Mag-log inLangkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse.
Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. "Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." "Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. "Duduk, Chintya. Makananmu dingin." Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutku mual. Ingatan tentang malam di pantai itu kembali. Tentang Ibu yang menyerahkanku pada Bram demi tiga miliar. Tentang Ethan yang memalsukan kematianku. "Aku mau menelepon," kataku tiba-tiba, memecah keheningan denting pisau Ethan. Ethan berhenti mengiris sosisnya. Ia menatapku datar. "Untuk apa? Menelepon wanita yang menjualmu seharga tiga miliar?" Kalimat itu menampar tepat di luka terbasahku. "Dia tetap ibuku," desisku, meski hatiku ragu. "Aku perlu tahu... aku perlu tahu bagaimana reaksinya. Kau bilang aku sudah mati. Aku ingin tahu apakah dia menangisi aku, atau menangisi uangnya yang hilang." Ethan tersenyum tipis. Senyum yang kejam. "Kau ingin menyakiti dirimu sendiri? Silakan." Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel hitam pipih, dan meluncurkannya di atas meja granit. Benda itu berhenti tepat di depan piringku. "Teleponlah," tantangnya. "Dengarkan sendiri kebenarannya." Tanganku gemetar saat meraih ponsel itu. Aku menekan nomor rumah tetangga, Bu RT, satu-satunya akses ke Ibu. Tuuut... Tuuut... "Halo?" Suara Bu RT terdengar panik. "Siapa ini?" "Bu, tolong panggilkan Ibu," ucapku, berusaha menahan suara agar tidak dikenali. "Ini tentang Ayu." Hening sebentar, lalu terdengar suara langkah kaki dan isak tangis histeris mendekat. "Halo?! Siapa ini?! Apa kamu orang SAR?" Suara Ibu terdengar pecah. Aku terdiam. Lidahku kelu. "Ibu..." "Ayu?!" Ibu menjerit. Tapi nada suaranya bukan lega. Itu nada panik. "Itu kamu, Nak? Kamu masih hidup?! Bram bilang kamu hanyut! Sepatumu ditemukan di laut!" "Aku..." "Kalau kamu masih hidup, pulang sekarang!" potong Ibu kasar, tangisannya berubah menjadi amarah putus asa. "Bram mengamuk, Ayu! Dia bilang kalau mayatmu tidak ada, dia akan menyita rumah ini besok pagi! Dia minta ganti rugi! Kamu di mana, dasar anak tidak tahu diuntung?!" Air mataku yang tadi menggenang, kini kering seketika. Dadaku sesak. Bukan karena sedih. Tapi karena rasa sakit yang menikam jantung. Dia tidak bertanya apakah aku terluka. Dia tidak bertanya apakah aku selamat. Dia hanya peduli pada Bram dan rumah warisan itu. "Jadi benar..." bisikku lirih, lebih pada diriku sendiri. "Ibu lebih peduli pada sertifikat rumah daripada nyawaku." "Ayu! Jawab Ibu! Kamu jangan lari dari tanggung jawab! Utang ayahmu belum lunas! Kalau kamu mati, siapa yang bayar?!" Aku menatap Ethan. Pria itu menatapku balik dengan ekspresi datar, seolah berkata: Lihat? Aku benar. Rasa benci perlahan merambat naik, membakar rasa rindu yang tersisa. Aku tidak punya rumah. Wanita di telepon ini bukan ibuku lagi. Dia hanya seorang debitur yang kehilangan asetnya. "Maaf, Bu," kataku dingin, suaranya mati rasa. "Ayu Chintya sudah mati. Yang bicara ini hantunya." "Apa?! Ayu! Jangan konyol! Ayu!!" KLIK. Aku memutus sambungan. Lalu dengan tangan gemetar karena amarah, aku menekan tombol power hingga ponsel itu mati total. Aku meletakkan ponsel itu di meja. Hening. Ethan tidak berkata "Aku sudah bilang kan?". Dia hanya mengambil kembali ponselnya, memasukkannya ke saku, lalu kembali mengiris makanannya dengan tenang. "Sekarang kau paham," kata Ethan, tanpa menatapku. "Di dunia itu, kau cuma komoditas. Barang dagangan." Aku menunduk, menatap piringku yang kosong. Air mataku tidak keluar. Hatiku rasanya membeku, mengeras menjadi batu. "Aku tidak punya tempat pulang," bisikku hampa. "Bahkan jika kau melepaskanku... aku tidak punya siapa-siapa." Ethan meletakkan garpunya. Ia berdiri, berjalan memutari meja, lalu berhenti tepat di belakang kursiku. Tangan besarnya menyentuh bahuku. Hangat. Berat. Posesif. Ia membungkuk, bibirnya menyentuh telingaku. "Kau salah," bisiknya. "Kau punya tempat pulang." Ia memutar kursiku agar aku menghadapnya. Ia menangkup wajahku, memaksaku menatap matanya yang gelap gulita—satu-satunya kegelapan yang menawarkan perlindungan. "Di sini," katanya tegas. "Di sampingku. Mulai detik ini, aku adalah rumahmu. Aku adalah keluargamu. Aku adalah tuanmu." Aku menatapnya. Monster yang menculikku. Tapi dia benar. Di luar sana, aku dijual. Di sini, setidaknya aku "disimpan" sebagai barang berharga. "Makan," perintah Ethan lagi, kali ini nadanya lebih lembut, namun tetap tak terbantahkan. "Kau butuh tenaga. Nanti malam ada pesta. Kau harus terlihat sempurna sebagai milikku."Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. "Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." "Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. "Duduk, Chintya. Makananmu dingin." Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk
Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. Enam bulan. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari
Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. Ethan. Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. Kamar mandi. Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. Kama
Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem."Sudah bangun, Putri Tidur?"Suara itu rendah dan berat.Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali."Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau."Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."Los Angeles.Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.Di bawah sana, hamparan ca
Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. "Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." Los Angeles. Kata itu kembali menghantamku. Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint
Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. Dia tidak sedang bercanda. Rasa takut meledak di dadaku. "Buka pintunya!" teriakku histeris. Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. "Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. "Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem







