"Jaga-ja──"
Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin.
"Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya.
"Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.
Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi.
"Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V.
Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.
Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang.
"Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.
Sheila menggeleng dan terkekeh pelan.
"Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri.
"Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.
Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar.
"Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di udara.
"Astaga! Pelan-pelan bukanya." Sheila tertawa melihat wajah Bara yang penuh tepung.
"Tinggal aku goreng," gurau Sheila meratakan tepung di wajah Bara.
"Kau berani melakukannya?" Bara menoel hidung Sheila. Ia menampakkan raut sangarnya membuat nyali Sheila menciut.
Sheila meringis sambil menggeleng polos. "Coba tutup mata dulu," perintah Sheila pada Bara. Tak disangka pria itu menurut. Sheila mengeluarkan ponselnya.
"Bagus," puji Sheila melihat hasil fotonya.
Bara terbelalak mendengar suara jepretan kamera.
"Astaga! Hapus Shei," titah Bara berat.
"Tidak," tolak Sheila men-zoom detail paras Bara.
"Ini lucu, manusia salju," kekeh Sheila membuat Bara menatapnya tajam.
"Olaf?!" tanya Bara meninggi.
"Itu boneka salju," tepis Sheila.
"Shei, aku tidak suka disamakan," peringat Bara bersidekap tangan bersandar pada meja dapur.
"Kau marah?" tanya Sheila memegang wajah Bara.
"Sini-sini aku bersihin, sayangnya aku," lirih Sheila menghilangkan noda putih di pipi Bara.
"Bilang apa?" tanya Bara.
"Tampan," Sheila mengusap-usap pipi Bara. Kedua sudut bibir Bara terangkat membentuk lengkungan.
"Nah begitu, sekali-kali puji suaminya," timpal Bara.
"Ayo kita buat! Kapan selesainya kalau bercanda terus?" omel Sheila mulai fokus membuat adonannya.
"Iya, istriku yang bawel!" Bara mendaratkan ciuman di pipi Sheila.
Sekitar 50 menit berlalu, bolu buatan Sheila dan Bara sudah jadi. Terakhir, mereka menambahkan parutan keju sebagai topping.
"Akhirnya, sudah jadi," ucap Sheila tersenyum pada Bara.
"Ayo, kasih ke Mama," ajak Bara.
"Lebih baik kau saja. Nanti Mama tidak suka jika tau kue ini buatanku," cemas Sheila.
Bara paham akan perasaan Sheila, ia lantas berjalan lebih dulu sedangkan Sheila memberi jarak dengan Bara.
"Bolu kesukaan, Mama," ucap Bara menghampiri Elisa.
Elisa langsung berdiri, wajahnya berseri.
"Cantik sekali tampilannya," puji Elisa kagum.
Elisa langsung mengambil satu potongan bolu itu. Awalnya Elisa sangat menikmati karena rasanya yang lembut juga takaran keju yang pas di lidahnya.
"Buatan Sheila," cetus Bara tiba-tiba.
"Uhuk-uhuk!" Elisa tersedak. Ia lantas mengambil tisu untuk mengelap bibirnya.
"Pantas saja, rasanya tidak enak," keluh Elisa menaruh kembali potongan bolunya.
Monica yang penasaran ikut berdiri. "Masa sih, Tan?" tanya Monica, ia turut mencicipinya.
"Terlalu banyak keju, membuatku ingin muntah," ejek Monica menutup mulutnya.
"Jaga bicaramu!" gertak Bara lugas kepada Monica.
Tatapan Elisa mengarah pada Sheila.
"Usahamu sia-sia, Sheila! Sulit untuk meluluhkan hati saya. Karena kau bukan tipe menantu idaman saya!" tegas Elisa.
Kalimat demi kalimat itu menyakiti hati Sheila. Namun, Sheila tetap bungkam.
"Kamu tidak secantik Monica. Lihat! Dia modis dan seksi sementara kamu. Nilai saja sendiri penampilanmu!"
Monica tersenyum puas ketika Elisa membelanya di depan Sheila. Ya, harusnya Sheila sadar diri. Dia sama sekali tidak pantas bersama Bara. Kasta sosial mereka terbilang sangat jauh.
"Cukup, Ma. Tolong hargai, Sheila," pinta Bara menahan amarah.
"Wanita rendahan seperti ini kau bela?"
Tangan Bara mengepal, sudah cukup kesabarannya. "Apa yang Mama katakan itu tidak benar!" kelakar Bara.
"Apa gunanya terlihat cantik di luar tapi busuk di dalam?!" sindir Bara pada Monica.
Bara menarik tangan Sheila mengajaknya pergi dengan paksa.
"Hebat sekali kau Sheila, kau sudah membuat Bara berubah!" Elisa menatap kepergian Bara dan Sheila dengan kebencian.
"Bagaimana pun caranya, kita harus membuat Bara membenci, Sheila!" geram Elisa.
