MasukMalam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya.
Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar. Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya! “Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri. Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu…. ‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati. Sekian detik kemudian, Natasya sadar dari lamunannya, dia segera menggeleng mencoba mengeluarkan pikiran aneh dari benaknya. Di sisi lain, Aron melajukan mobil ke bandara. Hari ini dia akan menjemput istrinya yang baru datang dari luar negeri. Satu jam menunggu, sang istri tak kunjung muncul. Bahkan hingga malam istrinya tidak nampak. Aron menjadi cemas, apa ada masalah dengan penerbangannya atau kenapa? Ketika hendak menghubungi sang istri, ternyata istrinya menghubunginya terlebih dahulu. “Mas, aku nggak bisa pulang. Tiba-tiba ada kerjaan di negara lainnya lagi.” Seketika Aron terdiam, rasa senangnya perlahan menghilang. “Baiklah, Sayang.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Aron. Mendebat pun percuma. Ia tahu itu hanya akan berujung pada pertengkaran. Dirinya harus menelan pil pahit lagi. Ada kesempatan pulang, namun istrinya lebih memilih untuk menerima tawaran kerja lagi di negeri satunya. “Enam bulan tidak bertemu apa tidak rindu padaku, Dara….” Aron duduk di bangku sambil menyugar rambutnya kasar. Saat itu, Natasya menghubunginya. Mahasiswanya itu bilang kalau belum paham dengan materi yang diajarkan dan meminta keringanan. [Apa boleh tugasnya saya kirim besok, Pak?] Begitu isi pesan singkat Natasya. [Selesaikan malam ini juga atau nilai kamu E!] Balas Aron. Sepulang dari bandara, Aron pergi beli minuman. Dia ingin menenangkan diri dengan sedikit minum. Ketika sampai di rumah, pria itu justru mendapati Natasya duduk di depan rumahnya. “Mau apa dia kemari?” Sambil bertanya-tanya, Aron keluar dari mobil. “Pak Aron maaf, saya benar-benar bingung!” ujar Natasya saat Aron berjalan hendak masuk ke dalam rumah. “Bodoh, soal begitu saja tidak bisa!” umpat Aron kesal. Natasya hanya menunduk. Nyalinya menciut menyadari Aron yang sepertinya marah karena ucapannya. Aron tidak mempersilahkan dia masuk sehingga Natasya hanya berdiri di teras. Melihat Natasya yang masih d iluar, pria itu kembali lagi, “Masuk, ngapain di luar?!” Suara bariton dosennya itu membuat Natasya buru-buru mengikutinya masuk. Aron meminta Natasya mengeluarkan buku-bukunya, lalu dia akan menjelaskan sedikit. Dirasa paham, Natasya mulai mengerjakan tugasnya sementara Aron pergi ke balkon sambil minum minumannya. Frustasi dan kecewa membuat pria itu tak berhenti minum, hingga kepalanya terasa berat dan pandangannya mulai berkunang-kunang. “Pak Aron, tugas saya sudah selesai, dan sudah saya kirim ke email bapak.” Lapor Natasya sambil pamit pulang. Ketika berbalik, Aron justru memegang tangan Natasya, dan menarik tangan mahasiswanya itu. “Kenapa, Dara? Kenapa kamu tidak pernah merindukan aku?!” teriak Aron sambil menatap Natasya dengan sepasang mata yang memerah. Aroma alkohol yang pekat dan sikap Aron yang seperti orang mabuk membuat Natasya ketakutan. Dia berusaha melepas cengkeraman tangan pria itu. “Pak, saya harus pulang,” pintanya dengan suara bergetar. Sayangnya Aron tidak mengabulkan permohonannya. Pria itu justru mengunci tubuh Natasya di dinding. “Aku merindukanmu, Sayang….” “Pak Aron, s-saya bukan istri Anda!” sentak Natasya, berusaha mendorong pria itu. Namun, Aron adalah pria dewasa. Semabuk apapun dirinya, tenaganya jelas tidak sebanding. Mendengar suara gadis itu, cengkeraman Aron perlahan melonggar, lalu terlepas. Ia menatap Natasya dengan lekat. “Natasya….” ucapnya lirih. Sepasang matanya menilik wajah cantik mahasiswinya itu. Lalu, tubuh Aron terhuyung ke depan. Ia memeluk Natasya dengan erat. Selama ini, dia telah memendam kekecewaan sendiri, menahan rindu pada istrinya yang tak pernah mempedulikannya. Dan hari ini adalah puncaknya. “Kenapa dia seperti itu Natasya?” Aron bergumam lirih, tepat di ceruk leher Natasya, di mana ia membenamkan wajahnya. Posisi ini sangat berbahaya. Natasya dapat merasakan hangat napas pria itu, membuat sekujur tubuhnya merinding. Sebulan ini, Aron sudah membimbingnya dengan sabar, bahkan dosennya itu selalu meluangkan waktu untuk mengajarinya. Jadi malam ini, dia akan mendengarkan Aron bercerita. Biarlah pria dewasa itu meluapkan risalah hatinya. Tanpa sadar, Aron menceritakan semua apa yang dialami selama ini. Dan Natasya menjadi pendengar yang baik. Melihat Aron yang terus mengoceh, Natasya tersenyum kecil. Biasanya pria itu selalu dingin dan datar, namun kali ini berbeda. Meski sedih tapi justru membuatnya terlihat manis. “Dibicarakan baik-baik, Pak Aron,” kata Natasya setelah Aron selesai bercerita. Dia bingung harus bagaimana, masalah rumah tangga dia tidak tahu sama sekali, yang dia tahu hanya tugas dan praktik. Itu saja. Aron hanya bergeming hingga pria itu menyandarkan kepala di sofa, lalu terlelap. Melihat posisi Aron yang tak nyaman, Natasya mengubah posisi tidur tubuh atletis dosennya. “Pak Aron, saya harus pulang,” ujar gadis itu, nyaris berbisik. Ketika hendak beranjak, Aron menarik tangannya. “Tetaplah di sini.”Malam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya. Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar.Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya!“Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri.Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu….‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati.Sekian detik kemudian, Natasya sad
Melihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong!Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak a
Suara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong.Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu?“Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung.Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis.“Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketik
Maksud Aron dengan kegigihan adalah harus belajar dengan sungguh-sungguh.Namun, Natasya menangkap hal lain. Kegigihan yang dimaksud ialah terus menjadi teman ranjang dosennya itu.Setelah jam kampus selesai, Natasya langsung pergi ke rumah Aron. Karena Aron belum tiba di rumah, Natasya menunggu dosennya itu di teras. Kebetulan rumah Aron adalah tipe perumahan cluster, jadi tidak memiliki pagar. Melihat tanaman yang kering, Natasya beranjak menyiramnya. Hingga suara mobil mengejutkannya. “Pak Aron, maaf saya sudah lancang.” Natasya buru-buru meletakkan selang air, lalu menunduk ketika Aron turun dari mobil. Pria itu hanya berdehem, lalu membuka pintu rumahnya. Seperti kemarin, setelah membersihkan diri, Aron berbaring di tempat tidur. Sementara Natasya masih di sofa menatapnya heran. “Pak apa yang harus saya lakukan?” tanyanya bingung. Ia benar-benar dalam urusan ranjang seperti ini.“Tunjukkan saja kegigihanmu.” Pria itu menjawab asal karena saat ini dia tengah membalas pesan
“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya. Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali.Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron.Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.” Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendeng







