“Tunangan!? Apa kamu gila!?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Diva secara refleks ketika mendengar ucapan Elvan. Hal itu membuat Elvan menautkan alis dan menatapnya dingin.
“Sesuai perjanjian tadi, kamu berutang budi padaku atas bantuan yang kuberikan tadi. Sekarang, waktunya bagimu untuk menebus utang tersebut,” ucap Elvan. “Kenapa? Kamu berniat untuk mengingkari janji yang kamu buat sendiri? Haruskah aku mengembalikanmu ke hadapan orang-orang tadi?”
“Kamu,” tunjuk Diva pada Elvan, “mengancamku?”
Elvan hanya menatap Diva datar selagi berkata, “Terserah padamu ingin menggunakan istilah apa, tapi intinya … aku ingin kamu memenuhi janjimu.”
“Tapi tidak dengan bertunangan!” balas Diva dengan agak kesal. Tidak habis pikir bagaimana pria di hadapannya ini berpikir.
Pertunangan adalah awal dari sebuah pernikahan, bagaimana pria ini bisa sembarangan menyuruhnya menjalani hal tersebut!?
Melihat wajah Diva menampakkan ekspresi khawatir, Elvan menambahkan, “Jangan berpikir berlebihan, tunangan ini hanya pura-pura saja.”
Mendengar itu, mata Diva langsung berbinar. “Pura-pura?” ulangnya, sedikit bersemangat.
Pelipis Elvan berkedut, entah kenapa terlihat agak kesal wanita di hadapannya itu begitu enggan bertunangan dengannya. Namun, dia dengan ketus berkata, “Tentu saja. Aku cukup waras untuk tidak sembarangan bertunangan dengan wanita tanpa asal-usul yang jelas, Diva.”
Sekarang, giliran pelipis Diva yang berkedut. Haruskah pria ini memperlakukan orang yang akan membantunya seperti ini!?
Menepis perasaan kesalnya, Diva langsung fokus pada urusan di depan mata. “Oke, kalau pura-pura, aku tidak masalah. Akan tetapi, apa tujuan Tuan melakukan semua ini?”
Diva bisa melihat mata Elvan memicing, mungkin curiga dengan niat dia menanyakan hal ini. Demikian, Diva mengangkat tangannya.
“Asal Tuan tahu, aku hanya bertanya agar bisa memahami situasi dan menjalankan peranku dengan baik,” jelas wanita itu cepat-cepat.
Penjelasan Diva membuat Elvan menatap nomor lantai yang terus berubah, menunjukkan semakin dekat mereka kepada tujuan. “Membatalkan perjodohan.” Pria itu menoleh kepada Diva dan menatapnya lurus. “Kamu harus membantuku membatalkan perjodohan yang tidak kuinginkan.”
Setelahnya, Elvan menjelaskan berbagai hal kunci yang perlu Diva ingat, dan Diva … dia tidak bisa mengelak dan hanya bisa diam mendengarkan.
“Di restoran, akan ada sejumlah orang. Ayah dan ibuku, paman dan bibiku, kakek dan nenekku, juga seorang wanita bernama Marissa.”
Tepat saat menyebut nama ‘Marissa’, wajah Elvan berubah gelap.
“Itu … nama wanita yang akan dijodohkan denganmu?” tanya Diva, dan Elvan pun mengangguk.
Elvan menatap Diva dengan lurus, membuat wanita itu terhipnotis manik indah pria tersebut. “Tugasmu ada dua, Diva. Yang pertama, buat Marissa cemburu agar dia mengurungkan niatnya untuk menikah denganku. Yang kedua, pastikan semua orang percaya kita saling mencintai dan sudah siap untuk menikah.”
TING!
Dentingan lift terdengar, dan pintu lift pun terbuka, menunjukkan pemandangan rooftop hotel yang indah. Namun, entah kenapa, tempat mahal yang seharusnya membuat Diva terpukau itu berubah menjadi sangat mencekam.
“Kita sampai,” ucap Elvan seraya menoleh kepada Diva dan mengulurkan tangannya. “Ikuti arahanku dan kujamin kamu akan baik-baik saja.”
Diva menautkan alis, tampak ragu dengan semua yang sedang terjadi. Dirinya baru saja selesai mengacaukan pernikahan mantan kekasihnya, lalu sekarang … dia harus membantu pria asing di hadapannya ini untuk membatalkan perjodohannya? Apa sekarang Diva berubah menjadi dewi kehancuran?
Menutup matanya sekilas untuk menepis lamunan, Diva menghela napas berat dan menatap Elvan lurus. “Aku … akan berjuang sebisaku untuk membantumu, Tuan Elvan.” Dia meletakkan tangannya di telapak tangan besar pria tersebut.
“Elvan,” ucap Elvan seraya menggenggam tangan Diva dan membawa wanita itu keluar dari lift.
“Apa?” Diva agak bingung dengan maksud ucapan pria itu.
Dengan wajah yang melembut, Elvan berkata, “Panggil aku Elvan.” Dia menambahkan sembari tersenyum tipis. “Orang mana yang memanggil tunangannya dengan sebutan ‘Tuan’?”
Detik itu juga, Diva merasa kewarasannya runtuh. Sial! Pria ini begitu tampan sepuluh– tidak! Sejuta kali lipat dari Nico!
Dengan cepat, Diva menggigit lidahnya sendiri agar sadar, lalu memperingati diri dalam hati, ‘Ingat, Diva! Pria tampan tidak bisa dipercaya! Dan lagi,’ dia menatap sosok Elvan yang sedang memerhatikannya dengan bingung, ‘kamu harus fokus membantu pria ini untuk balas budi! Tidak lebih!’
Setelah sadar dari pesona Elvan, Diva pun tersenyum lebar. “Oke, El– Elvan.”
Usai percakapan itu, Elvan pun menuntun Diva masuk ke dalam restoran dan membawanya ke area khusus. Tempat terbaik untuk melihat pemandangan ibu kota dari puncak hotel.
Menuju sebuah meja yang diisi oleh tujuh orang, dengan satu kursi kosong di antara mereka, Diva membatin, ‘Itu pasti keluarga Elvan.’
Seorang wanita anggun nan rupawan terlihat duduk di sebelah seorang pria berjas yang menyesap secangkir kopi dengan tenang. Wajah keduanya yang memiliki jejak di wajah Elvan membuat Diva langsung bisa menebak identitasnya.
“Itu orang tuamu?” bisik Diva dengan suara rendah.
Elvan menganggukkan kepala. “Yang di seberang mereka adalah paman dan bibiku, sedangkan yang berada di antara dua pasangan itu adalah kakek dan nenekku, tetua keluarga yang paling dihormati,” jelasnya singkat, jelas, padat.
Duduk membelakangi Elvan dan Diva, adalah seorang wanita berambut hitam lurus dengan gaun merah ketat yang mewah dan mencolok. Saat mendengar langkah kaki keduanya, dan ketika tatapan semua orang beralih ke arah Elvan dan Diva, wanita itu berbalik dan menampakkan wajahnya yang menurut Diva sungguh memesona.
“Elvan!” seru wanita itu dengan mata berbinar, tampak sekali memuja sosok Elvan.
Namun, saat melihat keberadaan Diva yang digandeng oleh Elvan, ekspresi wanita itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi mengerikan.
“Siapa wanita ini?”
Tanpa perlu diberi tahu lagi, Diva langsung tahu identitas wanita muda tersebut.
“Marissa,” panggil Elvan sebelum akhirnya menatap satu persatu orang di meja itu, “Semuanya, perkenalkan … ini Diva, kekasih yang baru saja kulamar hari ini.”
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa