Home / Romansa / Jerat Cinta Mafia Hyper / Bab 6 - Boneka dalam Lemari Kaca

Share

Bab 6 - Boneka dalam Lemari Kaca

Author: Dacep
last update Huling Na-update: 2025-12-09 13:10:15

​Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi.

​Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin.

​Enam bulan.

​Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas.

​Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi.

​Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur.

​Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada.

​Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari kayu mahogany terbuka sedikit. Penasaran, aku melangkah ke sana.

​Saat aku mendorong pintunya, napasku tercekat.

​Ini bukan lemari pakaian. Ini adalah butik pribadi.

​Ruangan walk-in closet ini lebih besar dari ruang tamu rumahku di Bali. Rak-rak kaca berjejer rapi, dipenuhi deretan gaun, blus sutra, celana bahan desainer, hingga mantel bulu. Di sisi lain, rak sepatu menampilkan puluhan pasang heels dari brand ternama: Louboutin, Jimmy Choo, Manolo Blahnik.

​Aku berjalan menyusuri lorong pakaian itu dengan jari gemetar. Aku mengambil satu gaun tidur berbahan satin hitam.

​Ukurannya... pas.

Aku melihat sepatu. Ukuran 37, pas.

Bahkan pakaian dalam yang tertata di laci kaca... semuanya adalah ukuranku.

​Rasa dingin merambat di tengkukku.

​Ini bukan persiapan semalam. Tidak mungkin dia menyiapkan semua ini dalam waktu penerbangan 15 jam.

​Dia sudah menyiapkan ini berbulan-bulan. Mungkin lebih lama.

​"Kau suka?"

​Aku terlonjak, berputar cepat.

​Ethan berdiri di ambang pintu. Ia sudah berpakaian lengkap sekarang. Kemeja putih yang pas badan, celana bahan hitam, dan jam tangan yang harganya mungkin bisa membeli satu desa. Rambutnya yang masih sedikit basah disisir rapi ke belakang.

​Tampilannya kembali menjadi Ethan sang CEO. Dingin, tampan dan maskulin. Nyaris sempurna tapi minus hati nurani.

​"Dari mana kamu tahu?" tanyaku, suaraku bergetar menahan ngeri. "Ukuran bajuku... sepatuku... semuanya. Dari mana kamu tahu?"

​Ethan berjalan masuk, langkahnya tenang di atas karpet tebal. Ia berhenti di depan rak perhiasan, mengambil sebuah kalung berlian tipis.

​"Aku seorang pengamat yang baik, Chintya," jawabnya santai. "Dan ketika aku menginginkan sesuatu, aku melakukan riset mendalam. Aku tahu ukuran bajumu, aku tahu kamu alergi udang, aku tahu kamu suka warna hitam tapi sering memakai putih karena tuntutan pekerjaan."

​Ia berbalik menatapku. Tatapan itu lagi. Tatapan kolektor.

​"Kau..." Aku mundur selangkah. "Kau penguntit."

​"Aku pelindung," koreksinya. "Penguntit bersembunyi di bayangan. Aku berdiri di depanmu, memberimu dunia."

​Ia meletakkan kalung itu kembali, lalu berjalan ke arah deretan dress. Tangannya memilih sebuah dress selutut berwarna maroon dengan potongan leher rendah yang elegan.

​"Pakai ini," perintahnya, menyodorkan gaun itu padaku. "Kita sarapan sepuluh menit lagi."

​Aku menepis gaun itu. Kain mahalnya jatuh ke lantai.

​"Aku tidak mau memakai barang-barangmu. Kembalikan bajuku. Gaun yang kupakai semalam. Aku mau pakai itu saja."

​Ethan menatap gaun yang jatuh di lantai, lalu menatapku. Ekspresinya tidak berubah, tapi suhu ruangan terasa turun drastis.

​"Gaun murah yang penuh pasir dan keringat itu?" tanyanya datar. "Sudah kubakar."

​Mataku membelalak. "Apa?"

​"Sudah kubuang. Sampah," ucapnya dingin. "Mulai sekarang, tidak ada lagi kain murah yang menyentuh kulitmu. Kau milik Mahendra, Chintya. Kau harus terlihat pantas bersanding denganku."

​Ia melangkah maju, memangkas jarak kami. Aura dominasinya membuatku merasa kerdil. Ia memungut gaun maroon itu, menepuk-nepuk debu imajiner darinya, lalu menyodorkannya lagi ke dadaku. Kali ini dengan tatapan yang tidak menerima bantahan.

​"Pakai. Atau aku yang akan memakaikannya untukmu. Dan percayalah, kalau aku yang melakukannya... kita tidak akan sampai ke meja makan."

​Ancaman itu tersamar, tapi jelas.

​Aku merampas gaun itu dari tangannya dengan kasar. "Keluar."

​Ethan tersenyum tipis. Puas karena aku menurut, meskipun dengan perlawanan.

​"Sepuluh menit," katanya.

​Ia berbalik dan berjalan keluar, menutup pintu closet di belakangnya.

​Begitu ia pergi, aku merosot ke lantai. Memeluk gaun mahal itu di dadaku. Aku merasa bukan seperti wanita yang dimanjakan.

​Aku merasa seperti boneka.

Boneka cantik yang baru saja dimasukkan ke dalam rumah kaca, dipaksa memakai baju yang dipilihkan tuannya, dan harus tersenyum saat dimainkan.

​Aku berdiri, menatap pantulanku di cermin besar. Mataku sembab, tapi ada api kemarahan di sana.

​Baik, Ethan, batinku. Kau ingin aku memainkan peran ini? Aku akan memainkannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 7 - Tempat Untuk Pulang

    ​Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. ​Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. ​Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. ​Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. ​Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. ​"Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." ​"Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. ​"Duduk, Chintya. Makananmu dingin." ​Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 6 - Boneka dalam Lemari Kaca

    ​Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. ​Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. ​Enam bulan. ​Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. ​Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. ​Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. ​Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. ​Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 5 - Tawaran sang iblis

    ​Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. ​Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. ​Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. ​Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. ​Ethan. ​Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. ​Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. ​Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. ​Kamar mandi. ​Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. ​Kama

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 4 - City Of Angels

    ​Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.​Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem.​"Sudah bangun, Putri Tidur?"​Suara itu rendah dan berat.​Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.​Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali.​"Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau.​"Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."​Los Angeles.​Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.​Di bawah sana, hamparan ca

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 3 - Migrasi

    Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. ​Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. ​Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. ​"Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." ​Los Angeles. ​Kata itu kembali menghantamku. ​Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint

  • Jerat Cinta Mafia Hyper   Bab 2 - Takdir yang di renggut

    ​Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. ​Dia tidak sedang bercanda. ​Rasa takut meledak di dadaku. ​"Buka pintunya!" teriakku histeris. ​Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. ​"Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" ​Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. ​"Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status