Clara menyingkirkan lengan kokoh itu dari atas tubuhnya. Tampak wajah itu begitu pulas tertidur. Agaknya pelayanan Clara semalam sangat memuaskan dirinya. Terbukti laki-laki itu sekarang tidur begitu pulas macam bayi baru lahir.
Clara berusaha bangkit, pangkal pahanya terasa begitu pedih. Bagaimana tidak? Arga tidak hanya minta satu kali, entah berapa kali semalam ia harus menjadi budak pemuas laki-laki itu, Clara sampai tidak mau menghitungnya.
“Ga, kamu nggak pulang?” sekali lagi sebuah bahasa pengusiran, kalau Arga mau sedikit saja sadar diri, namun Arga terkesan masa bodoh dan tidak peduli.
Tubuh itu tidak bereaksi, membuat Clara lantas mengguncang lengan kokoh itu agar mau bangun dan segera pulang. Sebodoh amat apartemen ini dia yang membelikan, toh Clara tidak meminta Arga membelikan dia apartemen, bukan?
“Ga ... ini sudah pagi, kamu tidak pulang?” kembali hal itu yang Clara tanyakan. Kali ini lebih keras dan dengan guncangan sedikit kuat, membuat akhirnya tubuh itu bereaksi.
“Jam berapa sih, Sayang? Ribut amat!” tampak Arga menguap, ia belum membuka matanya, namun Clara tahu dia sudah kembali terjaga.
“Jam lima,” Clara menyingkap selimut, menampilkan tubuh polos mereka berdua. “Kamu harus segera pulang dan bersiap kerja.”
Arga sontak bangkit, duduk dan menguap sejenak. Mencoba mengembalikan separuh nyawa dan bersiap untuk memulai semua aktivitas hariannya. Arga menguap sekali lagi, ketika kemudian dari sudut matanya ia menangkap blister obat itu di atas nakas Clara.
"Kau masih meminum itu?" tanya Arga dengan sorot mata tajam.
Clara mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi, memamerkan bukit kembarnya yang langsung membuat diri Arga merespon seketika, namun sayang sekali blister obat yang tertangkap oleh mata Arga membuat dia mengabaikan hasrat itu.
"Tentu, aku tidak ingin mengambil resiko." jawab Clara santai, sengaja memancing emosi Arga karena dia tahu, Arga tidak suka melihat Clara melakukan itu.
Arga mendengus kesal, mengusap kasar wajahnya lantas menatap Clara dengan tatapan kesal. "Apakah mengandung anakku adalah sebuah resiko untukmu?" tanya Arga gusar.
"Ya, selama kita belum menikah dan hubungan kita masih seperti ini, itu akan menjadi resiko."
Arga tidak berkata-kata lagi, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Wajahnya tampak sangat kesal. Sudah tiga tahun mereka berhubungan dan Clara selalu menenggak pil-pil itu, meskipun Arga sudah memohon agar Clara mau berhenti meminumnya dan mau hamil buah cinta mereka, namun Clara bersikeras menolak
Arga mencuci wajahnya, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu tampan lebih segar, tentu saja, kenikmatan dunia yang Clara suguhkan untuk Arga semalam sungguh memabukkan. Seandainya dia tidak harus dinas ke rumah sakit, Arga rasanya ingin kembali mengulang aktivitas itu. Menjelajahi gelombang dan riak nikmat itu bersama Clara.
Mata Arga sontak menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, cincin pernikahannya dengan Indira. Seandainya Clara yang diajak bertukar cincin, tentu hidup Arga akan sangat bahagia sekali. Namun sayang, bukan Clara yang dia nikahi.
"Sampai kapan kamu mau bertahan, In?" Arga benar-benar tidak mengerti.
Dia sudah berusaha sekuat tenaga membuat ulah agar Indira jenuh dan memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai, tapi wanita itu masih kekeuh bertahan! Dia masih berdiri tegak di dalam biduk rumah tangga yang sebenarnya tidak berpondasi sama sekali.
Bisa saja Arga yang mengajukan gugatan itu, tapi itu akan berakibat fatal! Papanya akan melakukan segala cara untuk menggagalkan keinginan Arga, dan jangan lupa, hukuman apa yang entah akan Arga dapatkan.
Indira menantu idaman sang papa! Kekayaan keluarga Indira membuat papanya begitu bersikeras bahwa hanya Indira lah yang pantas menyandang gelar sebagain menantunya, isteri dari Arga Yoga Saputra.
"Ga, mau aku buatkan sarapan? Atau mau sarapan di rumah?" Clara mengetuk pintu kamar mandi, membuat Arga tersadar dari lamunannya.
Sarapan?
Sebenarnya Arga mau dan sangat ingin sarapan di sini, hanya saja dia sudah terlanjur kesal pada Clara, pada kondisi mereka saat ini, pada nasibnya!
"Aku sarapan di rumah saja!" balas Arga lantas menyalakan shower dan mulai membasuh tubuhnya.
Jujur Arga sudah sangat ingin punya anak, dan ia ingin hanya dari rahim Clara dia mendapatkan keturunan. Tapi Clara bersikeras tidak akan mau hamil sebelum Arga menikahi dia secara resmi.
"Ra, apakah hamil anakku sebuah hal yang begitu memberatkan untukmu?"
***
Indira tengah memoles cushion di wajahnya ketika Arga sang suami masuk ke dalam kamar mereka. Rambutnya masih tampak basah, membuat Indira menghela nafas panjang."Wangi sekali shampo rumah sakit, aku suka baunya." ujar Indira sengaja memancing reaksi Arga.
"Sayangnya ini bukan shampo rumah sakit!" balas Arga singkat sambil membuka lemari dan menarik satu stell scrub untuk dia pakai.
Indira menoleh, menatap sang suami dengan tatapan pedih. Indira tahu dia berselingkuh! Sangat tahu! Sang suami selalu terang-terangan mengatakan dan menunjukkan penyelewengan yang dia lakukan, meskipun sampai sekarang Indira tidak tahu wanita mana yang menjadi simpanan sang suami.
"Tidur di mana semalam?" Indira tidak perlu menanyakan hal itu sebenarnya, karena ujungnya hanya akan melukai perasan dan hatinya, tapi entah mengapa ia ingin sekali menanyakan hal itu.
"Tidak perlu aku jawab kamu pasti sudah tahu." jawabnya santai sambil memakai atasan scrub-nya.
"Kamu lebih memilih berzina dan menumpuk dosa daripada menggauli isterimu yang sudah jelas halal dan sah kau setubuhi, Mas?" sungguh Indira sudah tidak sanggup lagi, dia sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami.
Arga menoleh, menatap sang isteri dengan tatapan mengejek. Senyum sinis tergambar di wajah itu, membuat dada Indira makin sesak luar biasa. Mata Indira sontak memanas, berkaca-kaca dan siap meledakkan tangis.
"Sudahlah, perjanjian awal kita adalah jangan pernah urusi urusanku, dan jangan lupa bahwa aku tidak pernah mengurusi urusanmu!"
"Tapi aku in-."
"Apa?" potong Arga cepat. "Tidak Terima? Ajukan saja ke pengadilan, biar aku tanda tangan!"
Arga tidak berkata-kata lagi, ia segera melangkah keluar dari kamar. Meninggalkan Indira yang terpekur di meja riasnya. Tangis Indira sontak pecah, tidak peduli dengan cushion-nya yang mungkin luntur atau berantakan terkena air mata, dia tidak peduli. Ia sudah benar-benar tidak sanggup. Hatinya teramat sakit.
Tapi mengabulkan keinginan Arga... Tidak! Indira tidak mau secepat itu menyudahi semua ini. Dengan gugatan yang dia ajukan ke pengadilan agama atas suaminya, itu sama saja mengantarkan Arga dalam dekapan wanita itu seutuhnya! Dan Indira tidak mau itu terjadi.
"Kau pikir aku mau semudah itu menyerahkan kamu kepada selingkuhanmu, Mas? Tidak akan pernah!" tangan Indira mengepal, tidak peduli dia harus bersakit-sakit seperti ini, yang jelas dia tidak rela kalau mereka kemudian bersatu.
Indira menarik tisu, menyeka air matanya dengan hati-hati. Dia tidak boleh terlihat sedih, dia harus tetap tegar dan membuktikan pada Arga bahwa suaminya itu sudah salah memperlakukan dia seperti ini.
"Aku tidak akan pernah membiarkan kalian bersatu, Mas! Kalian tidak akan pernah bersatu sampai kapanpun, ingat baik-baik ucapanku!"
Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa. Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun. “Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail. “Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin. “Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung
Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar pani
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak
Clara mengerjapkan matanya perlahan-lahan, rasa pedih itu terasa begitu menusuk di dahi sebelah kirinya. Rasanya begitu pedih. Sorot lampu yang begitu terang sedikit menyakiti matanya, membuat matanya sontak kembali terpejam.“Dok, Dokter bisa dengar saya?”Suara asing itu tertangkap oleh telinga Clara. Darimana orang itu tahu kalau Clara seorang dokter? Ah dia lupa, bukankah identitasnya tertulis di atasan scrub yang dia pakai dinas hari ini?Clara mencoba kembali membuka matanya, kini matanya bisa beradaptasi dengan lampu terang yang begit benderang itu. Pandanganya mulai jelas, ia bisa menangkap sosok bersnelli lengan panjang dengan jilbab biru itu.“Saya di mana? Kok bisa di sini?” Clara benar-benar terkejut, ini IGD rumah sakit! Matanya mulai memandangi satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Dokter dengan jilbab biru itu, seorang perawat dan seorang laki-laki yang ...“Dokter masih ingat kejadian sebe
Arga mencoba menetralkan nafasnya, tubuhnya terasa sangat lengket dan panas. Ia terengah dengan Indira yang terisak sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Permainan mereka sudah usai, Arga sudah mendapatkan apa yang dia cari, apa yang dia inginkan malam ini.Ia ingin Clara, namun dia tidak tahu sekarang dimana kekasihnya itu berada. Apakah benar dia tengah menonton film bersama residen bedah itu? Kalau benar, akan Arga patahkan leher laki-laki itu besok pagi.Suara isak tangis Indira terdengar begitu jelas setelah segala macam desahan, erangan dan irama penyatuan mereka lenyap menguar bersama sisa-sisa nikmat yang kini tengah Arga nikmati. Ia menoleh, tersenyum sinis menatap punggung yang membelakangi dirinya itu."Sudahlah, tidak usah menangis. Bukankah ini yang kamu minta tadi? Sudah aku berikan jadi diamlah!" Ejek Arga seraya mengusap keringat yang membasahi wajahnya.Indira menoleh, membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya i
“Tidak diangkat?”Clara menoleh, tampak laki-laki itu tersenyum simpatik ketika melihat dirinya frustasi dengan ponsel dan panggilan-panggilan yang tadi dia layangkan. Clara hanya balas tersenyum sambil menggeleng perlahan. Tampak senyum laki-laki itu makin lebar, membuat Clara merasa aneh melihat senyum itu. Kenapa begitu manis?“Sudah lupakan dulu, istirahatlah. Nanti kalau dia sudah tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu balik.”Ah ... betul juga! Tapi Arga sibuk apa? Sedang apa dia sampai-sampai Clara berkali-kali telepon dan dia abaikan? Kalaupun marah, Arga bukan tipe laki-laki yang ketika marah lantas mendiamkan dan mengabaikan pesan dan panggilan yang Clara layangkan.“Kok sedih? Siapa memangnya yang begitu ingin kamu telepon? Pacar?”Clara tergagap, siapa memangnya? Kalau bilang Arga pacarnya, Arga sendiri sudah punya isteri, kalau mau bilang Arga bukan siapa-siapa, mana ada laki-laki yang bukan siapa-
"Kalau kamu ingin pulang, pulang aja nggak apa-apa kok," ujar Clara pada Morgan yang masih betah duduk di sofa kamar inapnya.Beberapa saat mengobrol bersama laki-laki tiga puluh lima tahun itu membuat Clara lantas cepat akrab dengan pria yang terlibat kecelakaan bersamanya itu. Dan tentu saja bukan tanpa alasan Clara menyuruh Morgan pulang, Arga pasti datang kemari dan dia tentu akan salah paham jika melihat Morgan berada di ruangan ini bersamanya."Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum dokter kemari dan menyatakan kamu baik-baik saja, Ra. Kamu tanggung jawabku." tolak Morgan tegas, laki-laki berperawakan tinggi-tegap itu lantas bangun, kembali melangkah menghampiri Clara yang masih terbaring di atas ranjang dengan selang infus.Clara tertegun, netra mereka beradu sesaat. Kalimat itu kenapa terdengar begitu indah di telinga Clara? Sebuah kalimat yang hanya diucapkan oleh laki-laki sejati."Ta-.""Takut pacarmu marah aku ada di sin
Arga sudah tiba di depan pintu ruangan itu. Mendadak ia ragu, tangan yang sudah terulur hendak menyentuh knop sontak ia tarik kembali.Ada apa ini?Kenapa hatinya jadi kacau balau seperti ini? Kenapa perasaan takut itu terus mencengkeram hati Arga? Tidak biasanya Arga seperti ini. Bayangan dia dan Indira bergumul tadi kembali terlintas, marahkah Clara jika tahu Arga barus saja menyentuh sang isteri? Tapi Indira isteri sah Arga dan... ah!Arga menghela nafas sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskan perlahan-lahan. Tangannya terulur, kembali menyentuh knop pintu dan menekannya.Pintu terbuka, ruangan itu begitu terang dan wanita yang begitu dia cintai ada di sana.Arga membelalakkan mata mendapati Clara dengan perban membalut pelipisnya, ia setengah berlari menghampiri kekasihnya itu."Sayang... ka-kamu...," Arga sampai tidak bisa berkata-kata, matanya memerah melihat kondisi Clara.&nb