Kalea cinta Raka. Tapi nyatanya Raka hanya mempermainkan cintanya. Dia berkhianat dan selingkuh dengan gadis yang Kalea ketahui hanya rekan kerja Raka. Hingga malam itu, Kalea melihat sendiri Raka tengah memadu kasih di ranjang dengan Jini. Hatinya hancur. Sejak saat itu, Kalea lebih memilih pergi dan memutus sesuatu yang berhubungan dengan Raka. Namun siapa sangka, beberapa tahun berlalu, Kalea justru bertemu dengan Elbarra, adik sekaligus teman kecilnya.
View More"Aku gak serius sama Kalea, Ji. Kamu tahu itu kan? Aku sayang banget sama kamu. Jadi, tolong bersabar sebentar lagi ya? Please."
Deg. Rasanya seperti sebuah pedang tajam menusuk ulu hati gadis itu. Meski dia tahu, kebenarannya memang seperti itu. Bukan dirinya yang berada di hati pemuda bernama Raka Elfriyando. Dan ... Demi melihat pemuda itu menggenggam hangat jemari gadis lain, gadis itu tersenyum getir. "Bang Raka, mbak Jini, hai ... Aku datang terlambat ya? Hehe." Sontak kedua insan itu menoleh. Raut kaget sempat tertangkap indera penglihatan Kalea. Tapi hanya sementara. Karna dengan cepat raut itu berganti normal. "Loh, kok sendiri, Kal. Barra mana?" tanya Raka. "Gak tahu tuh. Kayak bang Raka gak tahu aja, senyebelin apa Barra. Haha." Elbarra adalah adik Raka. Seumuran Kalea Makanya anak itu nyebelin banget. Bukan karna jahil. Tapi, cuek dan ketusnya itu, yang bikin kesel melihatnya. "Lah! Gimana Barra itu. Orang abang minta tolong buat jemput kamu sekalian. Malah biarin kamu dateng sendiri." "Santai aja bang. Udah biasa," ujar Kalea. Tertawa kecil. Ayolah, meski hatinya gak karuan, tapi sebisa mungkin dia menutupinya. Sudah biasa. Dan lagi, dialah yang memulainya. Harus siap dengan konsekuensinya. Raka masih menunjukkan rasa bersalahnya. Sikapnya itulah, yang semakin membuat Kalea egois. Dia yakin, suatu saat, bang Raka akan berubah. Mencintainya. Perasaan itu dimulai semenjak Kalea kecil. Bahkan, katanya, Raka jugalah yang merawat dirinya. Eitss ... Maksudnya, Kalea dan Elbarra kebetulan lahir barengan, hanya terpaut dua bulan. Jadi, Raka merasa seperti mendapat adik kembar. Kebetulan, mama dan papanya memang akrab dengan tante Anggi dan om Niko, orang tua Raka dan Barra. Rumah pun sampingan, alias tetangga. Karna terbiasa sejak kecil, perlahan tapi pasti, perasaan nyaman itu hadir. Apalagi, sikap Raka yang ngemong dan dewasa. Membuatnya semakin jatuh dalam pesonanya. Awalnya, hanya cinta monyet biasa. Tapi seiring bertambahnya usia, perasaan itu menjadi cinta yang sesungguhnya. Apalagi, Raka adalah tipikal pria idaman. Tampan, baik hati, murah senyum, ramah, dan pastinya dewasa. Berbanding terbalik dengan Barra, adiknya. Yang menurut Kalea adalah makhluk paling nyebelin segalaksi bima sakti. Udah ketus, dingin, ada sih sifat baiknya. Tapi gak banyak. Nakal, suka baku hantam. Apalagi, jika ada yang menyulut amarahnya. Huft ... Pokoknya berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan abangnya. Kayak gitu, anehnya, banyak yang suka Barra. Hampir satu sekolahan mengidolakan cowok itu. Katanya yang badboy lebih menarik. Iya sih, Barra emang ganteng. Sikap dinginnya menambah kesal cool. Keren. Tapi, tetep aja gak asyik. Nyebelinnya sumpah kebangetan. Yang paling nyebelin lagi, dari TK sampai sekarang, SMA, mereka selalu barengan. Dan, bukan sombong ya, ketika itu pernah, Kalea masuk kelas favorit, herannya, si nyebelin Barra juga masuk di kelas yang sama. Padahal, dia jarang terlihat belajar, tapi nilainya emang lumayan sih. Dan mengenai bagaimana hubungan ini dimulai, itu karna Kalea nekat nembak Raka. Hari itu, hari ulang tahun Raka, Gadis itu sengaja mengajak Raka keluar dengan modus minta dianterin. Restoran bagian atap ini, Kalea sudah menyewanya. Dia terlihat bingung, karna restorannya sepi. Tapi Kalea juga pura-pura gak tahu. Dan lantas pamit ke kamar mandi. Padahal, gadis itu sedang memberi tahu timnya, alias teman-temannya bahwa ini waktunya. Kembang api menyala indah. Sekilas melirik, mendapati Raka terperangah heran. "Kok ada kembang api, Kal? Ada acara apa ya?" tanyanya, bingung. Kalea tersenyum, menatap wajah tampannya yang semakin tampan dengan senyum manisnya itu. Ah, tampannya ... "Bang Raka, i love you." Ungkapan kelegaan sekaligus kalut, takut ditolak. Senyum lebar dengan napas tersengal karna degupan jantung yang mendadak berdetak semakin kencang. Pria yang notabenenya lima tahun lebih tua dari gadis itu menampakkan wajah terkejutnya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar saja dia pertahankan raut keterkejutan itu. Selang beberapa detik, senyum manis terbit di bibirnya. Lalu tertawa kecil, menepuk pundak Kalea. "Kamu ini, senang sekali mengerjaiku, Kalea. Haha. Tapi, gak masalah. Aku suka prankmu." Prank? Tapi ini .... "Kalea serius, bang. Kalea suka bang Raka." Kembali, pria itu terdiam. "Kalea suka bang Raka sejak lama. Maaf, kalau buat bang Raka kaget. Ta-tapi, Lea udah gak bisa menyembunyikannya lagi. Gak papa kok, kalau bang Raka gak suka Kalea balik. Setidaknya, Lea lega udah ungkapin," Kalea memalingkan wajah ke arah lain. Rasanya, air matanya ingin keluar. Melihat reaksi terkejut dan kediaman bang Raka, membuat gadis itu yakin, Raka gak memiliki rasa yang sama, alias cintanya tertolak. Grep. Kalea terkejut, saat Raka memeluknya. Dengan ragu, gadis itu mendongakkan kepala. Dan mendapati senyum hangat pemuda yang diidamkannya itu. "Kalea serius, suka sama bang Raka?" Gadis itu mengangguk, mantap. "Kalau begitu sama." Kalea mengerjapkan netra beberapa kali. Maksudnya? "B-bang Raka juga suka Kalea?" Pemuda itu mengangguk. Kalea bersorak girang. Memeluk pemuda itu erat. Bahagia. Perasaan itu terbalas. Artinya, semenjak hari itu, mereka resmi menjadi pasangan. Karna pada dasarnya Kalea gampang terbuka, mama akhirnya tahu hubungannya dengan bang Raka. Yang lebih membuat Kalea bahagia, ternyata diam-diam mamanya dan mama Raka sempat berniat menjodohkan mereka. Dan karna mendengar anak-anak mereka saling suka, pembahasan perjodohan itu kembali di bahas. Terang saja, Kalea bahagia sekali. Mengarahkan pandangan pada pemuda idamannya itu, dan tersenyum. Sayang sekali, dirinya masih SMA, masih lama untuk menikah. Mama pengennya dia kuliah dan mengejar impian dulu. Gak papa sih, seenggaknya biar Raka mengejar impiannya juga. Jadi, mereka nikah di waktu yang tepat. Dalam keadaan terbaik pastinya. "Giliran makanan habis malah baru dateng. Anak nakal," gumam bang Raka. Kalea ikut menoleh. Barra dengan style khas anak motor itu duduk di kursi kosong sebelahnya. "Ngetrek lagi lo?" decis Kalea pada cowok di sebelahnya itu. "Bukan urusan lo," balas Barra ketus. Kalea merotasikan bola matanya. Lihatlah. Dia memang semenyebalkan itu. Jangan harap bisa beramah tamah dengannya. "Aish! Barra! Kulit ayam gue!" seru Kalea, ngenes. Meratapi kekalahannya dalam menyelamatkan kulit ayam krispinya. Anak nakal, sialan! Enak aja dia main serobot makanan tanpa permisi. "Pesen sendiri, Barra," tegur bang Raka. "Males." Kalea menatap ngenes kulit ayam krispi yang sengaja dia sisakan terakhir, karna emang bagian paling favorit. Tapi sialnya, malah dilahap Barra sialan! Calon adek ipar durhaka. . . Selesai makan, Raka minta izin mengantar Jini. Katanya, kasihan kalau pulang sendiri. Apalagi perempuan. Bahaya. Kalea mengangguk mengiyakan. Meski sudah tahu, tentang hubungan mereka, tapi gadis itu mencoba gak egois. Lagian, pada akhirnya bang Raka bakal sama dia kok. Iya, kan?? Pastilah. Dan akhirnya, Kalea bareng Bara. "Bodoh," decisan yang terdengar jelas di telinga Kalea. "Eh, lo ngatain gue?!" sentak Kalea gak terima. "Kalau lo ngerasa." "Nyebelin banget sih lo, Bar. Udah datengnya telat, nyolong kulit ayam favorit gue, sekarang ngatain gu .... Eh! Barra!" Ya Tuhan ... Makhluk satu ini ... Lagi ngomel malah dipasangin helm. Gimana gak kesel. "Naik, atau gue tinggal." Dengan bersungut-sungut, terpaksa menaiki boncengan belakang motor sport Barra. Meski agak kesulitan sih. Karna body motornya emang tinggi. Belum sempat menyamankan duduk, tiba-tiba aja Barra sudah mengegas motornya. Membuat gadis itu memekik panik dan reflek memeluk pinggangnya si cowok. "Elbarra sialannn!!!!" . . Huft ... Untung saja, meski sempat taruhan nyawa, tapi tiba juga di rumah dengan selamat. "Nih!" Males banget mau ngucapin terimakasih. Meletakkan helm di pangkuan Barra, langsung nyelonong masuk. Bodo amat sama reaksinya. Dia aja ngeselin. Batin Kalea penuh gerutuan. "Raka nya gak diajak masuk dulu, sayang?" Ah, ada mama. "Mau langsung pulang. Ngantuk banget katanya, Ma." Padahal itu bukan Raka, tapi adik kampretnya. "Oh. Gitu." Kalea nyengir. Lanjut jalan ke kamar. Haahhh!! Merebahkan diri ke ranjang. Menatap plavon dengan helaan napas panjang. Bodoh. Barra benar. Dirinya emang bodoh. Berpura-pura tak tahu apa-apa, meski sudah tahu kenyataannya. Kenyataan bahwa Raka sebenarnya tidak mencintainya dan mencintai gadis lain. Yang selama ini diperkenalkan padanya sebagai rekan kerja. Dan beginilah ... Kilas pahit kisah cinta Kalea. Tapi ternyata, sakit itu belum seberapa. Masih ada yang lebih pahit lagi. Yang berhasil merubah masa remajanya yang indah menjadi pahit sepahit-pahitnya. Yang membuatnya menjadi sosok dingin dan keras kepala. Kejadian, malam itu ...."Ganti disini saja," tukas Barra saat dirinya mendekat. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sampai melihat ke arahnya saja enggan. Namun, reaksi yang didapatnya justru lain. Barra menatapnya tajam dengan mata menyipit. Dengkusan lirih terdengar. Tanpa kata, pria itu beranjak dari duduknya, mengabaikan Kalea yang bingung dengan reaksi pria tersebut. "Emang jelek banget, ya?" Kalea bermonolog. Menatap penampilannya sendiri. Ya wajar saja. Dia ambil baju termurah disini. Apa yang diharapkan? "Coba ini." Barra menyodorkan gaun ke arahnya. Gaun cantik yang sebenarnya dia incar. Tapi urung karna harganya di luar nalar. "Tapi ini mahal, pak. Gaji saya kurang." "Memang apa urusannya dengan gajimu? Cepat, dicoba sana." Kalea menerimanya ragu. Dia masih bimbang. Tapi akhirnya dia kembali ke ruang ganti. Dengan membawa gaun tersebut. Menatap nanar bandrol harga di gaun itu. Lima puluh juta. Yang
"Aaahh ... Akhirnya selesai juga," Kalea merentangkan tangan, memutar pelan lehernya ke kanan dan kiri. Lantas mematikan laptop dan bersiap-siap untuk pulang. Kalea mengerling pandang ke ruangan sebelah. Belum ada tanda-tanda si boss bakal keluar. Ck. Jangan bilang pemuda itu lembur. Alamat dia juga gagal pulang. Ya kali, dia nekat pulang sementara bossnya saja belum pulang. Huft. Padahal dia sudah beres. Tinggal pulang.Kalea meletakkan dagunya di meja kerja. Membuat bibirnya manyun otomatis. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Tanda ada panggilan masuk. Dengan malas gadis itu merogoh tasnya. Mengambil ponsel tanpa merubah posisinya. Bahkan menekan tombol hijau dengan gerakan malas. "Halo ...""Jangan langsung pulang."Gadis itu tersentak. Sontak menegakkan tubuhnya, mengangkat wajah. Menjauhkan ponsel demi memastikan siapa yang memanggil. Padahal dia tahu, itu suara Barra."Eoh?" ucapnya, cengo."Tunggu seben
Pagi-pagi, Kalea geger melihat mejanya sudah dihuni karyawan lain."Loh, Miko! ini kan meja gue?" seru Kalea. Menatap tak terima. "Itu kan kemarin, Kal. Sekarang meja gue.""Lah, mana bisa?! Tiba-tiba pindah aja," sungut Kalea, kesal.Hana dan Kevin yang melihat keributan itu hanya menonton. Mereka juga gak tahu tiba-tiba Miko pindah ke meja Kalea. Dia bilang dia dapat perintah."Lah, gue juga cuma disuruh, Kal. Mana mungkin gue main pindah-pindah aja. Yang ada kena SP gue ntar," Miko membela diri.Iya juga sih. Tapi, tetep aja kan ...."Terus, gue dimana, dong?" Kalea mencebik. Harusnya gak tiba-tiba gini dong. Ditambah, perintahnya sepihak. Dia aja gak tahu apa-apa."Ya gue gak tahu, Kal." Miko menggendikkan bahu santai. Kembali merapikan meja yang beralih jadi miliknya itu."Emang yang nyuruh siapa, Mik?" Kevin menimpali. Tatapannya menyelidik. Siapa tahu Miko bohong."Pak Lino. Tadi pagi gue ditelpon beliau, disur
Netranya tertuju pada pemuda yang sedang menikmati makanannya. Nampak lahap, padahal makanan warteg. Kalea memang tadi keluar, membelikan pakaian untuk Barra, sekalian makan. Dia tidak punya uang banyak. Untuk dirinya saja dia berhemat. Jadi dia membelikan seadanya. Bukan pakaian bermerek seperti yang biasa dipakai Barra. Yang penting nyaman dan bisa buat ganti. Mau dipakai syukur, enggak ya terserah. Ah, untung saja masih ada toko yang buka. Coba kalau enggak?Tapi lihatlah, pakaian itu pas di tubuh Barra. Kaos pendek putih oversize sesiku, menampakkan otot lengan yang kekar. Ternyata waktu berlalu. Barra yang dikenalnya dulu, jauh berbeda. Termasuk proporsi badannya. Pria ini, pasti banyak berolahraga. Otot liatnya tercetak bagus. Urat tangannya menyembul dengan jemari panjang lentiknya. Tangannya saja kalah lentik dengan milik Barra. Tangannya mungil, agak bantet dikit. Tanpa sengaja Kalea melebarkan jemarinya. Membandingkan dengan milik Barra. Pandangannya j
Karna kesalnya, Kalea tidak mempedulikan bagaimana Barra pulang. Dia bahkan mengabaikan Barra yang ternyata mengikuti di belakangnya. Salah sendiri, gak peka. Seharusnya kalau memang gak tahu jalan, kan bisa bangunin dia. Bukan malah diem-diem menyesatkan. Terus, harusnya dia juga inisiatif nelpon siapa kek. Emangnya supirnya tadi gak merasa kehilangan bossnya? Aneh banget. Jadi cowok kok gak ada inisiatif.Untung saja bajunya sudah kering. Tapi tetap saja dingin. Apalagi malam setelah hujan begini. Ditambah, capek setelah bekerja. Tapi demi bisa cepat pulang, dia terpaksa menahan semuanya. Masuk ke gang, Kalea sedikit melirik ke belakang. Masih ada derap langkah Barra. Berarti Barra mengikutinya? Kalea mengela napas. Baiklah. Dia coba lihat sampai depan kosan. Apa Barra masih akan mengikutinya? Daripada dia salah omong lagi, dan dikatai kepedean.Ternyata benar. Barra masih di belakangnya. Kalea mengela napas. Mengurungkan niat membuka pagar.Ga
Halte.Kalea memandang lekat akun rekening online-nya. Sejumlah nominal tertulis disana. Helaan napas berat terembus. Memejamkan mata, seraya menyandarkan kepala di dinding halte. "Gue benci lo! gara-gara lo mama gue terbuang! Gara-gara mama lo hidup gue hancur! Papa jadi miskin gara-gara milih mama sialan lo itu!"Kalimat Alfin terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bisa merasakan betapa hancurnya Alfin. Korban keegoisan para orang tua. Sama seperti dirinya. Hanya saja, dirinya memilih menjauh dari sumber rasa sakit. Sedangkan Alfin, mungkin dia tidak ada pilihan. Sehingga dia merasa hanya dirinyalah yang menjadi korban disana. Jujur, dia ingin menyahut sama kerasnya dengan teriakan Alfin padanya. Bahwa bukan cuma Alfin yang terluka. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang kehilangan fasilitas hidup nyamannya. Tapi dia juga! Bukan cuma Alfin yang sengsara!Tapi ... Dia tak tega. Alfin jauh lebih muda darinya.Masih dalam posisi yang sama. Kal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments