Share

Bab 2. Gelisah

Meski umurnya hampir memasuki usia senja, Angel masih tampak muda dan segar. Semua itu karena perawatan dan olahraga rutin yang dia lakukan. Style yang digunakannya pun selalu up to date, tidak mau kalah dengan anak muda sekarang, sehingga orang yang melihatnya tidak akan mengira bahwa wanita bertubuh sintal itu sudah berumur 45 tahun.

Mila meraih telapak tangan sang mertua lalu mencium punggung tangan itu. Hanya sekilas karena Angel segera menarik tangannya.

"Mas Dandy tidak masuk kerja hari ini, Ma. Dia sedang tidur sekarang."

"Nggak kerja? Bukannya sekarang bukan hari libur? Kenapa nggak kerja?" 

"Itu, Mas Dandy kemari–" 

"Ah, sudahlah. Buka pintunya!" sergah Angel dengan nada tinggi. 

Kunci yang tadinya akan Mila masukkan ke tas selempang, kembali masuk ke lubang pintu.

Selepas pintu terbuka, wanita tinggi semampai itu lekas masuk rumah tanpa berkata-kata lagi dan tak acuh terhadap Mila. 

Mila pun akhirnya berlalu meninggalkan rumah, menuju tempat kerja. Meskipun rasa ingin tahu tentang kedatangan sang mertua menghinggapi hatinya, tetapi ia tepis karena tidak ingin terlambat kerja.

"Lusuh amat tuh muka. Kenapa? Pagi-pagi tuh harus ceria biar lancar rezekinya." Nadia yang duduk di bangku menyapa dan bertanya kepada Mila, yang baru saja memasuki ruangan yang berada di bagian paling belakang Outlet, tempatnya bekerja.

Ruangan berukuran 3x3 meter itu terdapat enam loker yang kuncinya dibawa oleh masing-masing karyawan, satu bangku panjang menghadap tembok dan di depannya terdapat meja dengan panjang hampir sama dengan bangku tersebut. Di ruangan itulah Mila dan keempat teman kerjanya beristirahat, shalat, makan, dan lain-lain di saat jam istrirahat. Terkadang mereka juga berganti baju di sana. 

"Ah, nggak papa. Cuman kurang tidur aja. Semalam kagak bisa tidur," ucap Mila seraya membuka loker lalu memasukkan tasnya.

"Lu bohong, Jamil. Lihat ... mata lu aja bengkak gitu. Abis nangis 'kan?! Sini, coba cerita." Nadia menepuk ruang kosong yang ada di sebelahnya.

"Jamil, Jamil! Emang aku Saipul Jamil!" seru Mila tak terima.

"Gue salah, ya? 'Kan nama lu Mila Jamila. Jadi nggak salah duonk kalo gue manggil Jamil." Nadia berkata sambil mengedipkan sebelah mata, mencoba menggoda teman karibnya agar tidak murung lagi.

"Nggak gitu juga kali, Keles ... udah, ah, hayuk ke depan. Sudah jam kerja, nih." Mila menarik lengan Nadia dan menyeretnya. 

"Aduh duh, jangan pake acara seret menyeret, Mila Sayank ... cukup ayank V aja yang menyeret hati gue."

Mila tidak menghiraukan Nadia yang berkata dengan nada genit. Dia tetap saja menariknya hingga ke depan dan segera mengerjakan pekerjaan seperti biasa–menyapu, mengepel, merapikan barang dagangan, membersihkan debu, dan lain sebagainya–sebelum para pembeli datang.

Di meja kasir sudah ada Aldi, sang kasir, yang sedang menyusun uang saldo awal untuk pagi ini ke dalam laci meja. Setelah selesai dengan aktivitasnya, lelaki berusia 25 tahun itu menghampiri kedua teman kerjanya yang sedang asyik bercanda sambil merapikan pakaian-pakaian yang tergantung.

"Pagi semua ...," Aldi menyapa seraya tersenyum simpul. 

"Pagi ... Bang Aldi. Makin manis aja, tuh, senyum. Jadi makin klepek-klepek gue." Nadia membalas sapaan Aldi dengan centil sambil mengedip-ngedipkan mata.

Aldi hanya memasang wajah datar menanggapi kelakuan Nadia.

Sedangkan Mila hanya menjawab lirih dan mengangguk.

"Tumben, ya, belum ada pengunjung? Biasanya udah ada yang beli di jam segini." Aldi memecah keheningan di antara mereka, setelah hampir setengah jam berkutat dalam acara benah-berbenah. Membenahi segala barang yang ada dan juga penampilan diri. Dia melirik arlogi, dimana jarum pendek menunjuk pada angka 9 dan jarum panjang pada angka 12.

"Iya, ya. Padahal, di luar banyak orang lalu lalang dan memandang ke sini, tetapi kenapa tidak ada yang masuk, ya?" Mila pun heran dengan situasi pagi ini. Dia menatap jauh ke luar pintu kaca sambil mengernyit.

"Ini pasti gara-gara lu, deh, Jamil," tuduh Nadia. 

"Lah, kok aku? Emang apa hubungannya ma aku?" tanya Mila penasaran. 

"Abisnya ... pagi-pagi dah murung aja, kayak orang kagak dapat jatah malam." Nadia mencolek lengan Mila.

"Jatah malam?" Aldi yang tidak mengerti dengan arah pembicaraan Nadia berpikir keras sambil mengetuk-ngetuk dagu, dahinya pun berkerut. Entah, apa yang ada dalam lelaki itu. 

"Ish! Apaan, sih, Nad?! Ngaco kamu, ah!" sewot Mila seraya menepuk punggung Nadia pelan. 

Nadia yang berhasil menggoda Mila hanya tertawa terbahak-bahak. 

"Gaes ... bentar. Aku tengok dulu, ya, ke depan." Aldi berjalan menuju pintu, mencari tahu apa yang terjadi sehingga tidak ada pengunjung yang masuk ke toko mereka.

Beberapa menit kemudian, Aldi kembali masuk sambil tertawa. Dia juga memegangi perut. Hal itu, membuat kedua perempuan tadi saling pandang dengan raut wajah penuh tanya. 

"Jelas aja kagak ada pengunjung. Tulisan close yang menggantung di pintu aja belum dibalik." Aldi kembali tertawa.

"Aduch." Mila menepuk dahi. Itu adalah tugasnya, untuk membalik gantungan yang bertuliskan close di satu sisi dan open di sisi baliknya.

Dia benar-benar lupa dengan kewajibannya di pagi hari, sebelum memulai aktivitas bersih-bersih, karena pikiran yang kalut.

"Tuhkan, bener kata gue. Gara-gara lu, sih, Mil Jamil."

"Iya, iya, sorry, ya?" Mila menangkupkan tangan.

"Iya, nggak papa," Aldi menimpali dengan suara hangat, seraya menatap teduh Mila. 

"Makanya beban itu jangan dibawa sendiri, bagi-bagi dikit napa?! Setidaknya bisa mengurangi sesak di dada." Nadia menepuk dada.

"Hah ... entahlah, Nad. Aku–" Ucapan Mila terpotong karena suara decitan yang berasal dari pintu yang didorong.

Mereka pun mengakhiri acara bincang-bincang karena mulai sibuk melayani pembeli. Pasalnya, setelah gantungan tadi dibalik mulai banyak pengunjung yang datang ke toko.

Waktu telah bergulir, jam kerja Mila dan kawan-kawan pun berakhir. Kini, mereka sudah ada di ruang istirahat setelah ketiga teman mereka yang lain, yang masuk shift sore, telah stand by di Outlet.

"Mil, sebenarnya ada apa, sih?" tanya Nadia lirih saat mereka bersiap-siap akan pulang. Dari tadi dia mengamati teman karibnya itu sering termenung saat sendirian. "Cerita donk, biar agak berkurang beban yang lagi lu pikul."

Mila menarik napas kemudian menghelanya panjang. "Nanti aja, ya, Nad? Aku mampir ke rumahmu. Nggak enak kalo di sini." Wanita bermata bulat dengan iris mata coklat gelap itu melirik Aldi yang sedang duduk membenahi tali sepatu.

"Siap ... curahin semua, dah, biar lega. Sapa tau gue bisa bantu dikit-dikit," ucap Nadia seraya mengerlingkan mata.

Mila mengeluarkan ponsel dari tas lalu mengabari suaminya melalui w******p.

"Mas, aku pulang agak terlambat. Ada sedikit keperluan dengan Nadia."

Pesan terkirim, tetapi beberapa menit menunggu centang dua abu-abu di handphonenya tidak berubah. Mila menghela napas dan menunduk lesu.

"Tidak dibaca, ya?" tanya Nadia seraya menatap sendu sahabatnya.

Mila hanya mengangguk lemah.

"Udah, nggak papa. Yang penting udah ngabari."

"Bang Aldi ... kita duluan, ya ...." Nadia melambaikan tangan kepada Aldi, taklupa dengan pose genit. 

Mila yang geli dengan kelakuan teman karibnya itu lekas menyeretnya.

Aldi hanya tersenyum seraya menatap lekat kepergian mereka. 

Sesampainya di rumah, mereka langsung bergegas ke kamar Nadia. Setiap menjelang petang, rumah Nadia tidak berpenghuni karena kedua orang tuanya sudah berangkat berjualan nasi goreng di pinggir jalan yang tempatnya tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Sedangkan, kedua kakak laki-laki Nadia sudah berumah tangga dan tinggal di rumah mereka masing-masing.

"Nah, sekarang lu ceritain semua masalah lu itu. Dijamin aman karena tidak ada yang akan mendengar selain gue."

"Ah, yang benar ...." Mila mencoba menggoda Nadia. 

"Tentu saja, kalo ada orang lain selain kita, gue bakal kabur duluan. Dipastikan itu makhluk tak kasatmata." Nadia bergidik ngeri.

Baru juga menutup mulut, mereka dikagetkan oleh suara keras benda jatuh, berasal dari dapur. 

.

.

.

To be continue .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status