Share

BAB 6

Clara menyingkirkan lengan kokoh itu dari atas tubuhnya. Tampak wajah itu begitu pulas tertidur. Agaknya pelayanan Clara semalam sangat memuaskan dirinya. Terbukti laki-laki itu sekarang tidur begitu pulas macam bayi baru lahir.

Clara berusaha bangkit, pangkal pahanya terasa begitu pedih. Bagaimana tidak? Arga tidak hanya minta satu kali, entah berapa kali semalam ia harus menjadi budak pemuas laki-laki itu, Clara sampai tidak mau menghitungnya.

“Ga, kamu nggak pulang?” sekali lagi sebuah bahasa pengusiran, kalau Arga mau sedikit saja sadar diri, namun Arga terkesan masa bodoh dan tidak peduli.

Tubuh itu tidak bereaksi, membuat Clara lantas mengguncang lengan kokoh itu agar mau bangun dan segera pulang. Sebodoh amat apartemen ini dia yang membelikan, toh Clara tidak meminta Arga membelikan dia apartemen, bukan?

“Ga ... ini sudah pagi, kamu tidak pulang?” kembali hal itu yang Clara tanyakan. Kali ini lebih keras dan dengan guncangan sedikit kuat, membuat akhirnya tubuh itu bereaksi.

“Jam berapa sih, Sayang? Ribut amat!” tampak Arga menguap, ia belum membuka matanya, namun Clara tahu dia sudah kembali terjaga.

“Jam lima,” Clara menyingkap selimut, menampilkan tubuh polos mereka berdua. “Kamu harus segera pulang dan bersiap kerja.”

Arga sontak bangkit, duduk dan menguap sejenak. Mencoba mengembalikan separuh nyawa dan bersiap untuk memulai semua aktivitas hariannya. Arga menguap sekali lagi, ketika kemudian dari sudut matanya ia menangkap blister obat itu di atas nakas Clara. 

"Kau masih meminum itu?" tanya Arga dengan sorot mata tajam. 

Clara mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi, memamerkan bukit kembarnya yang langsung membuat diri Arga merespon seketika, namun sayang sekali blister obat yang tertangkap oleh mata Arga membuat dia mengabaikan hasrat itu. 

"Tentu, aku tidak ingin mengambil resiko." jawab Clara santai, sengaja memancing emosi Arga karena dia tahu, Arga tidak suka melihat Clara melakukan itu. 

Arga mendengus kesal, mengusap kasar wajahnya lantas menatap Clara dengan tatapan kesal. "Apakah mengandung anakku adalah sebuah resiko untukmu?" tanya Arga gusar. 

"Ya, selama kita belum menikah dan hubungan kita masih seperti ini, itu akan menjadi resiko."

Arga tidak berkata-kata lagi, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Wajahnya tampak sangat kesal. Sudah tiga tahun mereka berhubungan dan Clara selalu menenggak pil-pil itu, meskipun Arga sudah memohon agar Clara mau berhenti meminumnya dan mau hamil buah cinta mereka, namun Clara bersikeras menolak 

Arga mencuci wajahnya, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu tampan lebih segar, tentu saja, kenikmatan dunia yang Clara suguhkan untuk Arga semalam sungguh memabukkan. Seandainya dia tidak harus dinas ke rumah sakit, Arga rasanya ingin kembali mengulang aktivitas itu. Menjelajahi gelombang dan riak nikmat itu bersama Clara. 

Mata Arga sontak menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, cincin pernikahannya dengan Indira. Seandainya Clara yang diajak bertukar cincin, tentu hidup Arga akan sangat bahagia sekali. Namun sayang, bukan Clara yang dia nikahi. 

"Sampai kapan kamu mau bertahan, In?" Arga benar-benar tidak mengerti. 

Dia sudah berusaha sekuat tenaga membuat ulah agar Indira jenuh dan memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai, tapi wanita itu masih kekeuh bertahan! Dia masih berdiri tegak di dalam biduk rumah tangga yang sebenarnya tidak berpondasi sama sekali. 

Bisa saja Arga yang mengajukan gugatan itu, tapi itu akan berakibat fatal! Papanya akan melakukan segala cara untuk menggagalkan keinginan Arga, dan jangan lupa, hukuman apa yang entah akan Arga dapatkan. 

Indira menantu idaman sang papa! Kekayaan keluarga Indira membuat papanya begitu bersikeras bahwa hanya Indira lah yang pantas menyandang gelar sebagain menantunya, isteri dari Arga Yoga Saputra. 

"Ga, mau aku buatkan sarapan? Atau mau sarapan di rumah?" Clara mengetuk pintu kamar mandi, membuat Arga tersadar dari lamunannya. 

Sarapan? 

Sebenarnya Arga mau dan sangat ingin sarapan di sini, hanya saja dia sudah terlanjur kesal pada Clara, pada kondisi mereka saat ini, pada nasibnya!

"Aku sarapan di rumah saja!" balas Arga lantas menyalakan shower dan mulai membasuh tubuhnya. 

Jujur Arga sudah sangat ingin punya anak, dan ia ingin hanya dari rahim Clara dia mendapatkan keturunan. Tapi Clara bersikeras tidak akan mau hamil sebelum Arga menikahi dia secara resmi. 

"Ra, apakah hamil anakku sebuah hal yang begitu memberatkan untukmu?"

***

Indira tengah memoles cushion di wajahnya ketika Arga sang suami masuk ke dalam kamar mereka. Rambutnya masih tampak basah, membuat Indira menghela nafas panjang. 

"Wangi sekali shampo rumah sakit, aku suka baunya." ujar Indira sengaja memancing reaksi Arga. 

"Sayangnya ini bukan shampo rumah sakit!" balas Arga singkat sambil membuka lemari dan menarik satu stell scrub untuk dia pakai. 

Indira menoleh, menatap sang suami dengan tatapan pedih. Indira tahu dia berselingkuh! Sangat tahu! Sang suami selalu terang-terangan mengatakan dan menunjukkan penyelewengan yang dia lakukan, meskipun sampai sekarang Indira tidak tahu wanita mana yang menjadi simpanan sang suami. 

"Tidur di mana semalam?" Indira tidak perlu menanyakan hal itu sebenarnya, karena ujungnya hanya akan melukai perasan dan hatinya, tapi entah mengapa ia ingin sekali menanyakan hal itu. 

"Tidak perlu aku jawab kamu pasti sudah tahu." jawabnya santai sambil memakai atasan scrub-nya.

"Kamu lebih memilih berzina dan menumpuk dosa daripada menggauli isterimu yang sudah jelas halal dan sah kau setubuhi, Mas?" sungguh Indira sudah tidak sanggup lagi, dia sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami. 

Arga menoleh, menatap sang isteri dengan tatapan mengejek. Senyum sinis tergambar di wajah itu, membuat dada Indira makin sesak luar biasa. Mata Indira sontak memanas, berkaca-kaca dan siap meledakkan tangis. 

"Sudahlah, perjanjian awal kita adalah jangan pernah urusi urusanku, dan jangan lupa bahwa aku tidak pernah mengurusi urusanmu!"

"Tapi aku in-."

"Apa?" potong Arga cepat. "Tidak Terima? Ajukan saja ke pengadilan, biar aku tanda tangan!"

Arga tidak berkata-kata lagi, ia segera melangkah keluar dari kamar. Meninggalkan Indira yang terpekur di meja riasnya. Tangis Indira sontak pecah, tidak peduli dengan cushion-nya yang mungkin luntur atau berantakan terkena air mata, dia tidak peduli. Ia sudah benar-benar tidak sanggup. Hatinya teramat sakit. 

Tapi mengabulkan keinginan Arga... Tidak! Indira tidak mau secepat itu menyudahi semua ini. Dengan gugatan yang dia ajukan ke pengadilan agama atas suaminya, itu sama saja mengantarkan Arga dalam dekapan wanita itu seutuhnya! Dan Indira tidak mau itu terjadi. 

"Kau pikir aku mau semudah itu menyerahkan kamu kepada selingkuhanmu, Mas? Tidak akan pernah!" tangan Indira mengepal, tidak peduli dia harus bersakit-sakit seperti ini, yang jelas dia tidak rela kalau mereka kemudian bersatu. 

Indira menarik tisu, menyeka air matanya dengan hati-hati. Dia tidak boleh terlihat sedih, dia harus tetap tegar dan membuktikan pada Arga bahwa suaminya itu sudah salah memperlakukan dia seperti ini. 

"Aku tidak akan pernah membiarkan kalian bersatu, Mas! Kalian tidak akan pernah bersatu sampai kapanpun, ingat baik-baik ucapanku!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Putri
suami Brengsek
goodnovel comment avatar
yenyen
laki laki brengsek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status