**
Sheila menghentakkan tangannya dari cekalan Bara begitu keduanya berada di luar rumah.
"Bara, sikapmu tidak sopan! Dia ibumu!" tegur Sheila.
"Aku emosi, Shei. Kau berharga untukku dan aku tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu, termasuk Mamaku. Ucapan Mama tadi keterlaluan." Sorot mata Bara menajam.
"Bara, kamu harus minta maaf," pinta Sheila lembut.
"Kita pergi," ajak Bara mengabaikan ucapan Sheila.
"Tidak," tolak Sheila tetap pada posisinya.
Bara menghembuskan napas kasar. "Aku akan minta maaf, tapi tidak sekarang, Shei!" ucap Bara penuh ketegasan.
"Kenapa harus menunda?"
"Supaya Mama memikirkan tentang ucapannya. Kau tidak serendah itu, kau sempurna di mataku,” ucap Bara tulus.
Sepuluh menit berlalu, keduanya sama-sama diam. Sheila yang masih terpaku dengan kata-kata Elisa yang terngiang di kepalanya. Sementara Bara berusaha mengontrol emosinya.
"Kejadian tadi jangan dipikirkan. Aku memang sering bertengkar dengan Mama. Mama selalu posesif ke aku dari kecil," jelas Bara.
Pantas saja, kamu juga sama, batin Sheila.
"Kita mau kemana?" tanya Sheila lantaran jalan yang dilalui tidak mengarah ke rumah mereka.
Bara meraih tangan Sheila, menyelipkan jemarinya. Pria itu lantas mencium tangan Sheila.
"Nanti juga tau," balasnya.
Jalan yang Bara lalui membuat Sheila akhirnya tahu tujuan Bara. Mobil Bara menepi dan berhenti. Pria itu turun──mengitari mobilnya dan membukakan pintu untuk Sheila.
Bara mengulurkan tangan membuat Sheila langsung meraihnya. Langkah keduanya mengayun menuju bibir pantai. Aroma khas pantai juga pasir putih halus yang dipijaknya memberi ketenangan. Warna jingga berpadu rona kemerahan yang membentang di langit menyambut kedatangan mereka. Senja, lukisan semesta yang selalu memanjakan mata.
"Selain suka senja, aku juga menyukaimu. Ralat mencintaimu," ungkap Bara dengan tangan memeluk erat pinggang Sheila.
"Rasamu ke aku bagaimana?" tanya Bara pelan membalikan tubuh Sheila agar menghadapnya.
Jantung Sheila berdebar kencang mendengarnya. Desiran ombak seolah mewakili aliran darahnya.
"Ada," jawab Sheila.
"Berapa persen?" tanya Bara.
"Em, rahasia," jawab Sheila membuat Bara menggendongnya. Pria itu memutar tubuhnya membuat Sheila refleks memeluk erat leher Bara.
Seumur hidupnya, baru Bara yang memperlakukan dirinya istimewa. Bahkan bersama Bryan, rasanya tak seindah ini. Sheila terbuai dalam manisnya sikap Bara. Tawa mereka berbaur sebelum akhirnya suara berat Bara terdengar menuntut.
"Berapaa?!" Bara menghentikan gerakannya. Manik matanya menatap Sheila dalam-dalam penuh harapan.
"50 persen," jawab Sheila hati-hati.
Tiba-tiba Bara menurunkan Sheila, seolah tidak puas dengan jawaban istrinya. Ketegangan tergambar jelas di raut wajah Sheila. Apa Bara marah dengan pengakuannya?
Bara memegang wajah Sheila dengan satu tangan merengkuh erat pinggang Sheila.
"Shei, ayo ...." Bara menggantung kalimatnya.
Satu alis Sheila terangkat, penasaran. "Mau apa?”
“Making love,” jawab Bara serak.
Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp
“Shei?” panggil Bara pelan sambil membuka pintu kamar mereka.Sheila membalikkan badan. Gaun warna silver yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Bara terdiam sejenak—terpukau oleh pesona wanita yang telah mengisi ruang hatinya dengan begitu dalam. Dia merasa seperti pria paling beruntung di dunia karena memiliki Sheila seutuhnya.Tanpa banyak kata, Bara melangkah mendekat. Tangannya menyentuh lembut pinggang Sheila dan menariknya pelan hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.“Kau selalu berhasil membuatku terkesan dengan penampilanmu, Shei,” bisiknya seraya menatap mata Sheila dalam-dalam, seolah ingin merekam setiap detiknya.Sheila hanya tersenyum tipis, lalu membenarkan kerah kemeja Bara yang terlipat tidak rapi. Sentuhannya begitu lembut selembut angin malam.“Itu karena cintamu yang besar padaku,” balas Sheila dengan suara rendah namun sarat makna.Bara menunduk dan mencium kening Sheila dengan penuh kasih. Lama, hangat, dan tulus.“Aku sudah berjanj
"Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m
Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar
Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak
Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m