik Rudi sudah menyusuri jalanan perkotaan, hendak masuk ke tol dan lanjut perjalanan menuju kampung halaman Rudi. "Santai, Sayang. Tidurku semalam nyenyak kok."Sebuah jawaban singkat yang hampir membuat Callista melonjak terkejut. Dia tidak salah dengar, kan? Rudi memanggilnya sayang? Callista menoleh menatap Rudi dengan mulut sedikit terbuka."Apa?" Tanya Rudi yang sadar diperhatikan sampai sebegitunya oleh Callista. "Kau baik-baik saja, kan, Mas?" Tanya Callista tanpa tedeng aling-aling. Mata Rudi membelalak. Ia kembali fokus pada jalanan di depan sambil menghirup udara banyak-banyak. Sementara Callista? Masih melongo menatap Rudi dan menantikan jawaban dari pertanyaannya barusan. "Wanita itu memang sulit dimengerti, ya?" Desisnya sambil tersenyum masam. "Katanya