Home / Romansa / Jerat Cinta Elbarra / Egois Atau Bodoh?

Share

Egois Atau Bodoh?

Author: FitriElmu
last update Last Updated: 2024-09-20 20:11:50

Tenang aja. Meski nasib Kalea kerap sial, tapi dia gak pernah ngeluh. Barra emang nyebelin. Tapi obatnya ada pada abangnya, alias Raka. Rasa kesal dan umpatan yang seharian menghiasi, luntur sudah kalau sudah bertemu Raka. Yah, anggap aja Barra adalah cobaan untuk penyatuan cintanya dengan Raka. Buktinya sekarang, dia sudah duduk manis, di ruang tengah keluarga tetangga. Mengobrol asyik dengan tante Anggi, juga si obat nyamuk Barra. Gak tahu apa fungsi makhluk itu. Ikut ngobrol enggak, tapi nongol aja.

"Berarti dua bulan lagi kalian lulus, dong."

"Hehe. Iya, Tante. Seneng deh. Bentar lagi jadi mahasiswi. Hehe."

Yah, semoga aja gak sekampus sama si kampret Barra lagi. Sumpah, dia bertekad gak akan sekampus, apalagi satu jurusan dengan Barra lagi. Sudah cukup tahun-tahun yang terlewati. Sampek sekarang tempat duduk aja depan belakang.

"Syukurlah. Lebih cepat lebih baik. Tante udah gak sabar punya mantu kamu."

"Iih, tante bisa aja. Hehe."

Mendapati ekspresi mual Barra, Kalea melotot. Emang gak demen ngeliat dia seneng kali ya, cowok satu ini. Ngenesnya, kenapa pula Raka harus punya adek monyet semacam Barra.

Untung saja, gak berapa lama Raka dan om datang. Mereka pindah ke meja makan. Menikmati makan malam dengan obrolan penuh keceriaan. Melihat kebersamaan ini, Kalea yakin, Raka akan tetap menjadi miliknya kelak. Dan masalah Jini, pasti akan berhenti dengan sendirinya. Pacaran bisa aja putus kan? Lagian, pasti om dan tante lebih merestui dirinya dibanding Jini. Dia memegang kunci utama, restu dan dukungan. Keyakinan kuat itu lah, yang membuat Kalea mengabaikan sakit hatinya atas fakta hubungan asmara Raka dengan gadis lain.

Egois, atau bodoh? Entahlah.

.

.

Malam minggu yang cerah. Harusnya begitu. Seperti biasa, malam minggu dia dan Raka akan jalan-jalan keluar. Malam mingguan, layaknya pasangan lain. Karna itu, Kalea sudah bersiap. Berdandan cantik dan siap menunggu jemputan. Cermin memantulkan sosok cantik yang tengah tersenyum lebar.

Tapi, sampai pukul delapan, belum ada tanda-tanda Raka menjemputnya. Pesan yang dikirimnya sejak satu jam yang lalu saja belum dibalas. Jangankan dibalas, masih centang abu-abu. Bibirnya manyun, mulai kesal.

Ting!

Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya. Siapa tahu kabar dari Raka.

"Aku gak bisa jemput. Ada urusan dadakan tadi. Kamu susul aja ya. Pake taksi. Alamatnya ntar aku kirimin."

Pantesan. Lama.

Tanpa membuang waktu, Kalea segera memesan taksi online. Lantas menuju alamat yang dikirim Raka tadi. Sepanjang jalan, dia senyam senyum sendiri. Membayangkan kalau ternyata urusan yang dimaksud Raka adalah menyiapkan kejutan untuknya. Em ... Mungkin makan malam romantis (?) seperti yang pernah dia siapkan untuk pria itu, dulu.

"Kiri, pak."

Setelah membayar, Kalea langsung menuju lokasi yang dimaksud. Sebuah rumah warna abu-abu. Ukurannya seperti rumah kontrakan. Pesan Raka tadi, suruh langsung masuk aja. Takut menganggu tetangga sekitar kalau harus teriak-teriak manggil katanya.

"Bang ... Bang Raka?"

Tetep manggil sih, cuma pelan. Gak berani keras.

Tapi, rumah ini sepi. Pintunya memang gak terkunci. Tapi, terkesan gak ada siapa-siapa. Sepi banget.

"Aah ... Pelan-pelan sayang ..."

Deg!

Telinganya seketika menajam. Mendengar suara lirih tertahan itu. Jantungnya terasa dipompa lebih cepat. Takut, tapi juga was-was dan penasaran.

Dengan perasaan gak karuan, Kalea melangkah ke sumber suara. Sebuah kamar. Ada ketakutan yang tiba-tiba muncul. Sempat ingin mengabaikan saja. Tapi, penasaran.

Gemetar tangannya memegang knop pintu. Sekali lagi, meyakinkan diri. Dan akhirnya memutar knop pintu. Matanya melotot sempurna dengan pemandangan yang dilihatnya.

"Aaww ... Pelan-pelan ...."

"Gak bisa. Kamu nikmat banget, sayang. Aahh ...."

Kalea membekap mulutnya. Matanya panas. Pemandangan yang dilihatnya sangat menyakitkan.

"Kalea gimana, aah ... Ini kan malam mingguuhh ..."

"Biarin. Lebih enak sama kamu. Bisa kayak gini. Sama dia bosen, gak bisa ngapa-ngapain."

"Rakaa ...."

Kalea memejamkan matanya. Air mata mengalir deras di pipinya. Sakit. Sungguh. Sesak sekali dadanya.

"Kamu hebat, sayang .... Gak kayak dia, yang gak bisa apa-apa."

"Raka, please ...."

Srat!

Seseorang menariknya. Kalea sudah tidak terfikirkan, siapa yang menariknya. Hatinya hancur dengan pemandangan yang dilihatnya tadi.

"Bodoh. Kalau sakit ya pergi. Bukan malah dilihat."

Gadis itu justru menangis keras. Untung saja, mereka sudah di luar rumah.

Cowok itu mengela napas panjang. Menarik gadis itu dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu menumpahkan sakit yang dirasakannya. Samar, tangannya mengepal kuat. Dia juga terkejut dengan pemandangan yang sempat dilihatnya.

"Brengsek!" desisnya tertahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Elbarra   Minuman Aneh

    "Ganti disini saja," tukas Barra saat dirinya mendekat. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sampai melihat ke arahnya saja enggan. Namun, reaksi yang didapatnya justru lain. Barra menatapnya tajam dengan mata menyipit. Dengkusan lirih terdengar. Tanpa kata, pria itu beranjak dari duduknya, mengabaikan Kalea yang bingung dengan reaksi pria tersebut. "Emang jelek banget, ya?" Kalea bermonolog. Menatap penampilannya sendiri. Ya wajar saja. Dia ambil baju termurah disini. Apa yang diharapkan? "Coba ini." Barra menyodorkan gaun ke arahnya. Gaun cantik yang sebenarnya dia incar. Tapi urung karna harganya di luar nalar. "Tapi ini mahal, pak. Gaji saya kurang." "Memang apa urusannya dengan gajimu? Cepat, dicoba sana." Kalea menerimanya ragu. Dia masih bimbang. Tapi akhirnya dia kembali ke ruang ganti. Dengan membawa gaun tersebut. Menatap nanar bandrol harga di gaun itu. Lima puluh juta. Yang

  • Jerat Cinta Elbarra   Pergi Berdua

    "Aaahh ... Akhirnya selesai juga," Kalea merentangkan tangan, memutar pelan lehernya ke kanan dan kiri. Lantas mematikan laptop dan bersiap-siap untuk pulang. Kalea mengerling pandang ke ruangan sebelah. Belum ada tanda-tanda si boss bakal keluar. Ck. Jangan bilang pemuda itu lembur. Alamat dia juga gagal pulang. Ya kali, dia nekat pulang sementara bossnya saja belum pulang. Huft. Padahal dia sudah beres. Tinggal pulang.Kalea meletakkan dagunya di meja kerja. Membuat bibirnya manyun otomatis. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Dengan malas gadis itu merogoh tasnya. Mengambil ponsel tanpa merubah posisinya. Bahkan menekan tombol hijau dengan gerakan malas. "Halo ...""Jangan langsung pulang."Gadis itu tersentak. Sontak menegakkan tubuhnya, mengangkat wajah. Menjauhkan ponsel demi memastikan siapa yang memanggil. Padahal dia tahu, itu suara Barra."Eoh?" ucapnya, cengo."Tunggu seben

  • Jerat Cinta Elbarra   Pindah Kerja

    Pagi-pagi, Kalea geger melihat mejanya sudah dihuni karyawan lain."Loh, Miko! ini kan meja gue?" seru Kalea. Menatap tak terima. "Itu kan kemarin, Kal. Sekarang meja gue.""Lah, mana bisa?! Tiba-tiba pindah aja," sungut Kalea, kesal.Hana dan Kevin yang melihat keributan itu hanya menonton. Mereka juga gak tahu tiba-tiba Miko pindah ke meja Kalea. Dia bilang dia dapat perintah."Lah, gue juga cuma disuruh, Kal. Mana mungkin gue main pindah-pindah aja. Yang ada kena SP gue ntar," Miko membela diri.Iya juga sih. Tapi, tetep aja kan ...."Terus, gue dimana, dong?" Kalea mencebik. Harusnya gak tiba-tiba gini dong. Ditambah, perintahnya sepihak. Dia aja gak tahu apa-apa."Ya gue gak tahu, Kal." Miko menggendikkan bahu santai. Kembali merapikan meja yang beralih jadi miliknya itu."Emang yang nyuruh siapa, Mik?" Kevin menimpali. Tatapannya menyelidik. Siapa tahu Miko bohong."Pak Lino. Tadi pagi gue ditelpon beliau, disur

  • Jerat Cinta Elbarra   Gengsi

    Netranya tertuju pada pemuda yang sedang menikmati makanannya. Nampak lahap, padahal makanan warteg. Kalea memang tadi keluar, membelikan pakaian untuk Barra, sekalian makan. Dia tidak punya uang banyak. Untuk dirinya saja dia berhemat. Jadi dia membelikan seadanya. Bukan pakaian bermerek seperti yang biasa dipakai Barra. Yang penting nyaman dan bisa buat ganti. Mau dipakai syukur, enggak ya terserah. Ah, untung saja masih ada toko yang buka. Coba kalau enggak?Tapi lihatlah, pakaian itu pas di tubuh Barra. Kaos pendek putih oversize  sesiku, menampakkan otot lengan yang kekar. Ternyata waktu berlalu. Barra yang dikenalnya dulu, jauh berbeda. Termasuk proporsi badannya. Pria ini, pasti banyak berolahraga. Otot liatnya tercetak bagus. Urat tangannya menyembul dengan jemari panjang lentiknya. Tangannya saja kalah lentik dengan milik Barra. Tangannya mungil, agak bantet dikit. Tanpa sengaja Kalea melebarkan jemarinya. Membandingkan dengan milik Barra.  Pandangannya j

  • Jerat Cinta Elbarra   Nginap

    Karna kesalnya, Kalea tidak mempedulikan bagaimana Barra pulang. Dia bahkan mengabaikan Barra yang ternyata mengikuti di belakangnya. Salah sendiri, gak peka. Seharusnya kalau memang gak tahu jalan, kan bisa bangunin dia. Bukan malah diem-diem menyesatkan. Terus, harusnya dia juga inisiatif nelpon siapa kek. Emangnya supirnya tadi gak merasa kehilangan bossnya? Aneh banget. Jadi cowok kok gak ada inisiatif.Untung saja bajunya sudah kering. Tapi tetap saja dingin. Apalagi malam setelah hujan begini. Ditambah, capek setelah bekerja. Tapi demi bisa cepat pulang, dia terpaksa menahan semuanya. Masuk ke gang, Kalea sedikit melirik ke belakang. Masih ada derap langkah Barra. Berarti Barra mengikutinya? Kalea mengela napas. Baiklah. Dia coba lihat sampai depan kosan. Apa Barra masih akan mengikutinya? Daripada dia salah omong lagi, dan dikatai kepedean.Ternyata benar. Barra masih di belakangnya. Kalea mengela napas. Mengurungkan niat membuka pagar.Ga

  • Jerat Cinta Elbarra   Kebablasan

    Halte.Kalea memandang lekat akun rekening online-nya. Sejumlah nominal tertulis disana. Helaan napas berat terembus. Memejamkan mata, seraya menyandarkan kepala di dinding halte. "Gue benci lo! gara-gara lo mama gue terbuang! Gara-gara mama lo hidup gue hancur! Papa jadi miskin gara-gara milih mama sialan lo itu!"Kalimat Alfin terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bisa merasakan betapa hancurnya Alfin. Korban keegoisan para orang tua. Sama seperti dirinya. Hanya saja, dirinya memilih menjauh dari sumber rasa sakit. Sedangkan Alfin, mungkin dia tidak ada pilihan. Sehingga dia merasa hanya dirinyalah yang menjadi korban disana. Jujur, dia ingin menyahut sama kerasnya dengan teriakan Alfin padanya. Bahwa bukan cuma Alfin yang terluka. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang kehilangan fasilitas hidup nyamannya. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang sengsara!Tapi ... Dia tak tega. Alfin jauh lebih muda darinya.Masih dalam posisi yang sama. Kal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status